Pages

Rabu, 03 Februari 2016

LELAH YANG TANPA TUJUAN

LELAH YANG TANPA TUJUAN

Rangga: Aku lelah sekali
Sophie: Kenapa?
Rangga: Bekerja setengah mati untuk membantu kedua orangtuaku
Sophie: Berarti kamu tahu lelahmu untuk apa?
Rangga: Iya, karena itu walau lelah aku tetap bahagia karena lelahku adalah lelah yang berguna.
Sophie: Syukurlah. Karena lelah yang tanpa tujuan, adalah sebuah kebodohan.
-Sophie-


KAPITALIS RELIJIUS

KAPITALIS RELIJIUS

Belum lama ini kita membaca hiruk pikuk Zoya, MUI dan Sertifikasi halal. Oke saya tidak akan terlalu menyinggung hal tersebut, karena takut ada yang tersinggung.
Saya ajak kita melihat dari kacamata yang lebih luas, yaitu kapitalis relijius.

Agama adalah ladang yang sangat 'basah' untuk dijadikan tempat meraup keuntungan. Comot ayat sedikit, banyak yang percaya dan mengatakan "amin." Kutip pendapat agamawan sedikit, semakin banyak yang percaya dan katakan amin.

Pada Zaman Yesus hidup, sistem keagamaannya pun dikuasai oleh kapitalis relijius yang berusaha meraup keuntungan atas nama agama. Jika mau merayakan hari raya keagamaan Yahudi, maka semua perlengkapan persembahannya harus dibeli di pasar yang ada di halaman bait Allah. Mengapa? Karena semua yang ada di sana sudah disertifikasi halal, mulai uang yang dipakai sampai binatang yang akan dijadikan persembahan. Tidak boleh membawa binatang dari tempat lain karena belum tentu halal. Harga semua yang dijual di pasar bait Allah itu jelas jauh lebih mahal daripada di tempat lain. Oleh karena itu, Yesus yang baru datang dari desa kecil, tanpa gentar mengobrak-ngabrik pasar halal itu. Bagi Yesus, mereka tidak jauh beda seperti penyamun (perampok) (Matius 12:13).

Pada tahun 1500an, kekristenan yang sangat kuat dan tidak tergoyahkan waktu itu, melancarkan bisnis "Surat Penghapusan Siksa/Dosa" dekat Witternberg. Siapa pun yang membeli surat tersebut maka akan selamat dari api penyucian. Rakyat akhirnya percaya bahwa dosanya bisa diampuni hanya dengan membeli surat tersebut. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak punya uang? Marthin Luther, yang dikenal sebagai tokoh reformator, mengobrak-ngabrik praktek tersebut dengan menulis 95 dalil.

Ternyata bisnis agama tersebut tidak juga mati, sampai saat ini bisnis agama marak di mana-mana. Asal ada uang, maka kita bisa membuat bisnis baru atas nama agama (kapitalis relijius). Di kekristenan saat ini, orang hanya dengan menyebut "kegiatan ini buat misi," maka setumpuk uang akan mengalir dengan mudahnya. Entah misi apa yang dimaksud, mungkin misi membuncitkan perut? Haha. Belum lagi ada juga membisniskan minyak, KKR, gereja mall, kesembuhan ilahi, politik dan masih banyak lagi yang lainnya.

Para Kapitalis relijius ini punya senjata yang ampuh agar kekuatan mereka langgeng. Apa itu? Saat ada yang mengkritik mereka, maka mereka akan berteriak dengan lantang, "agama kita dihina dan dilecehkan." Padahal yang sedang menghina dan melecehkan agama adalah mereka.
Jika ingin membela agama, maka yang harusnya dilawan adalah para kapitalis relijius itu. Tapi sayangnya, kebanyakan dari kita justru termakan comotan ayat dan petuah para agamawan yang di-stir oleh kapitalis relijius tersebut.

Desiderius Erasmus, menyerukan mari lawan "Kebodohan Lama" dengan "Ilmu Baru." Teruslah belajar dan pintar, sehingga agama kita menjadi agama yang penuh rakhmat bagi semesta.

Nuryanto Gracia, S.Si (teol)
Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar