Pages

Jumat, 17 Februari 2017

HACKSAW RIDGE DAN IMAN FUNDAMENTALIS FANATIK

HACKSAW RIDGE DAN IMAN FUNDAMENTALIS FANATIK

"Tidak mau mengangkat senjata waktu berperang, tidak membalas waktu dipukul, dan tidak mau melakukan apapun saat hari sabtu karena hari sabat."

Saat mendengar ada orang Kristen yang mengatakan tersebut, bagaimana pendapat kita? Mungkin saja ada di antara kita, khususnya protestan, akan ada yang menganggap bahwa mereka terlalu harafiah/tekstual dalam menafsirkan Alkitab. Bagi kita mereka termasuk orang-orang fundamentalis yang fanatik. Kita akan berusaha sebisa mungkin memberikan tafsir dengan pendekatan historis kritis dan kontekstual.

Tapi anehnya, justru banyak umat Kristen dari aliran lain (di luar aliran kristen advent) justru kagum dan memuji iman Desmond Doss? Apakah karena iman itu disampaikan dalam cerita yang historik? Atau karena iman tersebut disampaikan dalam sebuah kesaksian yang spektakuler, menyelamatkan 75 tentara? Biasanya kita sangat suka dengan cerita-cerita iman yang spektakuler. Tapi apakah memang seperti itu?

Kalo mau jujur, di dalam film tersebut, saya lebih mirip seperti para atasan Doss, yang berusaha meyakinkan bahwa tidak apa-apa mengangkat senjata. Tentara mengangkat senjata adalah hal wajar di dalam medan peperangan karena konteksnya untuk membela negara. Salahkah pemahaman para atasan Doss? Tidak menurut saya.

Film Doss tidak sedang ingin menyalahkan para atasan Doss atau ingin menyerukan kepada tentara untuk tidak lagi mengangkat senjata. Di dalam kisah Doss, kita melihat teman-teman Doss tetap mengangkat senjata. Seandainya teman-teman Doss tidak mengangkat senjata dan semuanya menjadi seperti Doss, maka tidak akan ada kisah Desmond Doss yang heroik karena semua tentara akan dibantai.

Hal menarik dari iman Doss adalah, dia tidak sedang secara agresif menawarkan imannya agar yang lain mengikuti apa yang dia percayai. Yang dilakukan Doss adalah menyampaikan apa yang menjadi identitas imannya dan memohon untuk diberikan tempat untuk menjalani tugas sesuai imannya tersebut. Iman yang dimiliki Doss bukanlah iman yang berusaha mengubah sistem negara atau sistem kemiliteran. Imannya hanya untuk konsumsi pribadinya. Iman yang dikonsumsi pribadi tetapi untuk kebaikan banyak orang.

Iman yang tidak hanya dibentuk oleh pembacaan kitab suci tetapi juga pengalaman trauma masa lalu. Tidak dapat kita pungkiri, iman yang kita miliki sekarang tidak selalu murni karena pembacaan kitab suci, pengalaman masa lalu ikut menorehkan nilai dalam pembentukan iman kita. Dalam kisah Doss kita melihat Doss tidak mau mengangkat senjata karena pengalamannya hampir menembak ayahnya.

Dari film Doss ini saya belajar, bukan tentang tidak boleh membela diri atau mengangkat senjata saat perang, tetapi soal menghargai kehadiran iman yang lain. Iman yang dimiliki seseorang adalah identitas mereka, yang dibentuk selama mereka hidup. Di saat kita menolak iman mereka, sesungguhnya kita sedang menolak keberadaan mereka. Namun itu bukan berarti bahwa iman dalam kehidupan bernegara bisa tanpa batas termasuk mengusik sistem kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan. Iman tetaplah konsumsi pribadi untuk kepentingan pribadi dan banyak orang, bukan memaksakan iman pribadi untuk menjadi konsumsi banyak orang yang akhirnya bukan menjadi kebaikan malah keburukan bagi kehidupan bersama.

Review Journey to the west 2.

Review Journey to the west 2.

Perhatian:
1. Bahasan dalam tulisan ini sangat subyektif. Tergantung ekspektasi pertama kali saat ingin menonton film ini. Awalnya saya mengira film ini akan penuh dengan adegan aksi yang gokil, tapi ternyata adegan aksi hanya sekitar 10-20%, itu pun di akhir film. Saya akan jelaskan lebih lanjut nanti.
2. Tulisan ini mengandung sedikit sop iler. Bagi yang anti sop iler, silakan menjauh.

Oke mari kita mulai pembahasan film ini.

Film ini menawarkan banyak hal yang berbeda dari kisah wukong/go kong yang pernah ada. Biasanya, film sun go kong selalu memiliki template, Gurunya bijak dan elegan sedangkan murid-muridnya bandel dan tidak bisa diatur. Nah kali ini, ada banyak hal berbeda yang ditawarkan. Apa saja yang berbeda?
1. Go kong tampil dengan wujud manusia yang urakan, patkai tampil dengan wujud manusia berbedak putih di wajah tanpa perut buncit sedangkan wucing/sandy, entah kenapa saya melihat dia mirip dengan pikolo. Jadi secara penampilan, sudah berbeda dengan kisah yang biasanya.
2. Guru yang tidak bijak dan sangat manusiawi. Biasanya guru go kong selalu tampak bijak dan elegan/kharismatik tapi kali ini, guru itu tampil dengan gayanya yang tak bijak bahkan murid-murid menyebutnya bodoh, dan tidak ada lagi kesan elegan dalam dirinya. Biasanya sang guru mengesampingkan hal-hal duniawi tetapi dalam film ini justru dia sangat manusiawi dan duniawi. Dia memaksa murid-muridnya untuk beratraksi demi bisa mendapatkan makanan. Dia juga memendam rasa cinta dan kangen dengan seorang perempuan. Go kong sampai harus mempermalukan dia di depan raja untuk menyadarkannya bahwa selama ini dia juga sudah mempermalukan go kong di depan banyak orang. Go kong sampai mengutip kata-kata Buddha "Lakukanlah kepada orang lain apa yang ingin mereka lakukan kepadamu." Di sini, yang tampak bijak justru go kong dan bukan gurunya. Sang guru disadarkan akan kesalahannya justru oleh go kong.
3. Murid-murid biasanya bandel karena tidak mau mengikuti perintah guru yang bijaksana tapi di film ini, murid-murid disebut bandel karena tidak mau mengikuti arahan guru untuk beratraksi demi mendapatkan uang. Biasanya saat go kong tidak mau mengikuti perintah, maka guru akan membacakan mantra yang membuat kepalanya sakit tapi di film ini saat mantra dibacakan, kepala go kong tidak sakit, go kong justru menari-nari dengan lucunya. Tapi tahukah kalian bahwa ternyata bagi go kong itu jauh lebih menyakitkan daripada sakit kepala. Tampaknya sang pembuat cerita ingin menunjukkan bahwa rasa sakit tidak hanya karena kekerasan fisik tetapi juga penghinaan terhadap eksistensi diri.
4. Go kong bisa berubah dengan banyak bentuk yang keren-keren.

Nah setidaknya saya menemukan 4 hal baru yang ada di film ini. Hal-hal baru tersebut menjadi daya tarik sendiri. Penonton berduyun-duyung datang ke bioskop berharap ceritanya pasti akan keren. Tapi ternyata....

Sebentar istirahat jari dulu, saya ngetik di hp soalnya, pegel.
.
.
.
.

Ok lanjut.

Tapi sayangnya, film yang saya harapkan penuh adegan aksi ini malah dipenuhi oleh lelucon-lelucon yang memang lucu. Tapi sayangnya humornya terlalu banyak. Mungkin sekitar 80% isinya humor. Adegan aksi yang sungguh-sungguh hanya ada di akhir itu pun dengan grafik dan adegan aksi yang menurut saya masih ga jauh beda dengan film sebelumnya. Hanya beda di go kong yang tampil dengan bentuk berbeda. Rasa drama yang sendu pun hampir tidak terasa. Jadi benar-benar film ini didominasi oleh humor.

Menurut saya film ini ingin menawarkan kisah yang berbeda tapi sayang berakhir dengan cerita yang sama anehnya dengan kisah sebelumnya. Dari segi pesan, film ini seakan ingin menyampaikan:
1. Rohaniawan tidak melulu harus tampil laksana malaikat yang elegan, mereka juga punya sisi kemanusiaan dan bisa melakukan kesalahan. Rohaniawan yang asik itu adalah rohaniawan yang gokil. Di dalam film ini si guru bilang jangan panggil saya guru, panggil saja tetua.
2. Rasa sakit bisa timbul bukan karena cidera fisik tapi bisa karena keberadaan diri diciderai.

Nah setidaknya itu 2 hal yang saya dapat pelajari dari film ini. Mungkin saja kamu bisa mendapatkan pesan yang berbeda.

Kalo ga dapat pesan, yah chat duluan dong, jangan sok jual mahal. #lohhhh 😄😄😄

Nilai dari 1-10, saya kasih 7

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar