ANAK TERANG DAN DOMBA TERSESAT
“Domba tersesat”, frasa tersebut sesungguhnya tidak
eksplisit tertulis di dalam Alkitab, yang ada hanyalah kisah tentang domba yang
tersesat (Matius 18:12-14 dan Lukas 15:3-7). LAI sepakat memberikan judul yang
sama untuk dua perikop tersebut yaitu, “Perumpamaan tentang domba yang hilang.”
Apa sebenarnya makna kisah domba yang hilang atau tersesat
itu? Apakah kisah itu memang menunjukkan tentang orang-orang dari agama lain
yang bertobat dan menjadi Kristen seperti pandangan beberapa aliran kristen
selama ini?
Mari kita perhatikan konteks kisah itu satu persatu. Kita
mulai dari Matius 18:12-14. Kisah tentang domba yang hilang dalam perikop
tersebut ditutup dengan kalimat, “Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak
menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang.” Perhatikan sekali
lagi, “anak-anak ini hilang.” Jadi secara eksplisit, tanpa harus menafsir
terlalu jauh, tinggal membaca saja teksnya maka kita akan menemukan bahwa
konteks cerita tersebut bukan untuk agama lain tetapi untuk anak-anak. Jadi
yang dimaksud dengan domba tersesat atau terhilang itu adalah anak-anak. Jika
membaca dari Matius 18:1-14 kita akan menemukan bahwa kisah domba tersesat hubungannya
dengan pesan agar jangan sampai ada anak-anak yang terhilang, atau menyesatkan
mereka. Matius 5:6 menekankan. "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu
dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah
batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.”
Lalu siapakah anak-anak yang dimaksud? Apakah bocah-bocah
dalam artian sesungguhnya atau anak-anak kecil dalam artian metafor? Ada yang
mengatakan itu adalah anak-anak dalam artian sebenarnya, sehingga guru sekolah
minggu selalu ditekankan agar jangan sampai membuat anak-anak tersesat. Tapi
ada juga yang mengatakan itu adalah metafor untuk orang-orang lemah, sederhana,
dan gampang terlukai yang ada di dalam komunitas Matius (bandingkan juga dengan
kisah dalam Matius 25). Komunitas Matius diajak untuk merangkul ‘anak-anak
kecil’ ini. Jangan sampai seorang pun dari mereka terhilang.
Tapi, walaupun berbeda tentang makna kata “anak-anak kecil”
dalam kisah tersebut, pada intinya cerita tersebut tidak bercerita tentang
agama lain. Jadi domba tersesat yang dimaksud bukan tentang agama lain. Lalu
bagaimana dengan Lukas 15:3-7?
Berbeda dengan kisah dalam Matius di atas, Lukas mengakhiri
kisah ini dengan kalimat, “Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada
sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada
sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan
pertobatan."
Nah, kalimat tersebut seringkali membuat pembaca
menghubungkan kisah domba yang hilang dengan umat agama lain yang bertobat.
Secara eksplisit kita memang menemukan teks tentang “orang berdosa yang
bertobat.” Ini masalahnya jika hanya mengutip satu ayat lepas dari konteksnya.
Sebelum melihat konteks penulisan, coba kita lihat kisahnya terlebih dahulu
secara keseluruhan, Lukas 15:1-32. Ada 3 kisah kehilangan dalam pasal 15
tersebut, yaitu domba yang hilang, dirham yang hilang dan anak yang hilang.
Kisah-kisah itu ditujukan kepada orang-orang farisi dan ahli taurat yang
mengkritik Yesus mengenai sikap-Nya menerima orang-orang yang terkucil secara
religius dan sosial itu (baca Lukas 15:1 dan 2). Kisah dalam pasal 15 ini
ditutup dengan perumpamaan anak yang hilang. Lukas ingin menunjukkan bahwa
masalah terbesar sesungguhnya bukanlah domba yang hilang, atau anak-anak yang
hilang tetapi anak-anak yang lebih tua (mereka yang merasa lebih suci, religius
dan berkuasa), yang menolak turut serta dalam perayaan di mana-mana orang-orang
yang terkucil itu justru dianggap sebagai tamu terhormat oleh Yesus. Jadi domba
tersesat dalam perikop ini bukanlah tentang agama lain tapi tentang orang-orang
berdosa yang mau bertobat.
Dosa yang dimaksud itu apa? Apakah tentang mereka yang
beragama lain? Seringkali kata dosa disambungkan dengan mereka yang beragama
lain lalu bertobat masuk agama kita. Seakan-akan memeluk agama lain adalah
sebuah dosa.
Sekali lagi mari kita baca Lukas 15:1. Di sana sudah
diberikan contoh siapa itu orang berdosa yang dimaksud Lukas. Siapa? Pemungut
cukai. Jadi orang berdosa yang dimaksud adalah orang-orang yang melakukan
tindakan kejahatan secara sosial dan moral. Bukan soal beda agama.
Jadi, baik Matius dan Lukas, tidak pernah mengaitkan domba
yang tersesat atau terhilang dengan umat agama lain.
Sekarang mari kita berangkat kepada istilah selanjutnya,
yaitu “anak terang.”
Setidaknya istilah anak terang secara eksplisit bisa kita
temui dalam Lukas 16:8, Yohanes 12:36; 2 Korintus 6:14; Efesus 5:8, dan 1
Tesalonika 5:5. Wah banyak juga yah, jika dibahas satu-satu bisa sangat
panjang. Mari kita lihat garis besarnya saja.
Lukas 16:8 membandingkan anak-anak dunia dengan anak-anak
terang. Anak-anak dunia yang dimaksud jelas bukanlah mereka yang beragama lain,
melainkan mereka yang melakukan kejahatan atau dosa. Ingat Lukas 16 adalah
kelanjutan dari Lukas 15. Pembahasan Lukas 15 tentang dosa silakan baca lagi di
atas.
Yohanes 12:36 membandingkan anak-anak terang dengan kegelapan.
Kegelapan yang dimaksud adalah dosa, kejahatan dan penindasan dari kelompok
Yahudi yang menekan dan menganiaya komunitas kristen yang baru terbentuk. Jadi
ini bukan soal agama lain tetapi soal umat Yahudi yang menindas umat Kristen.
2 Korintus 6:14 membandingkan terang dengan gelap, orang
percaya dengan orang yang tak percaya. Ayat ini tampaknya pas sekali untuk
mengaitkan antara Kristen dengan umat agama lain. Ayat ini juga sering dipakai
untuk melarang umat Kristen pacaran dengan agama lain. Secara implisit seakan
ingin mengatakan bahwa umat agama lain itu gelap, dan kristen terang. Bahkan
LAI memberikan judul secara jelas di dalam 2 Korintus 6:11-18 yaitu, “Jangan
ada lagi noda kekafiran.” Wah lengkap sudah, ayat ini memang berbicara tentang
agama lain. Susah sekali sepertinya untuk mengelak. Apakah kita terima saja
bahwa ayat ini berbicara tentang agama lain?
Sebelum ke sana, mari kita lihat dulu ketidakkonsistenan kita
dalam menjalankan perintah Tuhan. Kita menggunakan 2 Korintus 6:14 untuk
melarang orang lain tidak pacaran atau menikah dengan agama lain. Tapi mengapa
kita tidak ikuti juga perintah ayat 17, yang bunyinya:
Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan
pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang
najis, maka Aku akan menerima kamu.
Ayat ini mengutip dari Yesaya 52:11, yang bunyinya:
Menjauhlah, menjauhlah! Keluarlah dari sana! Janganlah
engkau kena kepada yang najis! Keluarlah dari tengah-tengahnya, sucikanlah
dirimu, hai orang-orang yang mengangkat perkakas rumah TUHAN!
Jika mengikuti perintah itu maka seharusnya kita keluar dari
tempat di mana ada mereka yang beragama lain. Di Indonesia ini, jelas umat
Kristen di kelilingi dan hidup berdampingan dengan umat agama lain. Jika memang
mau konsisten bahwa yang dimaksud dalam 2 Korintus itu adalah agama lain, maka
seharusnya kita harus keluar dari Indonesia dan carilah negara atau tempat yang
tidak ada agama lainnya.
Tapi apakah emang itu maksudnya? Nah mari kita lihat lebih
dalam.
Jemaat Korintus berada dalam satu konteks di mana orang
Korintus suka sekali melakukan tindakan yang jahat seperti percabulan. Bahkan
percabulan itu juga dilakukan di dalam kuil-kuil ibadah mereka, itulah kenapa
ada istilah sundal bakti.
Jadi yang dimaksud dengan orang tak percaya dan gelap dalam
ayat ini adalah orang-orang Korintus yang melakukan tindakan jahat tersebut.
Perhatikan ayat 14 di sana dibandingkan antara Kristus dan Belial. Belial
artinya jahat atau tidak berguna, orang Yahudi sering mengaitkannya dengan
Iblis. Jadi pilihannya bukanlah Kristus atau agama lain, tapi Kristus dan
orang-orang jahat. Janganlah menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan
mereka-mereka yang melakukan perbuatan jahat itu. Bahkan sebisa mungkin
keluarlah dari pergaulan buruk mereka, yang akan membawa kita juga kepada
pergaulun buruk seperti percabulan yang mereka lakukan. Begitulah maksud dari 2
Korintus tersebut.
Efesus 5:8 membandingkan antara kegelapan dan anak-anak
terang. Kegelapan yang dimaksud adalah percabulan, kecemaran, keserakahan, dan perkataan
kotor. Sebab terang hanya berbuahkan kebaikan, keadilan dan kebenaran. (Silakan
baca dari Efesus 5:1). Tapi di sana ada tertulis kalimat penyembah berhala,
bukankah itu artinya menyinggung agama lain? Coba perhatikan kalimat utuhnya
dalam Efesus 5:5, “Karena ingatlah ini baik-baik: tidak ada orang sundal, orang
cemar atau orang serakah, artinya penyembah berhala, yang mendapat bagian di
dalam Kerajaan Kristus dan Allah.”
Siapa penyembah berhala yang dimaksud? Orang sundal, orang
cemar dan orang serakah. Jadi bukan soal agama lain.
1 Tesalonika 5:5 juga membandingkan anak-anak terang dengan
orang-orang malam atau orang-orang kegelapan. Definisi kegelapan yang dimaksud
juga tidak jauh berbeda dengan penjelasan pada 2 Korintus dan Efesus. Tidak ada
kaitannya dengan agama lain.
Lalu pertanyaannya, bolehkah umat Kristen menggunakan frasa “Anak-anak
terang”? Oh boleh sekali. Frasa itu sebagai sebuah refleksi iman bahwa kita
harusnya hidup dalam terang dan kebaikan Tuhan. Kita adalah anak-anak terang
karena itu hiduplah dalam kebenaran. Tapi jangan hubungkan anak-anak gelap
dengan umat agama lain tapi hubungkan dengan mereka pembuat kejahatan yang
memupuk hidupnya dengan kejahatan.