Pages

Senin, 06 Maret 2017

MENONTON FILM DANGAL DAN MEMBACA KITAB SUCI

MENONTON FILM DANGAL DAN MEMBACA KITAB SUCI

Di film Dangal, 2 anak perempuannya merasa bahwa ayahnya terlalu memaksakan anak-anaknya untuk mewujudkan ambisi ayahnya. Namun, seorang teman mereka mengatakan bahwa justru itu hal yang baik. Di saat orangtua yang lain hanya menyiapkan anak perempuan mereka untuk menikah dan punya anak, justru orangtua mereka memikirkan masa depan yang lain untuk mereka.

Terkadang paksaan bisa menjadi sebuah bukti bahwa kita masih dipikirkan dan dikasihi. Wah pesan ini bisa kita jadikan senjata untuk mendoktrinasi anak kita bahwa jika dipaksa orangtua itu harusnya bersyukur. Itu artinya mereka disayang orangtua.

Tapi sayangnya, tidak semua konteks bisa diambil kesimpulan yang sama. Ada saatnya paksaan orangtua membatasi kreativitas anak. Namun di negeri seperti India di mana perempuan dianggap lemah, tak punya hak untuk memikirkan masa depan, dilahirkan hanya untuk menikah dan mengasuh anak, maka paksaan ayah dalam film Dangal menjadi sebuah nilai positif.

Kita yang tinggal di Indonesia khususnya di daerah metropolitan pasti tidak merasa bahwa pesan film ini penting untuk kita. Perempuan di masyarakat perkotaan sudah tidak lagi atau jarang merasakan seperti apa yang dirasakan perempuan dalam masyarakat Hindi. Itulah kenapa film Dangal tak semeledak film PK di Indonesia. Padahal di India, film ini penontonnya melebihi penonton film PK.

Saat menonton film, kita tidak hanya harus mencari apa pesan dari film tersebut tapi apa konteks yang sedang terjadi saat film itu dibuat.  Begitu juga saat kita membaca kitab suci. Kita seharusnya tidak hanya mencari apa makna dari ayat yang kita baca tapi kita juga harus mencari apa konteks yang membuat ayat ini lahir. Dengan mengetahui konteks penulisan kitab suci, kita terhindar dari cocoklogi dan kita memaknai ayat tersebut jauh lebih dalam.

Salam,
Nuryanto Gracia

TUHAN YANG DI ATAS

TUHAN YANG DI ATAS

Tuhan yang di atas
Apakah Engkau terbatas?

Tuhan yang di atas
Apakah Engkau gemulai atau cantas?

Tuhan yang di atas
Apakah Engkau memiliki tubuh yang adipositas?

Tuhan yang di atas
Apakah Engkau termasuk sosok yang bonadifitas?

Tuhan yang di atas
Aku tahu sesungguhnya aku tak pantas
Bertanya pertanyaan seperti di atas

Tapi aku rindu mengenal-Mu, tidak hanya baiknya saja tapi juga mungkin buruknya.

Bukankah saat kita mengasihi seseorang, kita tidak hanya harus melihat kebaikannya tapi kita juga harus siap menerima keburukannya?

Salam,
Nuryanto Gracia

Jumat, 03 Maret 2017

BUKAN KARENA KAU PEMILIK SURGA

BUKAN KARENA KAU PEMILIK SURGA

"Seandainya Tuhanmu, tak mampu memasukkanmu ke surga, apakah kamu akan tetap menyembahnya?"

"Jika ternyata agamamu tidak mampu membawamu ke surga, apakah kamu tidak mau berganti agama?"

Bagaimana jika kita diperhadapkan dengan dua pertanyaan di atas? Bukankah dua pertanyaan tersebut yang sering dipakai oleh para pengabar agama untuk membuat orang-orang dari agama lain untuk masuk ke agamanya? Para pengabar itu dengan yakin ingin menyampaikan bahwa agama dan Tuhannya mampu memasukkan kita ke surga sedangkan agama dan Tuhan kita tidak mampu.

Saya secara pribadi jika diperhadapkan dengan pertanyaan tersebut, maka saya akan menjawab sama seperti jawaban Sadrakh, Mesakh dan Abednego, "Jika Allah kami yang kami puja mampu menyelamatkan kami, maka Ia akan menyelamatkan kami, tetapi seandainya tidak, hendaklah kalian ketahui bahwa kami tidak akan menyembah Tuhan dari agama kalian." Daniel 3:17-18 (dengan sedikit kontekstualisasi bahasa).

Saya menyembah Tuhan karena Dia adalah Tuhan, bukan karena Dia pemilik surga. Sama seperti saat saya ingin bersahabat dengan Nico. Saya mau bersahabat dengan Nico karena dia adalah Nico bukan karena dia adalah pemilik perusahaan besar. Saat saya bersahabat dengan Nico karena dia memiliki perusahaan besar, maka persahabatan itu tidaklah tulus. Bisa jadi suatu saat perusahaannya bangkrut dan saya tidak mau lagi bersahabat dengannya.

Begitu juga saat saya menyembah dan mengasihi Tuhan. Saya menyembah dan mengasihi-Nya karena Dia yang terlebih dahulu mengasihi saya. Jadi apakah ada alasan untuk saya tidak mengasihi-Nya secara tulus?

Saya yakin bahwa Dia mampu memasukkan saya ke surga, seandainya pun tidak, saya tetap akan menyembah dan mengasihi-Nya.

Salam,

Nuryanto Gracia

Kamis, 02 Maret 2017

FANA TIDAKLAH HINA

FANA TIDAKLAH HINA

Kefanaan seringkali dipertentangkan dengan keabadian. Hal-hal yang fana selalu dikaitkan dengan hal-hal yang buruk dan tak berharga. Kefanaan dianggap bukanlah sesuatu yang patut disyukuri.

Kita diajak untuk tidak memikirkan hal-hal yang fana. Oleh para pemuka agama, kita seringkali diajak untuk fokus mempersiapkan hal-hal yang kekal, bukan hal-hal yang fana. Bahkan menikmati sesuatu yang fana pun dianggap hal yang buruk. Jika mau menikmati sesuatu, maka nikmatilah sesuatu yang kekal, begitulah kira-kira himbauan yang sering kita dengar. Padahal, kefanaan adalah anugerah.

Kefanaan bukanlah kutuk apalagi dosa. Kefanaan adalah bagian dari hidup manusia yang terbatas. Kefanaan berkaitan erat dengan keterbatasan. Segala sesuatu menjadi fana karena ada batasnya.
Keterbatasan yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah anugerah. Tubuh yang fana ini, ada saatnya akan mati. Tapi kematian itu sendiri bukanlah kutuk melainkan anugerah. Wahyu 14:13 menuliskan bahwa kematian orang-orang yang hidup di dalam Tuhan adalah sebuah kebahagiaan karena kematian adalah waktu untuk kita beristirahat.

Batas hidup yang Tuhan beri membuat kita menyadari betapa pentingnya hidup. Bayangkan jika kita tidak akan pernah mati, lalu apa pentingnya hidup? Tahu kenapa emas dan berlian itu berharga? Karena dia terbatas.

Manusia yang fana ini pun bisa sakit, karena itulah kesehatan menjadi berharga. Harta yang fana itu pun bisa hilang kapan pun juga, itulah kenapa harta menjadi berharga. Orang yang kita kasihi bisa dipanggil Tuhan kapan pun juga, itulah kenapa mereka berharga. Semua benda yang ada di dunia ini fana, kapan pun bisa hilang dan lenyap, atau berganti dengan sesuatu yang baru, itulah kenapa mereka berharga.

Sesuatu yang tidak terbatas, menghilang, sakit, mati, biarlah itu hanya ada pada Tuhan saja. Karena jika semua manusia seperti itu, Tuhan justru menjadi tidak berharga.

Dalam kekristenan, ada aliran yang sangat menekankan bahwa tubuh ini fana dan tidak berharga. Tubuh ini hanya memenjara roh yang kekal dan abadi. Aliran kekristenan itu kita kenal dengan nama Gnostik. Itulah kenapa dalam injil-injil gnostik, Yudas dianggap sebagai pahlawan karena berhasil membebaskan roh Yesus dari penjara tubuhnya. Tapi apakah kita mau juga berpikiran seperti itu? Saya rasa tidak.

Hal-hal yang fana itu tidaklah hina. Hal-hal yang fana seharusnya justru dipikirkan dengan matang, bukannya malah diabaikan. Kita harus memikirkan bagaimana menjaga tubuh ini tetap sehat. Kita harus memikirkan, sebelum mati apa yang bisa kita lakukan dengan tubuh yang fana ini. Kita harus memikirkan bagaimana mencukupkan anak dan pasangan hidup kita dengan materi karena manusia tidak hidup hanya dari mimpi tentang surga saja tapi juga dari materi yang Tuhan ijinkan ada di bumi.

Kita fana, "oleh karena itu perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat (Ef 5:15-16)."
Salam,
Nuryanto Gracia



Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar