Pages

Sabtu, 24 Juni 2017

ANAK TERANG DAN DOMBA TERSESAT

ANAK TERANG DAN DOMBA TERSESAT

“Domba tersesat”, frasa tersebut sesungguhnya tidak eksplisit tertulis di dalam Alkitab, yang ada hanyalah kisah tentang domba yang tersesat (Matius 18:12-14 dan Lukas 15:3-7). LAI sepakat memberikan judul yang sama untuk dua perikop tersebut yaitu, “Perumpamaan tentang domba yang hilang.”

Apa sebenarnya makna kisah domba yang hilang atau tersesat itu? Apakah kisah itu memang menunjukkan tentang orang-orang dari agama lain yang bertobat dan menjadi Kristen seperti pandangan beberapa aliran kristen selama ini?

Mari kita perhatikan konteks kisah itu satu persatu. Kita mulai dari Matius 18:12-14. Kisah tentang domba yang hilang dalam perikop tersebut ditutup dengan kalimat, “Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang.” Perhatikan sekali lagi, “anak-anak ini hilang.” Jadi secara eksplisit, tanpa harus menafsir terlalu jauh, tinggal membaca saja teksnya maka kita akan menemukan bahwa konteks cerita tersebut bukan untuk agama lain tetapi untuk anak-anak. Jadi yang dimaksud dengan domba tersesat atau terhilang itu adalah anak-anak. Jika membaca dari Matius 18:1-14 kita akan menemukan bahwa kisah domba tersesat hubungannya dengan pesan agar jangan sampai ada anak-anak yang terhilang, atau menyesatkan mereka. Matius 5:6 menekankan. "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.”

Lalu siapakah anak-anak yang dimaksud? Apakah bocah-bocah dalam artian sesungguhnya atau anak-anak kecil dalam artian metafor? Ada yang mengatakan itu adalah anak-anak dalam artian sebenarnya, sehingga guru sekolah minggu selalu ditekankan agar jangan sampai membuat anak-anak tersesat. Tapi ada juga yang mengatakan itu adalah metafor untuk orang-orang lemah, sederhana, dan gampang terlukai yang ada di dalam komunitas Matius (bandingkan juga dengan kisah dalam Matius 25). Komunitas Matius diajak untuk merangkul ‘anak-anak kecil’ ini. Jangan sampai seorang pun dari mereka terhilang.

Tapi, walaupun berbeda tentang makna kata “anak-anak kecil” dalam kisah tersebut, pada intinya cerita tersebut tidak bercerita tentang agama lain. Jadi domba tersesat yang dimaksud bukan tentang agama lain. Lalu bagaimana dengan Lukas 15:3-7?

Berbeda dengan kisah dalam Matius di atas, Lukas mengakhiri kisah ini dengan kalimat, “Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan."

Nah, kalimat tersebut seringkali membuat pembaca menghubungkan kisah domba yang hilang dengan umat agama lain yang bertobat. Secara eksplisit kita memang menemukan teks tentang “orang berdosa yang bertobat.” Ini masalahnya jika hanya mengutip satu ayat lepas dari konteksnya. Sebelum melihat konteks penulisan, coba kita lihat kisahnya terlebih dahulu secara keseluruhan, Lukas 15:1-32. Ada 3 kisah kehilangan dalam pasal 15 tersebut, yaitu domba yang hilang, dirham yang hilang dan anak yang hilang. Kisah-kisah itu ditujukan kepada orang-orang farisi dan ahli taurat yang mengkritik Yesus mengenai sikap-Nya menerima orang-orang yang terkucil secara religius dan sosial itu (baca Lukas 15:1 dan 2). Kisah dalam pasal 15 ini ditutup dengan perumpamaan anak yang hilang. Lukas ingin menunjukkan bahwa masalah terbesar sesungguhnya bukanlah domba yang hilang, atau anak-anak yang hilang tetapi anak-anak yang lebih tua (mereka yang merasa lebih suci, religius dan berkuasa), yang menolak turut serta dalam perayaan di mana-mana orang-orang yang terkucil itu justru dianggap sebagai tamu terhormat oleh Yesus. Jadi domba tersesat dalam perikop ini bukanlah tentang agama lain tapi tentang orang-orang berdosa yang mau bertobat.

Dosa yang dimaksud itu apa? Apakah tentang mereka yang beragama lain? Seringkali kata dosa disambungkan dengan mereka yang beragama lain lalu bertobat masuk agama kita. Seakan-akan memeluk agama lain adalah sebuah dosa.

Sekali lagi mari kita baca Lukas 15:1. Di sana sudah diberikan contoh siapa itu orang berdosa yang dimaksud Lukas. Siapa? Pemungut cukai. Jadi orang berdosa yang dimaksud adalah orang-orang yang melakukan tindakan kejahatan secara sosial dan moral. Bukan soal beda agama.

Jadi, baik Matius dan Lukas, tidak pernah mengaitkan domba yang tersesat atau terhilang dengan umat agama lain.

Sekarang mari kita berangkat kepada istilah selanjutnya, yaitu “anak terang.”
Setidaknya istilah anak terang secara eksplisit bisa kita temui dalam Lukas 16:8, Yohanes 12:36; 2 Korintus 6:14; Efesus 5:8, dan 1 Tesalonika 5:5. Wah banyak juga yah, jika dibahas satu-satu bisa sangat panjang. Mari kita lihat garis besarnya saja.

Lukas 16:8 membandingkan anak-anak dunia dengan anak-anak terang. Anak-anak dunia yang dimaksud jelas bukanlah mereka yang beragama lain, melainkan mereka yang melakukan kejahatan atau dosa. Ingat Lukas 16 adalah kelanjutan dari Lukas 15. Pembahasan Lukas 15 tentang dosa silakan baca lagi di atas.

Yohanes 12:36 membandingkan anak-anak terang dengan kegelapan. Kegelapan yang dimaksud adalah dosa, kejahatan dan penindasan dari kelompok Yahudi yang menekan dan menganiaya komunitas kristen yang baru terbentuk. Jadi ini bukan soal agama lain tetapi soal umat Yahudi yang menindas umat Kristen.

2 Korintus 6:14 membandingkan terang dengan gelap, orang percaya dengan orang yang tak percaya. Ayat ini tampaknya pas sekali untuk mengaitkan antara Kristen dengan umat agama lain. Ayat ini juga sering dipakai untuk melarang umat Kristen pacaran dengan agama lain. Secara implisit seakan ingin mengatakan bahwa umat agama lain itu gelap, dan kristen terang. Bahkan LAI memberikan judul secara jelas di dalam 2 Korintus 6:11-18 yaitu, “Jangan ada lagi noda kekafiran.” Wah lengkap sudah, ayat ini memang berbicara tentang agama lain. Susah sekali sepertinya untuk mengelak. Apakah kita terima saja bahwa ayat ini berbicara tentang agama lain?

Sebelum ke sana, mari kita lihat dulu ketidakkonsistenan kita dalam menjalankan perintah Tuhan. Kita menggunakan 2 Korintus 6:14 untuk melarang orang lain tidak pacaran atau menikah dengan agama lain. Tapi mengapa kita tidak ikuti juga perintah ayat 17, yang bunyinya:

Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu.

Ayat ini mengutip dari Yesaya 52:11, yang bunyinya:

Menjauhlah, menjauhlah! Keluarlah dari sana! Janganlah engkau kena kepada yang najis! Keluarlah dari tengah-tengahnya, sucikanlah dirimu, hai orang-orang yang mengangkat perkakas rumah TUHAN!

Jika mengikuti perintah itu maka seharusnya kita keluar dari tempat di mana ada mereka yang beragama lain. Di Indonesia ini, jelas umat Kristen di kelilingi dan hidup berdampingan dengan umat agama lain. Jika memang mau konsisten bahwa yang dimaksud dalam 2 Korintus itu adalah agama lain, maka seharusnya kita harus keluar dari Indonesia dan carilah negara atau tempat yang tidak ada agama lainnya.

Tapi apakah emang itu maksudnya? Nah mari kita lihat lebih dalam.
Jemaat Korintus berada dalam satu konteks di mana orang Korintus suka sekali melakukan tindakan yang jahat seperti percabulan. Bahkan percabulan itu juga dilakukan di dalam kuil-kuil ibadah mereka, itulah kenapa ada istilah sundal bakti.

Jadi yang dimaksud dengan orang tak percaya dan gelap dalam ayat ini adalah orang-orang Korintus yang melakukan tindakan jahat tersebut. Perhatikan ayat 14 di sana dibandingkan antara Kristus dan Belial. Belial artinya jahat atau tidak berguna, orang Yahudi sering mengaitkannya dengan Iblis. Jadi pilihannya bukanlah Kristus atau agama lain, tapi Kristus dan orang-orang jahat. Janganlah menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan mereka-mereka yang melakukan perbuatan jahat itu. Bahkan sebisa mungkin keluarlah dari pergaulan buruk mereka, yang akan membawa kita juga kepada pergaulun buruk seperti percabulan yang mereka lakukan. Begitulah maksud dari 2 Korintus tersebut.
Efesus 5:8 membandingkan antara kegelapan dan anak-anak terang. Kegelapan yang dimaksud adalah percabulan, kecemaran, keserakahan, dan perkataan kotor. Sebab terang hanya berbuahkan kebaikan, keadilan dan kebenaran. (Silakan baca dari Efesus 5:1). Tapi di sana ada tertulis kalimat penyembah berhala, bukankah itu artinya menyinggung agama lain? Coba perhatikan kalimat utuhnya dalam Efesus 5:5, “Karena ingatlah ini baik-baik: tidak ada orang sundal, orang cemar atau orang serakah, artinya penyembah berhala, yang mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah.”

Siapa penyembah berhala yang dimaksud? Orang sundal, orang cemar dan orang serakah. Jadi bukan soal agama lain.

1 Tesalonika 5:5 juga membandingkan anak-anak terang dengan orang-orang malam atau orang-orang kegelapan. Definisi kegelapan yang dimaksud juga tidak jauh berbeda dengan penjelasan pada 2 Korintus dan Efesus. Tidak ada kaitannya dengan agama lain.


Lalu pertanyaannya, bolehkah umat Kristen menggunakan frasa “Anak-anak terang”? Oh boleh sekali. Frasa itu sebagai sebuah refleksi iman bahwa kita harusnya hidup dalam terang dan kebaikan Tuhan. Kita adalah anak-anak terang karena itu hiduplah dalam kebenaran. Tapi jangan hubungkan anak-anak gelap dengan umat agama lain tapi hubungkan dengan mereka pembuat kejahatan yang memupuk hidupnya dengan kejahatan. 

0 komentar:

Posting Komentar

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar