Pages

Tampilkan postingan dengan label Sains. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sains. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Februari 2012

Belajar dari Gaya Kepemimpinan Binatang


Belajar dari Gaya Kepemimpinan Binatang

Sepertinya ada yang aneh dengan judul di atas. Bukankah kita adalah manusia yang mulia, untuk apa belajar dari binatang? Di Alkitab memang pernah mengatakan “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak” (Amsal 6:6), tetapi bukan kah perintah itu hanya untuk si pemalas? Nah mengapa kita yang bukan pemalas ini tetap harus belajar dari binatang? Apa untungnya?
Simpan dulu pertanyaan tersebut. Biarlah rasa penasaran untuk mencari tahu membuat kita mau mempelajari dengan baik apa yang akan saya jelaskan sebentar lagi tentang belajar dari gaya kepemimpinan binatang. Semoga pada akhir tulisan ini kita akan mendapatkan jawaban mengapa kita perlu belajar dari para binatang. Oke mari kita mulai pembelajaran ini.

Gajah
Tahukah teman-teman siapa yang menjadi pemimpin dari setiap kawanan gajah? Apakah pemuda-pemudi atau remaja-remaji  (bahasa apa itu remaji? Haha) gajah ? Bukan, sama sekali bukan. Yang menjadi pemimpin kawanan gajah adalah nenek gajah (gajah betina tua). Pengalaman dan ingatan yang panjang dari si nenek membantu kawanan gajah menemukan makanan dan air. [1]
Dalam memimpin suatu organisasi, kita memang memerlukan pengalaman yang matang. Pengalaman hidup jelas membentuk kita sekaligus memperlengkapi kita dengan berbagai macam hal yang dapat membantu kita untuk mempertimbangkan sesuatu dan mengambil keputusan. Namun demikian, apakah hanya pengalaman saja yang diperlukan dalam memimpin sebuah organisasi? Tentu saja tidak, ada beberapa hal lain yang kita sangat perlukan. Mari kita lanjutkan pembelajaran kita.

Berang-berang
Kita pasti tahu bahwa berang-berang sangat ahli dalam membuat dam di sungai sebagai tempat tinggalnya. Namun bagaimana cara mereka bekerja sama sehingga mampu membangun dam tersebut?  Sekawanan berang-berang biasanya kerjasama dalam membangun dam, dan uniknya, dari sejumlah berang-berang tersebut, tidak ditemukan pemimpin atau penanggung jawab utama dari pembuatan dam tersebut.
            Tiap berang-berang berlaku sebagai pemimpin dirinya sendiri dan mereka bertanggung jawab terhadap tugas sendiri bukan untuk kepentingan pribadi tetapi untuk mendukung kepentingan bersama. Setiap anggota organisasi sudah mengetahui aturan main yang ada, dan melakukan pekerjaan sesuai dengan metode yang dianggapnya optimal. Kemudian, yang mengagumkan, berang-berang saling terbuka satu sama lain, mereka tidak menyembunyikan pohon yang bagus dari berang-berang lainnya. [2]
Dari berang-berang kita belajar bahwa tidak ada ‘kayu-kayu baik’ yang harus disembunyikan hanya untuk menunjukkan kualitas kerja kita/bidang kita adalah yang terbaik. Justru ‘kayu-kayu baik’ itu harus dibagikan dengan rekan-rekan/anggota bidang pelayanan yang lain untuk kepentingan bersama.

Tupai
Ketika seekor tupai mencari makanan, mereka tidak hanya mencari untuk diri sendiri, melainkan dimakan beramai-ramai sebagai cadangan makanan di musim dingin. Intinya, tupai merupakan binatang yang tidak egois dan memikirkan dirinya sendiri. Tupai bekerja demi mencapai tujuan mereka bersama.[3]
Seorang pemimpin bukanlah seorang yang hanya duduk ‘uncang-uncang kaki’ selama anggotanya bekerja. Seorang pemimpin adalah seseorang yang bekerja sama sekaligus berkerja bersama-sama dengan anggotanya yang sedang bekerja keras. Seorang pemimpin harus bekerja keras demi mengerahkan dan mengarahkan timnya mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Semut
Semut adalah binatang yang selalu bekerja keras. Mereka mengerjakan tugas mereka dengan cepat dan tidak akan berhenti sampai mereka mencapai apa yang mereka cari. Setiap kali mereka menemui hambatan saat perjalanan, dengan semangat yang menggebu-gebu mereka terus mencari jalan keluar untuk keluar dari masalah itu. Untuk membuktikannya, cobalah anda menghalangi langkah mereka! Mereka pasti tidak akan berhenti, namun mereka akan berusaha dan pantang menyerah untuk menemukan jalan keluar. Binatang mungil ini juga merupakan binatang yang tidak rakus dan dermawan. kedermawanan mereka mengalahkan keegoisan dan kerakusan mereka, sehingga apabila mereka menemukan makanan, mereka akan membawa makanan tersebut ke sarang atau memanggil semut lain untuk menikmati makanan itu bersama-sama. Semut juga merupakan binatang yang penuh kasih sayang, semut yang lebih besar tidak akan pernah memakan semut kecil lainnya, selapar apapun mereka. Solidaritas mereka pun patut diacungi jempol, apabila mereka menemukan semut lain yang lemah atau mati, mereka tidak akan membiarkan dan meninggalkannya, mereka akan menggotong semut itu untuk dibawa ke sarang atau tempat lain yang lebih aman.[4]
Dari semut kita belajar bagaimana mereka bekerja keras bersama-sama dengan rekan-rekannya yang lain. Mereka bekerja demi kepentingan bersama, bukan hanya  untuk kepentingan diri sendiri. Kita juga belajar dari semut bahwa masalah yang datang seperti apapun pemimpin tidak boleh menyerah, dia harus berusaha untuk mencari jalan keluar. Bahkan apabila ada anggota kita yang sedang mengalami masalah kita harus turut membantunya mengatasi masalahnya sama seperti semut yang tidak meninggalkan temannya yang sedang mengalami masalah (lemah atau mati). Masalah anggota kita adalah masalah kita juga. Solidaritas harus menjadi bagian dari sifat kepemimpinan kita.
David W. Johnson menyebut hal tersebut sebagai caring relationship. Hal tersebut merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan dalam upaya memberdayakan anggota. Hal tersebut apabila terus ditingkatkan akan menghasilkan kepercayaan, komunikasi yang terbuka dan dukungan antar pribadi.[5]

Lebah
Dalam membangun wadah madu yang dihasilkan, lebah memiliki perhitungan yang begitu cermat, hingga dalam dunia lebah dimiliki aturan standar inetrnasional kemiringan wadah madu 13 derajat.  Dalam berkoordinasi antara satu sama lain, lebah menggunakan panduan arah berdasarkan posisi matahari, padahal pada setiap waktunya matahari bergeser satu derajat per empat menit. Bayangkan kalau lebah tidak smart membaca petunjuk kerja dari sesamanya, tidak mungkin bisa mereka bekerja dengan optimal. Selain itu walaupun lebah menyengat dengan galak, lebah adalah binatang yang sangat lembut. Kalau dia hinggap di seutas ranting, yang rapuh sekalipun, tidak rusak ranting itu karena ulahnya.[6]
Dari lebah kita mendapat suatu pembalajaran yaitu smart.  Hal itulah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Tanpa hal tersebut pemimpin tidak dapat menganalisis masalah, menentukan formasi yang efektif untuk organisasinya dan melakukan pertimbangan-pertimbangan.
Satu hal penting yang harus kita pelajari dari lebah adalah seorang pemimpin memang harus melakukan eksplorasi tetapi bukan eksploitasi. Lebah melakukan eksplorasi dalam mengumpulkan madu, tetapi dia tidak sampai merusak ranting yang bahkan sudah rapuh sekali pun. Kita boleh melakukan eksplorasi terhadap apa yang ada di gereja (gedung gereja, umat dan pejabat gerejawi) namun jangan sampai melakukan eksploitasi.

Burung Angsa
Kalau kita tinggal di negara empat musim, maka pada musim gugur akan terlihat rombongan burung angsa terbang ke arah selatan untuk menghindari musim dingin. Burung-burung angsa tersebut terbang dengan formasi berbentuk huruf "V".  Saat setiap burung mengepakkan sayapnya, hal itu memberikan "daya dukung" bagi burung yang terbang tepat di belakangnya. Ini terjadi karena burung yang terbang di belakang tidak perlu bersusah payah untuk menembus “dinding udara” di depannya. Dengan terbang dalam formasi "V", seluruh kawanan dapat menempuh jarak terbang 71% lebih jauh daripada kalau setiap burung terbang sendirian.
Kalau seekor burung angsa terbang keluar dari formasi rombongan, ia akan merasa berat dan sulit untuk terbang sendirian. Dengan cepat ia akan kembali ke dalam formasi untuk mengambil keuntungan dari daya dukung yang diberikan burung di depannya.
Ketika burung angsa pemimpin yang terbang di depan menjadi lelah, ia terbang memutar ke belakang formasi, dan burung angsa lain akan terbang menggantikan posisinya.
Burung-burung angsa yang terbang dalam formasi ini mengeluarkan suara riuh rendah dari belakang untuk memberikan semangat kepada burung angsa yang terbang di depan sehingga kecepatan terbang dapat dijaga.
Ketika seekor burung angsa menjadi sakit, terluka, atau ditembak jatuh, dua burung angsa yang lain akan ikut keluar dari formasi bersama burung angsa tersebut dan mengikutinya terbang turun untuk membantu dan melindungi. Mereka akan tinggal dengan burung angsa yang jatuh itu sampai ia mati atau dapat terbang lagi. Setelah itu mereka akan terbang dengan kekuatan mereka sendiri atau dengan membentuk formasi lain untuk mengejar rombongan mereka.[7]
Manusia memiliki pasang surut dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal ini dikenal dengan konsep circadian rhytms (siklus irama). Setiap pemimpin terkadang menuntut anggotanya untuk bekerja dengan maksimal tanpa kenal lelah, padahal menurut konsep circadian rhytms setiap manusia mempunyai pasang surut baik tenaga maupun pemikiran dalam sehari. Oleh karena itu perlu dilakukan penyimpanan tenaga agar pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan produktif dalam batas-batas kemampuannya.[8] Konsep circadian rhytms sendiri memberikan beberapa langkah untuk menyimpan energy, namun pada saat ini kita tidak akan membahas hal tersebut. Kita akan lebih menitikberatkan pada pembahasan bagaimana angsa menyimpan energi mereka dengan efektif.
Seperti yang telah diceritakan, angsa membentuk formasi “V” ketika melakukan perjalanan bersama-sama dengan kelompoknya. Formasi itu membuat seluruh kawanan angsa dapat menempuh jarak terbang 71% lebih jauh daripada kalau setiap burung terbang sendirian. Hal ini         berarti angsa dapat menghemat 71% energi mereka.
Jadi kerjasama dan formasi merupakan hal yang penting dalam organisasi. Dalam permainan sepakbola, formasi tim pun merupakan hal yang sangat menentukan kemenangan suatu tim. Oleh karena itu pemimpin harus cermat memutuskan formasi apa yang efektif untuk organisasinya. Formasi dalam suatu organisasi tentunya berkaitan dengan siapa yang memang mampu dan sesuai dengan panggilannya di bidang tersebut.
Selain formasi, angsa juga memberikan kita pembelajaran lainnya yaitu memotivasi rekan kerja lainnya. Caring relationship juga ditunjukkan oleh angsa, yaitu ketika rekan di depannya kelelahan, rekan yang lain menggantikannya. Pemimpin yang di depan harus jujur apabila memang ia sudah kelelahan dan butuh bantuan.
Pembagian tugas dapat kita lihat jelas dalam kawanan angsa tersebut. Ketika ada temannya yang mengalami kesusahan ada beberapa dari kawanan angsa yang menemaninya. Mereka yang mendapat tugas untuk menemani angsa yang sedang dalam masalah tersebut akan menemani dan membantu sampai masalah angsa tersebut selesai. Mereka melakukan tugas tanggung jawabnya sampai tuntas. Begitu pula setiap kita yang telah bersedia mengambil bagian pelayanan di bidang tertentu, kita harus melakukan tugas pelayanan kita dengan penuh tanggungjawab dan sampai tuntas.

Mamalia
Karakter mamalia itu secara garis besar adalah sebagai berikut: cenderung berkerumun, berkomunitas, guyub, saling ingin tahu, saling berbagi dan saling menyesuaikan diri. Cenderung percaya satu dengan yang lainnya dan kalau ada penugasan tidak ragu-ragu melakukan pendelegasian. Mamalia juga cenderung meng-empower orang lain agar proses delegasi berlangsung aman. Dengan kata lain, ada spirit kekeluargaan yang cenderung saling melindungi, menjaga dan berorientasi pada kebersamaan (people sense). Itulah karakter mamalia.[9]
Karakter itu bukan cuma ada pada orang per orang, melainkan juga saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Sehingga membentuk rumah atau budaya mamals (mamalia). Dapat dibayangkan apa jadinya organisasi yang diisi orang-orang baik dan seperti itu?

Reptilia
Reptilia memang agresif dan fokus. Mahkluk ini cenderung tidak mendatangi (berkelompok), melainkan memisahkan diri dan bisa cari makan sendirian. Ia sangat detil, kuat, berkulit keras dan mudah dipanasi. Dalam diri manusia, orang-orang tipe reptil adalah tipe yang agresif, fokus, detil, analitikal, berorientasi pada angka, keras hati, tidak merasa perlu berkelompok, financial sense (the bottom line), cool, cenderung tidak percaya dengan orang lain sehingga melakukan verifikasi dan merasa perlu mengontrol. Tentu tidak ada salahnya belajar dari para pemimpin reptilia, karena rata-rata pemimpin besar ternyata memang demikian. Pemimpin reptilia adalah pemimpin yang keras hati atau berhati baja.
Pemimpin besar harus mampu menggabungkan dua kekuatan sekaligus, yaitu berhati keras dan berjiwa lembut. Yesus mengatakan “Cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati”. Dalam bahasa manajemen disebut “berkulit tebal namun berhati mulia.” Dalam bahasa kepemimpinan kita menyebutnya mamareptil: Keras, teguh, disiplin, detail dan berani, namun berhati lembut, memelihara kekompakkan (kohesiveness), mengembangkan manusia, dalam suasana yang menyenangkan namun produktif.[10]

Jadi?
Setelah mempelajari beberapa gaya kepemimpinan binatang di atas, apakah kita masih ingin berpendapat bahwa tidak ada gunanya belajar dari binatang? Ataukah kita masih berpendapat bahwa hanya orang malas atau bodoh saja yang harus belajar dari binatang?
Saya hanya ingin mengatakan satu hal “Orang yang rendah hati tidak pernah merasa dirinya direndahkan ketika belajar dari sesuatu yang lebih rendah dari dirinya.” Semakin kita tidak membatasi diri dalam belajar, semakin banyak hal yang kita dapatkan. Begitu jugalah seorang pemimpin seharusnya, belajar bijak dari apapun juga. Seorang pemimpin tidak bisa hanya puas dengan sedikit hal yang telah dipelajari. Dia harus terus menerus belajar dalam memperlengkapi dirinya. Selamat menjadi pemimpin (setidaknya memimpin diri sendiri terlebih dahulu). 

Karya: Nuryanto, S.Si (teol)


[1] Utami Widijati, 217 Fakta Superaneh Dunia Binatang (Yogyakarta: New Diglossia, 2011), hal. 35.
[2] Rinella Putri, Belajar Organisasi dan Kepemimpinan dari Sekawanan Hewan, http://vibizmanagement.com/journal/index/category/leadership_corp_culture/154/130
[3] Ibid.
[5] David W. Johnson dan Frank P. Johnson, Joining Together: Group Theory and Group Skills (USA: Allyn and Bacon, 2003), hal. 210.
[6] Rizki Dwi Rahmawan, 10 Pelajaran Kepemimpinan dari ‘Bee’, http://umum.kompasiana.com/2009/08/03/10-pelajaran-kepemimpinan-dari-bee/

[8] Pandji Anoraga, Psikologi Kepemimpinan (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 72-73.           
[10] Ibid.

Sabtu, 09 Juli 2011

5 Argumen Tentang Eksistensi Tuhan

 5 Argumen Tentang Eksistensi Tuhan

1. Argumen Kosmologis
Dunia yang indah dan kompleks ini pasti tidak terjadi dengan sendirinya. Pasti ada ‘Sang Penyebab’.
2. Argumen Teleologis
Alam semesta diciptakan pasti ada tujuannya. Oleh karena itu pasti ada ‘Sang Desainer’, Pribadi yang mendesain alam semesta ini.
3. Argumen Rasional
Bumi bergerak secara beraturan dan menurut hukum alam, oleh karena itu pasti ada ‘Sang Penggerak’ dibalik segala aturan dan hukum ini. A. Cressy Morrison dalam bukunya “Man Does Not Stand Alone” memberikan beberapa pernyataan menarik. Pada saat ini bumi berputar pada porosnya dalam tempo 24 jam dengan kecepatan kira-kira 1000 mil/jam. Mengapa tidak 100 mil/jam? Jika 100 mil/jam maka hari dan malam di bumi ini akan 10 kali lebih panjang daripada yang sekarang dengan akibat bahwa matahari musim panas yang terik akan membakar dan malam-malam panjang yang dingin akan membuat beku dunia tanam-tanaman. Bukan lah suatu kebetulan kita mempunyai 1 hari = 24 jam. Bahkan posisi bulan 240.000 mil dari bumi bukanlah suatu kebetulan, seandainya bulan jaraknya hanya 50.000 mil maka pasang laut akan demikian tingginya sehingga pada akhirnya semua gunung di berbagai benua akan terkikis habis dan topan badai akan terjadi setiap hari.
4. Argumen Ontologis
Dari manakah manusia mempunyai gagasan tentang Tuhan kalau tidak dari Tuhan sendiri? Seandainya Tuhan itu sungguh tidak ada dan Dia tidak menempatkan dalam diri manusia suatu keinginan untuk mengenal Dia maka manusia tidak akan merasa perlu untuk mencari Tuhan atau bahkan manusia juga tidak akan perlu bersusah payah untuk mengingkari keberadaan-Nya.
5. Argumen Moral
Manusia mempunyai suatu rasa benar dan salah yang sudah ada sejak semula yang tidak dapat diterangkan kecuali dengan melihat kepada ‘Sang Baik’ yang menciptakan manusia dan memberikan perasaan itu.

Apakah dengan semua argumen tersebut kita dapat meyakinkan kepada orang yang tidak percaya kepada Tuhan bahwa Tuhan itu ada? Tidak akan pernah. Ketika kita memberi argumen yang menopang eksistensi Tuhan maka mereka yang tidak percaya akan keberadaan Tuhan akan mengemukakan argumen yang menentangnya.

Kita tidak bisa membuktikan Tuhan dengan eksperimen laboratoris. Jika Tuhan hanya bisa dimengerti melalui pembuktian sains maupun filsafat maka orang-orang yang pertama-tama akan percaya ialah orang-orang yang paling pintar dan berpendidikan tinggi.  Tuhan itu bisa menggunakan berbagai cara untuk menunjukkan keberadaan diri-Nya. Jangan batasi Tuhan hanya pada kemampuan berpikir kita. Mario Teguh pernah mengatakan “Allah selalu menyisipkan permasalahan yang tidak logis kepada yang logis, agar manusia dapat menyerahkan diri kepadaNya, seandainya memang logis maka manusia tiada akan membutuhkanNya.”

Minggu, 22 Mei 2011

BERFIRMAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK


Berfirman melalui Media Elektronik

I. Pendahuluan
Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang tidak berkomunikasi. Baik kepada sesamanya maupun kepada makhluk yang lain, mereka saling memberikan input dan sekaligus menerima output. Inilah gambaran komunikasi yang terjalin di antara makhluk hidup. Dengan komunikasi manusia semakin mudah memenuhi kebutuhannya. Misalnya, komunikasi yang terjalin antara penjual dan pembeli di pasar tradisional. Namun, tidak jarang juga komunikasi memiliki andil untuk menciptakan perseteruan. Misalnya, gosip menimbulkan pertengkaran antar tetangga. Semuanya bergantung pada manusia, bagaimana ia mengelola komunikasi tersebut.
Dalam perkembangannya, manusia menciptakan berbagai media untuk berkomunikasi. Media tersebut dari bentuk sederhana hingga saat ini dengan bentuk yang super canggih oleh bantuan teknologi mutkahir. Tentunya media komunikasi tersebut bermanfaat disegala bidang. Dalam paper kali ini, kelompok memaparkan peranan media komunikasi dalam bidang teologi khusunya jenis media elektronik.

II. Pengertian Komunikasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunikasi berarti pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.[1] Dari pengertian ini jelas menunjukkan bahwa komunikasi menjadi kegiatan penyaluran informasi. Menurut Rm. J. Lampe, SJ, komunikasi memiliki empat tingkatan. Pertama, komunikasi intra-personal, yakni komunikasi yang terdapat dalam diri manusia sendiri. Kedua, komunikasi inter-personal, yakni komunikasi yang terjadi antara dua person. Tingkatan yang ketiga dan keempat yaitu group media dan mass media, yang merupakan media berkomunikasi.[2]
Komunikasi pada dasarnya berkaitan erat dengan kesenjangan. Dalam interaksi yang terjalin antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan Allah, seringkali muncul adanya kesenjangan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dibangun suatu jembatan komunikasi. Hal ini kemudian menjadi teori khusus yang mempelajari bagaimana jembatan-jembatan komunikasi itu dibangun dan bagaimana cara menyeberanginya, yaitu dapat diaplikasikan dalam komunikasi yang terjalin antara Allah dan umat manusia.[3]
Komunikasi merupakan media yang penting untuk menyampaikan pesan Allah kepada manusia. Alkitab dengan jelas memaparkan prinsip-prinsip Allah dalam berkomunikasi. Misalnya, dalam Ibrani 1:1, Allah menggunakan pihak ketiga (baca: orang lain) untuk berkomunikasi dengan umat-Nya. Yesus merupakan contoh  metode-Nya yang sempurna sebagai jembatan komunikasi (Ibr 1:2).[4]
Allah memberikan teladan berkomunikasi dengan beberapa cara, yaitu pertama, Allah berusaha berkomunikasi  bukan sekadar untuk menimbulkan kesan kepada kita. Kedua, Allah ingin dimengerti, bukan sekadar dikagumi. Ketiga, Allah mencari jawaban dari para pendengar-Nya bukan sekadar mendengarkan secara pasif. Keempat, Allah menyatakan diri di Alkitab bukan hanya apa yang mau dikomunikasikan melainkan juga bagaimana mengkomunikasikannya. Kelima, Allah berorientasi kepada penerima pesan. Keenam, metode dasar komunikasi Allah bersifat penjelmaan atau inkarnasional. Ketujuh, Allah berkomunikasi dengan dampak.[5]  

III. Pengertian Media
Kata “media” berasal dari Bahasa Latin medius yang secara harafiah berarti tengah, perantara, atau pengantar. Namun, pengertian media dalam proses pembelajaran cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, fotografis atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.[6]
Perkembangan dunia sangat cepat terutama dalam bidang media. Hampir setiap hari kita menemukan perubahan dalam media baik itu media cetak, elektronik dan telekomunikasi. Banyak pengaruh yang ditimbulkan oleh perubahan dan perkembangan media ini, baik dampak negatif maupun positif yang telah dirasakan dalam hidup masyarakat modern.
Dalam hal ini, gereja pun ikut terlibat menggunakan perkembangan media komunikasi ini. Secara khusus media elektronik saat ini gereja manfaatkan untuk mendukung kegiatan pelayanan. Dalam paper ini kelompok memaparkan empat contoh media elektronik, yaitu televisi, hp (baca: sms), radio, dan cyber church.   

IV. Peranan Media Elektronik Secara Kristiani
a. Televisi
Televisi merupakan media komunikasi elektronik yang tidak pernah hilang dalam peredaran perkembangan teknologi era ini. Dari model hitam-putih hingga saat ini diciptakan televisi bermodel flat dengan fungsi yang sama memberikan informasi dalam bentuk audio-visual. Perkembangannya tidak hanya di dunia tetapi juga dirasakan hingga di Indonesia. Meskipun menurut Ishadi SK, praktisi televisi dan ilmuwan komunikasi Indonesia, televisi merupakan barisan yang paling belakang hadir sebagai kekuatan bisnis di Indonesia.[7]
Berbagai pakar budaya dan komunikasi memberikan pandangannya terhadap produk teknologi ini. Umar Kayam, seorang budayawan Indonesia, berpendapat bahwa televisi memiliki peranan penting dalam proses dialektik membentuk kebudayaan masyarakat. Artinya, televisi bersama dengan masyarakat membentuk sosok kebudayaannya.[8]
Menurut Nasir Tamara, seorang jurnalis Indonesia, kehadiran televisi di dunia membawa dampak besar bagi umat manusia. Televisi memiliki berbagai kandungan informasi, pesan-pesan yang dalam kecepatan tinggi menyebar ke seluruh pelosok dunia. Televisi juga menjadi alat bagi beberapa kelompok atau golongan untuk menyampaikan pesan kepada berbagai kalangan masyarakat.
Dengan demikian, jelas bahwa televisi memiliki banyak manfaat. Orang dapat menyaksikan secara langsung suatu peristiwa di bagian dunia lain berkat jasa televisi. Televisi menyajikan berbagai macam program tayangan dalam berbagai bentuk seperti berita, pendidikan, hiburan, dan iklan, berdasarkan realitas, rekaan, atau ciptaan yang sama sekali baru.[9]
Medium televisi memiliki potensi yang sangat besar karena sifatnya yang audio-visual, sehingga dapat memadukan bahasa lisan, tulisan, gambar yang bergerak, animasi, dan efek suara menjadi satu kesatuan. Televisi mampu menangkap dinamika dari penglihatan, suara dan gerak, mengubah ruang/ waktu, hubungan dan menggunakan konvensi-konvensi naratif untuk menciptakan “kenyataan”. Televisi juga mampu melintasi batas-batas geografi, menyampaikan pesan yang sama kepada jutaan penonton sekaligus menciptakan sebuah perasaan akan adanya keikutsertaan secara pribadi. Televisi mampu menciptakan “realitas”, yaitu realitas yang terbentuk di dalam benak manusia didasarkan pada apa yang dilihatnya dari media.
Akan tetapi, televisi juga memberikan banyak pengaruh negatif, yaitu:
  1. Media televisi melalui tayangannya mengajarkan anak untuk menyelesaikan masalah secara instan. Misal kantong ajaib Doraemon. Hal ini menjadikan anak memiliki konsep hidup tanpa perjuangan. Anak menjadi tidak tangguh lagi dalam menghadapi persoalannya.
  2. Media televisi mengajarkan kejahatan dan kekerasan, terutama dalam tayangan sinetron atau film lepas laga. Secara gamblang diperlihatkan cara menyelesaikan perselisihan yang dilakukan dengan perkelahian.
  3. Tayangan iklan di media televisi juga memancing anak menjadi hidup konsumtif dan serakah.
  4. Bagi anak kecil di bawah 7 tahun, mereka masih sulit untuk membedakan antara fiksi (pura-pura) dengan realita (kenyataan). Adegan melompat ketinggian, terbang seperti Superman, putri jelita secantik Barbie dan lain-lain semuannya hanya khayalan membuat anak hidup dalam fantasi.
  5. Anak berperilaku seks yang tidak senonoh, seperti yang dilakukan tokoh Crayon Sinchan dengan mudah ditiru juga oleh anak.[10]
Bila kita telah melihat manfaat dan dampak peranan televisi, sekarang apa yang harus gereja lakukan untuk memanfaatkan televisi dengan setia kepada Injil? Gereja dapat menggunakan televisi untuk pra-evangelisme, maksudnya gereja tidak dapat menjadi gereja di televisi. Gereja tidak dapat menyiarkan persekutuan sejati, menyediakan baptisan, perkawinan, penguburan, atau pun perayaan-perayaan ibadah yang disediakan oleh gereja. Akan tetapi, gereja dapat memberikan informasi tentang iman Kristen dan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dikemukakan. Gereja memakai televisi sebagai persiapan untuk Injil, bukan sebagai perantara. Hal ini dikarenakan Injil membutuhkan kehadiran pribadi manusia, bukan mesin.[11]
Ketika gereja mau menayangkan tayangan yang berhubungan dengan kerohanian, maka gereja harus memerhatikan komunitas setelah menonton tayangan tersebut. Gereja harus sadar akan kebutuhan penonton yang menggunakan media televisi yang menayangkan acara rohani. Ada tiga langkah yang gereja lakukan dalam menggunakan media televisi untuk mempersiapkan orang-orang yang menerima Injil. Pertama, seorang teolog yang bernama Paul Tillich menyebut istilah “situasi-situasi tapal batas,” maksudnya keadaan di mana manusia modern mencapai batas-batas eksistensi kemanusiaan mereka. Pada waktu itu, mereka merasa kehilangan makna pribadi atau merasa tidak berguna dan tidak berharga. Kedua, melalui media televisi, gereja dapat menghadirkan maupun menceritakan kembali orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang telah melampaui “situasi-situasi tapal batas” secara kreatif dan dengan iman, misalnya cerita mengenai berita (Selma, Manila, Afrika Selatan), biografi (Dietrich Bonhoeffer, Gandhi, Martin Luther King Jr., C.S. Lewis), drama (“A Man for All Seaseon,” “Who’s Afraid of Virginia Wolfe?””The Turning Back”), dokumentasi (Dr. Kubler-Ross yang menghadapi kematian anaknya). Ketiga, komunikasi Kristen pada akhirnya bersaksi akan iman Kristen di dalam Yesus Kristus.[12]
 
b. S
ending Messagge Service (SMS) Rohani
Salah satu perkembangan media yang membuat kemudahan dan keuntungan manusia adalah penggunaan media telekomunikasi yang kita sebut HP (handphone). Oleh gereja, media komunikasi ini dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pelayanan. Misalnya, Pesan Rohani Harian melalui sending messagge service (sms) yang dibuat oleh Komisi Liturgi KWI dalam kerja sama dengan PT Infokom Jakarta. Pada dasarnya, harapan yang mau dicapai melalui program "renungan/pesan
rohani harian singkat" ini agar umat beriman boleh dibantu menimbah inspirasi hidup Kristiani dari hari ke hari.
Pesan Rohani Harian yang dikirimkan via sms ini umumnya bersumber dari bacaan-bacaan Misa pada hari yang bersangkutan sesuai dengan kalender Liturgi Gereja. Namun, ada kalanya pesan rohani ini diambil juga dari kata-kata inspiratif-reflektif dari Para Kudus, dokumen-dokumen/ ajaran resmi gereja, dan lain sebagainya.
Adapun biaya yang dipungut setiap pesan rohani SMS yang dikirimkan adalah Rp 1000,- . Namun biaya yang dipungut bukanlah untuk keuntungan pribadi melainkan apabila ada keuntungan finansial yang mungkin kelak didapat dari layanan ini, sepenuhnya akan digunakan untuk karya pelayanan Komisi Liturgi KWI.

c. Radio
Radio merupakan salah satu media massa memiliki fungsi untuk memberikan informasi, pendidikan dan hiburan kepada masyarakat. Menurut Lasswell (1948) fungsi media massa termasuk radio dikatakan mencakup fungsi pengawasan (surveillance), pertalian bagian -bagian masyarakat dalam memberikan respon terhadap lingkungannya (correlation) dan transmisi warisan budaya (transmission of culture). Selain tiga fungsi tersebut Wright (1960) menambahkan satu lagi yakni hiburan (entertainment). Dengan adanya berbagai fungsi yang dimiliki, sebagai salah satu media massa radio diharapkan mampu berperan dalam proses pembangunan.[13]
Selain sebagai media komunikasi pembangunan secara umum, radio bisa digunakan untuk bidang pelayanan dan pendidikan keagamaan.  Radio adalah media massa untuk  pelayanan umum, di mana siarannya tidak diperuntukkan bagi suatu golongan tertentu dan tidak dimonopoli kelompok tertentu, termasuk pemerintah. Oleh karena itu, isi siaran harus dijaga sesuai etika penyiaran, seperti: jangan menghina seseorang atau golongan tertentu.
Berbicara radio sebagai media massa untuk pelayanan umum, radio juga bisa digunakan untuk pelayanan keagamaan, di mana siaran keagamaan ini telah sengaja dibangun yang hanya bermanfaat bagi golongan agama tertentu. Hal ini berkaitan dengan pendidikan keagamaan.  Tujuan dari “keagamaan” di sini adalah untuk membangun dan mengembangkan karakter manusia, misalnya: kita dapat mengartikan “keagamaan” sebagai implisit Kristen. Tujuan siaran yang membangun dan mengembangkan karakter, bukan hanya bagi umat kristiani, tetapi bagi bangsa Indonesia. Dasar pendidikan kristiani adalah Hukum Kasih yang tidak membedakan dan tidak mengunggulkan, tetapi merangkul sesama kita. Oleh karena itu, tugas utama penyiaran pendidikan (kristiani) adalah membangun dan menumbuhkan sifat-sifat yang disebut sebagai buah roh.[14]
Berikut ini adalah contoh program radio yang dijadikan sebagai alat pemberitaan Firman.
Stasiun radio pada frekwensi 1044 AM  dengan daya pancar 1000 watt, radius pancar 67 Km, yang  menjangkau mulai dari daerah Cikarang hingga mencapai kota-kota lain seperti Seluruh Kabupaten Bekasi, Depok, Bogor, Karawang, Cikarang, Purwakarta, Subang, dan sekitarnya. Dengan daya jangkauan siaran yang luas dari pukul 05.00 dini hari hingga 24.00 wib, maka ada banyak orang yang akan mendengarkan setiap program siaran dari radio ini. Dengan demikian akan sangat membantu untuk terjadinya sebuah transformasi di Indonesia, terkhusus dalam penyebaran firman. Sesuai dengan amanat agung Tuhan Yesus Kristus untuk memberitakan Kabar Baik dan menjadikan seluruh bangsa menjadi murid Tuhan.
     Program siaran radio ini tidak hanya berupa pemutaran musik country tetapi terdapat pula program lain seperti interactive infotaiment dan talkshow. Selain dari aliran musik Country western (70%) yang menjadi chirikhas radio ini, lagu-lagu dari dalam negri yang sedang naikdaun pun mendapatkan tempat(30%) dalam program siaran.
Dengan program-program rohani yang bermutu yang dikemas menarik, interaktir, dan informatif serta lagu-lagu country unggulan yang disajikan kepada pendengar, dan pastinya akan menambah iman, wawasan dan menjadikan sarana hiburan. Target utama dari siaran radio ini adalah anak-anak muda yang professional dalam kisaran umur 20-39 tahun dari golongan menengah ke atas. Karena mereka yang berada dalam usia inilah yang sedang produktif dan memiliki pengaruh dalam komunitasnya.
Komposisi pendengar radio ini berdasarkan aktivitas 24% exsekutive, 22% karyawan, 17% mahasiswa, 14% pensiunan, 13% Ibu rumahtangga, 10 % pelajar. Berdasarkan golongan ekonomi 60% Menengah, 27% atas, 13% bawah. Berdasarkan jenis kelamin 60% & Pria, 40% Perempuan.
c. Cyber Church
Era teknologi dan komunikasi yang melaju begitu cepat membuat kekristenan pun tidak mau ketinggalan. Kekristenan ikut berlari dengan perkembangan tersebut. Dia menggunakan teknologi yang ada untuk memberitakan pada dunia bahwa dirinya eksis. Dia masuk lewat media yang ada. Di antaranya adalah internet. Salah satu cyber church yang ada mempunyai visi sebagai berikut “A ministry of ChristRing Ministries, our mission is to bring Jesus Christ to the Internet and to unashamedly present His Gospel of Love and Grace to all that visit here. While Cyber-Church can never replace fellowship in your local church it is our sincere prayer that we can become your "home away from home" Church and that you will find true Christian fellowship here. That we at the Cyber-Church can meet many of your ministry needs.”
Cyber church membahas topik-topik kekristenan dan agama-agama lain. Ada ruang untuk permohonan doa, khotbah, toko buku, ruang chating.  Cyber church tidak sama dengan Web page gereja. Web page gereje hanya berisi informasi gereja lokal. Cyber church melebihi itu. Dia tidak bersifal lokal melainkan global. Dia berkomunikasi dan membangun hubungan dengan pada pengunjungnya. Beberapa cyber church yang ada, yaitu Virtual Church (SM), CyberMinistries Virtual Church, Nettkirken (Norway), WebChurch (Scotland), Osaka-Nozomi Web Chapel (Japan), dan lain-lain.
Cyber church memang mempermudah umat Kristen untuk berkomunikasi dan mengenal lebih jauh tentang Kekristenan. Namun apabila sampai doa, khotbah dan ruang konseling juga ad di sana maka batas-batas sosial akan mulai melenyap. Jaringan informasi menjadi bersifat transparan dan virtual. Tidak ada lagi kategori-kategori norma gereja yang mengikat dan membatasinya. Yasraf Amir mengatakan “Ketika segala sesuatunya berputar bebas dalam sirkuit global, di dalam cyber space, maka hukum yang mengatur masyarakat global kita bukan lagi hukum kemajuan – sebab kemajuan berarti juga ekspansi territorial – melainkan hukum orbit, segala berputar secara global, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu territorial ke territorial lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu kebudayaan ke budayaan lain.”[15]
Batas-batas sosial yang di dalamnya terdapat budaya, nilai, dan simbol-simbol pun ikut lenyap. Ini lah bahaya dari cyberchurch. Kelompok melihat bahwa web page gereja lebih baik daripada cyber church karena web page merupakan bagian dari kegiatan pelayanan gereja bukan menggantikan peran gereja seperti cyber church.

V. Penutup
Komunikasi memiliki peranan penting dalam interakasi manusia. Komunikasi tidak hanya menolong manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi juga berpengaruh dalam pembentukan budaya manusia. Secara Teologi, komunikasi dipahami lebih mendalam. Alkitab memaparkan komunikasi yang terjadi antara Allah dengan umat-Nya. Komunikasi tersebut direfleksikan sebagai relasi iman yang nyata dalam kehidupan umat.
Dalam perkembangannya, manusia kemudian menciptakan berbagai media komunikasi yang semakin mempermudah proses komunikasi tersebut. Dalam perkembangan media komunikasi ini, gereja ikut serta membudidayakan media tersebut dalam praktek pelayanannya. Secara khusus media elektronik yang sangat berkembang saat ini, gereja membudidayakannya untuk memfasilitasi pertumbuhan iman umat.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap bentuk media komunikasi khususnya elektronik, memiliki dampak positif dan negatif. Gereja perlu mengantisipasi pengaruh perkembangan media ini agar tidak menjadi batu sandungan bagi pertumbuhan iman jemaat. Karena sangat disayangkan dengan tujuan yang baik tetapi justru dapat menghancurkan esensi persekutuan itu sendiri.

Ditulis oleh: Nuryanto, S.Si (Teol); Novianti, S.Si (Teol); Putri, S.Si (Teol); Robinson, S.Si (Teol) dan Suhardi, S.Si (Teol). Ditulis untuk mata kuliah Pembulatan Studi Teologi (sewaktu kami semua masih kuliah)










DAFTAR PUSTAKA
Fore, William F. Para Pembuat Mitos: Injil kebudayaan dan Media (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
Fore, William F. Television and Religion: The Shaping of Faith, Values, and Culture. Minneapolish: Augsburg, 1987
Ketakese Komkat KWI. Peranan Media dalam Pendidikan Iman dan Upaya Pendidikan Kesadaran Bermedia. Jogjakarta: Kanisius, 1997.
Mulyana, Deddy, Idi Subandy Ibrahim (ed), Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.
Piliang, Yasraf Amir. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Jalasutra, 2008.

Artikel dan Bahan Bacaan Yang Tidak Diterbitkan
Atmarumengkas, Junus N. “Peran Media Radio dalam Pelayanan dan Pendidikan Keagamaan,” dalam  Faithful Love 40 th RPK FM. Jakarta: RPK Jakarta, 2007.
Ginting, Rina. Mujizat Bukan Pada Pesawat Televisi Anda: Tinjauan Kritis terhadap Siaran Rohani Kristiani di Televisi. Jakarta: Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 2005, Karya Tulis Akhir.
Hasil Konsultasi Komunikasi-Teologi. Komunikasi dan Pendidikan Teologi. Yogyakarta: WACC Indonesia, 1989.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001).

Internet
N., Yahya. “Pengertian Media,” dalam http://apadefinisinya.blogspot.com/2007/12/pengertian-media.html, tanggal 30 Agustus 2009 pukul 19.20. 
Sulaiman,  R. “Media Penyiaran Sebagai salah Satu Alternatif Pemberdayaan Masyarakat,” dalam www.geocities.com/radiogshfm/Data/RadioMediaAlternatif.pdf, diakses pada hari Senin, 31 Agustus 2009, pukul 18.35 WIB.



[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001).
[2] Hasil Konsultasi Komunikasi-Teologi, Komunikasi dan Pendidikan Teologi (Yogyakarta: WACC Indonesia, 1989), h. 8.
[3] Ketakese Komkat KWI, Peranan Media dalam Pendidikan Iman dan Upaya Pendidikan Kesadaran Bermedia, (Jogjakarta: Kanisius, 1997), h. 12.
[4] Ibid., h. 11. 
[5] Ibid., h. 13-18
[6] Yahya N., “Pengertian Media,” dalam http://apadefinisinya.blogspot.com/2007/12/pengertian-media.html, tanggal 30 Agustus 2009 pukul 19.20.  
[7] Deddy Mulyana, Idi Subandy Ibrahim (ed), Bercinta dengan Televisi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), h. 16.
[8] Ibid., h. 328.
[9] Ibid., h. 285.
[10] Rina Ginting, Mujizat Bukan Pada Pesawat Televisi Anda: Tinjauan Kritis terhadap Siaran Rohani Kristiani di Televisi, (Jakarta: Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 2005, Karya Tulis Akhir), h. 22-28. 
[11] William F. Fore, Para Pembuat Mitos: Injil kebudayaan dan Media (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), h.107-108
[12] William F. Fore, Television and Religion: The Shaping of Faith, Values, and Culture (Minneapolish: Augsburg, 1987), h. 122-124
[13]  R. Sulaiman, “Media Penyiaran Sebagai salah Satu Alternatif Pemberdayaan Masyarakat,” dalam www.geocities.com/radiogshfm/Data/RadioMediaAlternatif.pdf, diakses pada hari Senin, 31 Agustus 2009, pukul 18.35 WIB.
[14] Junus N. Atmarumengkas, “Peran Media Radio dalam Pelayanan dan Pendidikan Keagamaan,” dalam  Faithful Love 40 th RPK FM. (Jakarta: RPK Jakarta, 2007), h. 164-165.
[15] Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan (Bandung: Jalasutra, 2008), h. 134-135.

Selasa, 10 Mei 2011

Tantangan Ateisme

Bagi rekan-rekan yang ingin mempelajari lebih jauh tentang ateisme dan ingin belajar bagaimana menghadapinya dapat membaca tulisan dari Romo Simon Petrus L. Tjahjadi berikut ini. Silahkan download di http://www.mediafire.com/?n433i6t6al1zfyj . File saya protek, jika ingin mengetahui passwordnya dapat komen di sini lalu berikan alamat emailmu, nnt sy krm ke emailmu. Selamat belajar. Tuhan memberkati.

Minggu, 23 Januari 2011

Einstein tidak Naik Kelas? Anda Salah

Albert Einstein merupakan salah satu penemu besar yang berhasil menemukan teori yang bernama Relativitas. Akan tetapi kita sering membicarakan tentang Albert Einstein yang sudah menjadi mitos dan kenyataannya tidak seperti itu. Ada 2 mitos yang terjadi:
1. Albert Einstein menerima nobel pada tahun 1921 bukan karena teori Relativitasnya, melainkan oleh teori Efek Fotoelektrik. Efek Fotoelektrik diketemukan karena adanya keanehan pada sifat cahaya. Tumbuhan dan sel-sel solar menggunakan Efek Fotoelektrik ketika mengubah cahaya menjadi listrik. Kenyataannya tiap tahun, tumbuhan mengubah 1.000 miliar ton karbondioksida menjadi 700 miliar ton oksigen dan bahan organik. Lalu bagaimana dengan teori Relativitasnya? pada tahun saat Albert Einstein menerima nobel, teori Relativitasnya masih kontroversial. Teori relativitasnya menggunakan rumus E = m.c2, yang di dalam bukunya yang berjudul, "Does the Inertia of a Body Depend on its Energy Content". Persamaan dari rumus di atas, diketahui bahwa E adalah energi, m adalah massa dan c adalah kecepatan cahaya. Apabila kita mengkonversikan sebuah massa seluruhnya menjadi energi, dari persamaan ini menunjukkan betapa banyaknya energi yang kita peroleh.
2. Einstein tidak pernah tinggal kelas dan bukan orang yang bodoh. Jika kita berpikir secara logika saja, bagaimanakah seorang yang bodoh dapat menemukan beberapa teori yang akhirnya berguna di masyarakat, kecuali jika orang itu memang jenius? Einstein dilahirkan pada tanggal 14 Maret 1879 di Ulm, Jerman. dia bersekolah pada tahun 1886 pada usia 7 tahun. Pada usia 12 tahun, dia belajar kalkulus (merupakan mata pelajaran yang biasanya dipelajari oleh siswa yang berumur 15 tahun). Ia mendapat nilai yang baik untuk mata pelajaran sains. pada tahun 1895, ia mengikuti ujian masuk Federal Polytechnic School di Zurich. Ia berumur 2 tahun lebih muda dari para pendaftar lainnya. Ia dapat nilai menonjol pada mata pelajaran fisika dan matematika, namun gagal pada mata pelajaran lain, terutama pada mata pelajaran bahasa Perancis. Lalu dia mendaftar di sekolah lokal di Aargau, belajar dengan tekun untuk dapat masuk di Federal Polytechnic School tahun depan. Usahanya tidak sia-sia, tepatnya pada Oktober 1896, ia masuk di sekolah tersebut (pada saat usia 17 tahun, ia lebih muda dibandingkan siswa yang lain). Pada tahun itu juga, ia menuliskan esai yang mengarah pada penelitiannya nanti pada bidang relativitas. Lalu bagaimana mitos ini ada? jawabannya sangat sederhana. Pada tahun 1986, sistem penilaian sekolah saat itu diubah. Nilai "6" yang dulu paling rendah, menjadi paling tinggi. Nilai "1" yang dulu paling tinggi menjadi paling rendah. Nilai Einstein saat itu adalah 4,91. Jika kita mengkonversikan nilai 1-6 menjadi 1-10, maka nilai 4,91 menjadi 8,18. Bukankah nilai ini bagus? Jadi mitos ini sering dipakai oleh siswa yang malas, yang berkelit bahwa orang bodoh saja bisa sukses. Tidak ada satupun orang yang malas yang dapat sukses di dunia. Hanya ada orang yang ingin berusaha yang dapat sukses untuk meraih impian.



Sumber: Dr. Karl Kruszelnicki. Mitos-mitos Besar yang Keliru. Jakarta: BIP.
Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar