Pages

Minggu, 23 Oktober 2016

SAAT ORANG KRISTEN BELAJAR ISLAM

SAAT ORANG KRISTEN BELAJAR ISLAM

Umat islam lulusan dari pesantren, Universitas Islam, bahkan ada juga yang profesor, saat membahas Islam yang berbeda dengan pemahaman organisasi islam seperti HTI, FPI, FUI, MUI dan sejenisnya, akan langsung dianggap ‘ngawur’. Pemahaman mereka akan islam dan alquran dianggap salah dan harus dikaji lagi. Bahkan sampai ada yang diberi label sesat, syiah dan liberal. Melihat peristiwa ini, saya lantas teringat dengan teman saya. Seorang yang beragama Kristen, lulusan sekolah teologi Kristen tapi belajar S2 dan S3 tentang Islam.
Saya penasaran bagaimana dia sebagai orang kristen memaknai proses pembelajarannya tentang Islam secara akademik. Mari simak wawancara saya berikut ini dengan teman saya tersebut. Dia bernama Hans Abdiel Harmakaputra. Wawancara ini dilakukan melalui chat messenger, dengan waktu dan benua yang berbeda. Saya di Jakarta, dia di boston.
Semua percakapan di bawah ini, saya salin sebagaimana aslinya. Saya hanya memperbaiki di bagian teknis, agar lebih enak dibaca. Bahasa wawancaranya juga saya buat dalam percakapan sehari-hari agar pembaca bisa membacanya secara santai sambil menikmati teh bersama dia yang manis.

Saya       : Halo Hans, sebelum melakukan wawancara boleh memberikan latar belakang pendidikannya dulu hans? S1, s2 dan s3 di mana dan jurusan apa?
Hans      : S1: STT Jakarta - teologi
                S2 Hartford Seminary - Islamic Studies and Christian-Muslim Relations
                Sedang S3 di Boston College, Theology Department bidang Comparative Theology

Saya       : Hartford dan Boston apakah 2 universitas tersebut beraliran liberal?

Hans      : Gak ada universitas yang beraliran liberal. Haha. Liberal itu kan pelabelan dari pihak lain. Hartford Seminary itu gak ada denominasi. Dan dia seminary bukan universitas. Boston College itu Jesuit University.

Saya       : Jadi bisa dikatakan, 2 tempat lu belajar Islam itu bukan universitas Islam melainkan seminari dan universitas yang masih dalam payung kekristenan?

Hans      : Betul. Tapi Hartford Seminary bukan seminary pada umumnya karena dia punya program Islamic Caplaincy. Jadi mahasiswa muslim cukup besar prosentasenya. Caplain itu kalau di Indonesia kayak "pendeta rumah sakit" pendeta tentara, pendeta di sekolah, dst
Lalu di Hartsem waktu gue studi ada 5 dosen bidang Islam. 4 orang muslim, 1 Kristen. Jadi bisa dibilang gue belajar dari Muslim. Belajar perspektif Islamic studies secara akademik. Nah kalau di BC memang universitas Katolik. Tapi advisor gue Muslim sih. Gue belajar teologi Kristen juga di sini. Minor di Kristologi
Oh ya, di US gak ada "Universitas Islam"               
Bidang Islamic Studies itu biasa dipelajari di divinity school atau religious studies department (religious studies beda dengan teologi karena perspektif tidak atas iman)

Saya       : Apa yang lu pelajari tentang Islam di sana? Apakah menyentuh tentang tafsir Alquran dan hadits? Atau ada yang lainnya?

Hans      : Waktu S2, belajar Islamic history (sampai pre modern), Islamic theology, Islamic spirituality and mysticism, Shi'a Islam, image of Jesus in Islam and Christianity, perbandingan tema- tema teologis Islam dan Kristen dll.
Pas S3 belajar Quran, hadith, Islamic literature, lalu di Harvard ambil kelas Islam kontemporer, jadi soal politik dan aliran-aliran Islam modern, plus Islam di Barat

Saya       : Soal tafsir Alquran apakah dipelajari juga secara mendalam seperti mempelajari tafsir Alkitab saat S1 teologi?

Hans      : Gak, cuma satu semester soalnya.

Saya       : Dapat dikatakan, lu adalah seorang teolog kristen, tapi kenapa tertarik mengambil bidang Islamologi?

Hans      : Gue sendiri gak sreg sama istilah Islamologi. Di kalangan akademik Islam indonesia juga kan gak bilang islamologi. Gue lebih setuju dengan term Islamic studies karena menyatakan bahwa bidang ilmu itu adalah sebuah bidang ilmu dan artinya bisa dipelajari oleh siapa pun. Teologi juga mestinya demikian. Itu alasan pertama, bahwa yang namanya ilmu pengetahuan itu ya mesti bisa diakses oleh siapapun yg tertarik.
Kedua, gue besar dalam tradisi iman yang bisa dikatakan Injili, sampai SMA. S1 seperti lu tahu masuk STTJ ada transformasi dalam cara berpikir, salah satunya ya soal bagaimana Kristen punya prasangka dan penilaian terhadap agama-agama lain (dan vice versa tentunya) tapi kok gak belajar dari sumber langsung dan kurang ada dialog. Makanya waktu s1 tertarik dengan dialog antar umat beragama. Sering ikut seminar2 di UIN, JIL, dsb.
Tapi kenapa akhirnya ambil Islam sebagai fokus studi sebetulnya sih gak terduga. Gue datang ke Hartford karena tertarik sama kehidupan kampus yang multi-faith, lalu gue pikir bisa belajar interfaith dialogue. Eh pas sampai sana gak ada program master untuk interfaith. Tapi pas lihat-lihat ternyata kampus itu terkenal untuk Islamic Studies dan ada beberapa dosen Islam yang terkenal. Lalu gue pikir, dalam konteks Indonesia kan interfaith ya pastibersinggungan dengan islam jadi kenapa tidak coba aja dalami Islam.
Begitulah awalnya. Dan ternyata cocok.

Saya       :Ilmu islamic studies yang lu pelajari tersebut, kira-kira jika dibawa ke Indonesia akan berguna untuk siapa?

Hans      : Yang pasti buat gue lah. Hahaha
Belajar itu kan sebuah panggilan. Sebelum ilmu itu bisa berguna buat orang lain, ilmu mesti berguna buat perkembangan diri sendiri khususnya buat jiwa masing-masing. Sama kayak hobby lah.
Nah kalau ditanya buat orang lain bagaimana, ya banyak juga manfaatnya. Kalau di pendidikan teologi, masih sedikit orang yang fokus secara serius dalam bidang ini walau sekarang sudah mulai. Misal pendeta yang ambil doktoral dari UIN.
Jadi mudah-mudahan bisa ada perkembangan dalam pendidikan teologi dalam hal studi               Islam.
Kedua, expertise gue juga bermanfaat buat orang muslim juga. Misalnya gue published penelitian di jurnal Islam Indonesia udah beberapa. Nah itu berarti turut berkontribusi dalam diskursus Islamic studies di Indonesia
Ketiga, ya mudah-mudahan bisa menjadi jembatan sih. Menerangkan Islam secara lebih baik dan tepat kepada yang Kristen dan vice versa (sebaliknya). Syukur-syukur bisa menarik minat teman-teman Muslim untuk belajar kekristenan juga.

Saya       : Artikel ilmiah lu yang berkaitan dengan studi Islam, sudah berapa yang diterbitkan di jurnal ilmiah? Kalo inget boleh juga ditulis judulnya hans...

Hans      : Bisa lihat di sini http://bc.academia.edu/HansHarmakaputra
Ada yg bertema Islam Kristen dan terbit di jurnal kristen. Ada juga yang topik Islamic studies dan terbit di jurnal islam
Ada 3 yang terbit di jurnal Islam Indonesia: 1. Becoming Perfect Human di Ulumuna -  IAIN Mataram, 2. Discerning motives di Miqot - UIN Sumut, 3. Post Islamism di al-Jamia - UIN Sunan Kalijaga Jogja

Saya       : Kita kembali lagi ke bagian kegunaan studi lu yah hans. gue tertarik dengan alasan ketiga lu. Itu artinya kepada rekan kristen lu akan menyampaikan seperti apa Islam itu, sedangkan kepada rekan Islam, lu menyampaikan seperti apa kristen itu? Jadi tidak menjelaskan kepada rekan Islam seperti apa Islam itu, misalnya mengenai tafsir yang ramah kepada teman-teman Islam yang radikal?

Hans      :Tidak ada jawaban tunggal tentang Islam. Kalau kita lihat kasus Ahok dan Al Maida misalnya, sebetulnya gak tepat juga Ahok bilang dibohongi karena yang namanya penafsiran itu ya ada soal salah benar atau masih relevan atau tidak relevan. Sama kayak kalau di Kristen ada gereja-gereja yang tolak pendeta perempuan karena penafsiran terhadap Alkitab. Nah kita gak bisa bilang mereka bohongin umat kristen, tapi kita bisa ajukan tafsir lain yang menunjukkan bahwa penafsiran mereka tidak akurat atau tidak relevan.
Kalau soal menjadi jembatan, beberapa kali gue alami bahwa untuk menjelaskan Islam kepada orang Kristen ya perlu tahu kekristenan juga jadi bisa kasih analogi yang pas. Dan sebaliknya ke Islam menjelaskan Kristen lebih mudah ketika cari padanan di islam.

Saya       : Apakah lu juga berminat untuk mengajukan tafsir yang lain kepada teman-teman muslim yang radikal atau tetap membiarkan saja mereka dengan pilihan tafsirnya yang mungkin saja bisa mengganggu keharmonisan beragama dan bernegara?

Hans      : Gue sendiri gak melihat diri gue sebagai public intellectual atau mungkin belum. Gue dilatih sebagai akademisi dan teolog. Masing-masing punya ranah sendiri dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kalau soal minat pasti punya minat, apakah mampu? Sepertinya enggak. Untuk tafsir perlu punya metode khusus seperti penguasaan bahasa Arab yang mumpuni, tahu tradisi tafsir, dll. Beda dengan protestan yang kadang sekarep dewe dengan dalih dituntun Roh Kudus. Hehe.
Nah masalahnya dengan yang lu bilang radikal itu punya otoritas yang berbeda dengan ulama tradisional, makanya gak mau tunduk sama tafsiran NU misalnya. Jadi memang tidak mudah. Ini soal otoritas

Saya       : Haha sebenarnya kan kristen juga tafsir ga bisa seenaknya. Ada pengkajian secara gramatikal, historis, dsb.
Nah balik lagi, berarti studi lu ini nanti diarahkan hanya kepada umat kristen dan umat Islam yang sepaham?

Hans      : Ya ketika lu bilang 'seenaknya' itu kan tergantung dari tradisi mana lu berpijak. Sama ketika lu menilai mana Islam yang 'radikal' mana yang 'moderat' hehhee
Gak juga, studi gue ini akademis. Diarahkan kepada komunitas akademis.
Akademis itu ya bisa sepaham bisa juga enggak.

Saya       : Umat islam yang lulusan dari pesantren, Universitas Islam, bahkan ada juga yang profesor, saat membahas Islam yang berbeda dengan pemahaman organisasi islam seperti HTI, FPI, FUI, MUI dan sejenisnya, akan langsung dianggap ‘ngawur’. Pemahaman mereka akan islam dan alquran dianggap salah dan harus dikaji lagi. Bahkan sampai ada yang diberi label sesat, syiah dan liberal.
Nah lu sendiri bisa dibilang jauh berbeda dengan mereka. Bukan orang Islam, tidak belajar Islam di universitas Islam, bahkan tidak mengkaji tafsir juga secara mendalam. Mungkin saja tulisan lu tentang Islam, atau pendapat-pendapatlu tentang Islam tidak dianggap oleh mereka. Jika seperti itu, apakah lu merasa ilmu lu menjadi tidak terlalu berguna atau lu merasa sebaliknya? Mengingat banyaknya Islam radikal yang mulai menjamur di Indonesia.

Hans      : Enggaklah. Kalau gue merasa gak berguna ya ngapain dikerjakan capek-capek. Hehe.
Orang menjadi radikal itu ada berbagai sebab dan menurut gue tugas akademisi atau orang yang bergumul dengan pendidikan ya mengikuti panggilan hati dan dengan jujur menyatakan apa yang ia anggap benar. Dengan begitu diskursus bisa berjalan, termasuk di masyarakat.
Untuk FPI misalnya, ada buku yang berjudul 'Hitam Putih FPI' ditulis sebagai tesis oleh mahasiswa UGM. Di situ dijelaskan seluk belum FPI secara antropologis dan sosiologis. Itu contoh karya akademis. Mungkin tidak memberi jawaban yang diinginkan orang tapi bergumul dengan fenomena tertentu.
Lalu tulisan gue tentang post islamisme juga membaca fenomena yang berkembang. Apakah itu memuaskan yg radikal? Mungkin enggak, mungkin malah baca aja enggak.
Tapi ilmuwan tidak bisa bekerja sepenuhnya karena alasan pragmatis dan berharap semua orang bisa mengerti.
Beda sama pendeta atau motivator. Hehe

Saya       : Dalam surat Al Kafirun, ada tertulis “Lakum Diinukum wa Liya Diin”, Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. Apakah saat lu menulis atau membahas tentang Islam, lu ga takut dianggap mencampuri urusan agama lain?

Hans      : Menarik lu bawa ayat itu karena sebetulnya ayat itu bisa dibaca sebagai sesuatu yang negatif yakni pemisahan, seperti Yesus menyuruh murid-murid untuk mengebaskan jubah dari tempat yang gak menerima mereka. Surat itu kan bunyinya begini: Hai orang-orang kafir! Aku tidak menyembah yang kamu sembah. Dan kamu tidak menyembah yang aku sembah. Untukku agamaku dan untukmu agamamu. Menariknya di Indonesia itu malah dipakai secara positif oleh umat Muslim untuk menghargai batas-batas umat beragama di Indonesia.
Nah di situ bedanya posisi akademisi atau ilmuwan. Gue tidak berpretensi untuk mengajari Muslim atau mencampuri agama mereka. Gue gak memberi tahu penafsiran yang benar, tapi memperlihatkan ragam penafsiran dalam konteks historis yang berbeda-beda.
Dan bidang gue sebetulnya jauh dari tafsir Quran sebetulnya. Haha. Lebih ke kajian teologi dan mistisisme.
Islamic studies di lingkungan akademik Indonesia cukup bagus. Mereka terima pandangan scholar-scholar non Muslim yang bidangnya Islam seperti Robert Hefner, Martin Van Bruneissen dan banyak lainnya. Karena dianggap sebagai rekan ilmuwan.

Saya       : Wah menarik nih. Mengenai surat al kafirun tadi, apakah lu ada tulisan yang membahas hal tersebut? Jika tidak ada bagaimana tanggapan lu tentang surat yang bernada negatif tapi dipakai secara positif, bersyukurkah atau justru cemas?
Lah kok jadi nanya lagi... hahahaha, maaf hans.
Dan satu lagi, entah kenapa, ini menurut gue yah. Islam yang hanya berkutat di lingkungan akademik itu, tidak menyentuh akar rumput. Terbukti dengan banyaknya cendekiawan muslim yang membahas tentang tafsir quran tetapi ditolak mentak-mentah oleh masyarakat pengikut Islam radikal tersebut. Seakan-akan diskursus kalian selama ini tidak memberikan sumbangsih apapun terhadap pemikiran mereka. Itu menurut gue aja hans.

Hans      : Gak ada, itu berdasarkan pengamatan pribadi aja. Buat gue penafsiran itu dinamis dan teks selalu terbuka. Ada banyak hal yang ada di Islam Indonesia tapi gak ada di tempat lain. Walau selalu ada kontinuitas, tapi selalu ada transformasi.
Sebetulnya fenomena islam yang lu sebut radikal itu kan mulai menguat pasca Reformasi dan justru itu berkembang karena faktor-faktor selain agama.
Suharto yang menindas kaum Muslim dalam berbagai bentuk dan memaksakan Pancasila sebetulnya malah mencederai pluralitas.
Makanya sekarang kita berada dalam era yang tampaknya mengerikan dengan semakin               banyak penafsiran yang radikal. Tapi sering luput melihat kenapa mereka pakai penafsiran yang begitu bukan yang ramah.
Kalau soal menyentuh akar rumput atau tidak itu selalu akan ada kekurangan. Selain NU, yang moderat kan Muhammadiyah, itu gerakan yang sangat akademis. NU juga sejak beberapa puluh tahun lalu mulai akademis. Cek misalnya tulisan-tulisan Sumanto Al-Qurtuby, dia itu orang akademis tapi dengan sadar menyasar publik luas dan berhasil. Atau Mun'im Sirry.
Kalau soal ditolak atau diterima itu faktor lain. Sama kayak kenapa mahasiswa STTJ mayoritas tolak penafsiran ala Pariadji. Haha
Ada titik tolak berbeda, kepentingan yang berbeda, peer pressure, atau bisa juga secara              personal belum dapat hidayah.
Kasus Ahok misalnya, gue ada teman lulusan PhD dari US dan seorang Muslim. Dia dukung Anies Baswedan tapi secara proporsional. Pas dia bikin tulisan yang kritik umat islam yang salah paham terhadap Ahok, dia malah dibully abis-abisan.
Keliatan bagaimana kebanyakan yang posisi 'radikal' itu sebetulnya kurang belajar. Mungkin sepintas kayak yang dia lakukan sebagai PhD gak berguna buat akar rumput.
Tapi ya itulah jihad yang sebenarnya.
Berusaha...striving. Dan dari komen-komen ada juga yang merasa perspektif dia benar. Jadi di situ dia sudah memberi dampak pada akar rumput. Tapi proses diskursus sosial itu memang panjang. Di Eropa atau US aja yg katanya maju tetep kaum radikal sekular dan Kristen ada. Hehe

Saya       : Ini kalo dilanjutkan bukan jadinya wawancara tapi diskusi. Haha. Jadi gue hentikan saja sampai di sini.
Tapi sebelum itu, apakah dalam jurnal yang pernah lu tulis ada pembahasan tentang Islam radikal pasca reformasi? Jika ada boleh minta linknya?

Hans      : Kalau yang gue tulis sih gak ada, orang lain ada pastinya. Term Islam radikal itu sebetulnya gak banyak digunakan karena itu pelabelan dari Amerika ke yang mereka gak disuka. Hehe. Di tulisan gue yang post Islamisme ada soal kontroversi Ahok dan FPI tahun 2014 lalu serta perubahan retorika PKS, link di academia.edu

Saya       : Oke hans. Terimakasih banyak. Maaf telah menunda waktu tidurnya. Assalammualaikum.

Hans      : Sip. Semoga membantu. Waalaikumsalam

Pewawancara    : Nuryanto Gracia, Jakarta, 24 Oktober 2016, 08.45-10.36
Narasumber       : Hans Abdiel Harmakaputra, Boston, 24 Oktober 2016, 21.45-23.36


Kamis, 20 Oktober 2016

TIPS MENJADI ANAK KEKINIAN

TIPS MENJADI ANAK KEKINIAN

Apa saja yang diperlukan untuk menjadi idola anak kekinian?
1. Idola:
Berkata-kata kotor. Karena berkata-kata lembut dan ramah hanya untuk orang kolot, penjilat dan munafik.
Catatan:
Berarti mulai dari sekarang kita didik anak-anak kita untuk berkata kotor saja biar ga dikira kolot, penjilat dan munafik?
2. Idola:
Tampilkan kemesraan berpacaran sevulgar mungkin agar banyak remaja terinspirasi dengan kita dan pengen melakukannya juga dengan pacarnya (relationship goal). Mereka yang pacaran baik-baik aja di sosial media, hanyalah orang munafik. Padahal di kehidupan nyata mereka telah melakukan yang jauh lebih parah.
Catatan:
Kalo sampai putus dengan pacar, jangan dihapus video dan foto vulgarnya yah... Kita lihat nanti apakah pacar barumu bisa menerimamu dan memuji "Wah kamu orang yang paling jujur yang pernah kutemui, dan tidak munafik."
3. Idola:
Siapkan kalimat pemungkas apabila ada yang menghujat kelakuan kita. Berikut ini kata-kata pemungkasnya, "Ini hidup gue, bukan hidup lu." "Gue ga pake uang lu." "Gue ga mengganggu hidup siapa pun." "Kalian cuma hater yang ngiri." "Pro dan kontra itu wajar." "Urus dulu hiduplu, jangan urus hidup orang lain."
Catatan:
Yah kalo kamu melakukan semua itu dan tidak menyebarkan ke publik, itu adalah hidupmu. Tapi saat itu diunggah ke publik maka hidupmu akan mempengaruhi hidup orang lain juga. Bukan hanya mempengaruhi, bisa juga mengganggu tumbuh kembang mereka yang masih mencari jati diri.

JURUS MENOLAK KRITIK

JURUS MENOLAK KRITIK

Saat dikritik atau diberi masukan manusia masa kini punya jurus untuk menangkalnya:
- Ada yang kritik disebutnya hater. Ini kepedean tingkat tinggi. Hater itu artinya dia memperhatikan hidup kita dengan seksama lalu membenci kita.
- Ada yang kritik tinggal bilang aja bahwa dia cuma iri karena ga bisa melakukan seperti apa yang kita lakukan. Ini juga kegeeran tingkat tinggi. Orang yang mengkritik kita belum tentu mau menjadi sama seperti kita
- Ada yang kritik, tinggal bilang "ya deh kamu selalu benar, saya selalu salah." Kalimat tersebut memberikan tekanan secara psikologis agar orang yang mengkritik kita merasa bersalah, menganggap dirinya paling benar dan kita akan dianggap rendah hati.
- Ada yang kritik disanggah dengan "Sebelum mengkritik, coba lihat hidupmu dulu. Udah benar atau belum?" Wah ini susah. Sampai kapan pun, tidak akan ada yang memberi kritikan kepada kita. Kenapa? Tidak ada orang yang hidupnya 100% benar. Ada saatnya dia pun jatuh dalam dosa dan kesalahan.
- Atau biasa juga banyak yang bilamg "Saya mau jadi apa adanya. Inilah saya. Saya tidak mau menjadi orang munafik." Di satu sisi baik, memotivasi seseorang agar percaya diri. Tapi di sisi lain membuat mereka tidak melihat bahwa ada kekurangan yang perlu diperbaiki. Penjahat tetap akan menjadi penjahat. Tidak ada yang namanya perubahan. Padahal tidak ada yang tidak berubah di dunia ini.
Tidak semua kritik perlu didengar tapi tidak semua kritik juga harus ditolak.

Salam,
Nuryanto Gracia

TIDAK PERNAH MELIHAT ALLAH

TIDAK PERNAH MELIHAT ALLAH

Agama apa pun kita, saya yakin, kita pasti tidak pernah melihat Allah. Oleh karena itu, daripada saling membenci karena memperebutkan dan memonopoli kebenaran Allah, adalah lebih baik bila kita saling mengasihi agar Allah dan kasihNya tetap di dalam kita.
"Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita." (1 Yoh 4:12)

Salam,
Nuryanto Gracia

TAFSIRAN YANG RAMAH

TAFSIRAN YANG RAMAH

Tafsir adalah usaha mendekati dan mencari makna sesungguhnya dari pesan yang hendak disampaikan oleh kitab suci. Ada banyak sekali pendekatan/teknik tafsir sehingga satu teks tertentu bisa menghasilkan banyak sekali pesan yang berbeda.
Hasil tafsir saya, mungkin akan berbeda dengan hasil tafsir pendeta lain walaupun sama-sama GKI. Apalagi jika dibandingkan dengan hasil tafsir dari pendeta gereja aliran lain, misal GBI. Tidak hanya dalam kekristenan, semua agama yang memiliki kitab juga akan mengalami hal serupa.
Tidak ada yang bisa menafsirkan 100% benar. Oleh karena itu, terlalu arogan apabila kita mengklaim hanya tafsiran kita yang benar. Itu namanya memonopoli kebenaran. Namun bukan berarti juga kita tidak usah menafsir hanya karena tidak bisa menafsir 100% tepat.
Ada yang mengatakan, "Jangan menafsir-nafsir Kitab suci. Baca dan ikuti saja apa yang tertulis." Tidak mungkin kita tidak menafsir. Saat membaca dan berusaha mengerti maksud dari yang tertulis di kitab suci, sesungguhnya kita sedang menafsir. Bahkan saat kitab suci diterjemahkan dari bahasa aslinya ke bahasa Indonesia, itu juga merupakan hasil dari proses tafsir.
Ada banyak teknik dan hasil tafsir. Oleh karena itu kita harus memilih mau menggunakan teknik atau hasil tafsir yang mana. Jika saya boleh usul, gunakanlah teknik dan hasil tafsir yang ramah terhadap kemanusiaan.
Di dalam kitab suci, agama apapun, ada banyak sekali kisah-kisah dan perintah yang tampaknya kejam, sadis dan tidak berpihak kepada kemanusiaan. Hal tersebut disebabkan karena waktu penulisan/turunnya kitab suci yang berbeda dengan waktu kita, ratusan hingga ribuan tahun yang lalu. Keadaan yang jelas jauh berbeda dengan keadaan kita sekarang. Oleh karena itu, kita jangan sampai salah pilih teknik atau hasil tafsir. Para cendekiawan di masing-masing agama, sedang berusaha menghidupkan tafsir yang ramah terhadap kemanusiaan.
Apapun teknik atau hasil tafsirmu, selama ramah terhadap kemanusiaan, maka lakukanlah. Selama tafsirmu ramah terhadap kemanusiaan, selama itu jugalah agamamu akan membawa kedamaian bagi dunia.

Nuryanto Gracia

KEBURUKAN ORANG LAIN

KEBURUKAN ORANG LAIN

Ada yang bilang, kalo mau lihat karakter seseorang lihatlah barang yang ada di ruang tamu dan di kamar pribadinya. Misal, ada 2 kipas dengan 2 merk berbeda dengan kualitas yang berbeda jauh, satu di ruang tamu dan satu di kamar pribadi.
Jika orang tersebut menaruh kipas dengan kualitas kurang bagus di kamar pribadi dan kualitas yang sangat bagus ditaruh di ruang tamu, maka artinya orang tersebut orang yang suka pencitraan. Begitulah katanya.
Tapi kalo dipikir kembali, maknanya bisa berbeda. Orang yang melakukan hal tersebut bisa berarti orang yang lebih mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingannya sendiri.
Dari satu keadaan, kita bisa mendapatkan cara untuk menilai orang lain. Bisa negatif dan bisa positif. Biasanya, kita lebih suka dengan penilaian yang negatif. Mengapa? Karena hal itu bisa membuat kita merasa diri lebih baik. Memikirkan keburukan orang lain, menjadi hal menyenangkan karena dengan itu kita seperti bisa merasakan bahwa kita selangkah lebih baik dari mereka.
Aneh memang. Untuk merasa lebih baik, bukannya terus menerus berbuat baik tapi malah terus-menerus memikirkan dan membicarakan keburukan orang lain. Keburukan orang lain kita jadikan tangga untuk mengkonfirmasi bahwa diri kita baik.

Nuryanto Gracia
Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar