Pages

Tampilkan postingan dengan label Natal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Natal. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Desember 2014

SELAMAT NATAL JANGAN MERUSAK KASIH SAYANG

SELAMAT NATAL JANGAN MERUSAK KASIH SAYANG

Sebelum membaca lebih lanjut, perhatikan terlebih dahulu mengapa tulisan ini saya buat. Tulisan ini saya buat bukan untuk memaksa umat muslim agar memberikan selamat natal kepada umat kristen. Bagi yang ingin mengucapkan silakan, dan yang tidak ingin juga silakan. Sesungguhnya ucapan selamat natal bukanlah bagian terpenting dari natal itu sendiri. Yang terpenting dari natal adalah lahirnya kasih di dunia. Jangan sampai gara-gara sekadar ucapan, kasih yang seharusnya lahir justru tergerus keegoisan masing-masing.

Tulisan ini dibuat dengan beberapa tujuan:
1. Umat Muslim tidak saling menghujat atau memurtadkan saudaranya karena ucapan selamat natal. Pengharaman ucapan selamat natal bukanlah satu suara di agama islam sendiri. Para ulama pun terbagi menjadi dua mengenai hal ini. Bacaan lebih lanjut silakan baca di sini Ulama Tentang Ucapan Selamat Natal.

2. Umat Kristen tidak menganggap bahwa seluruh umat Muslim mengharamkan mengucapkan natal, karena seperti yang telah dituliskan di poin nomor 1, ulama Islam pun tidak satu suara.
3. Umat Islam tidak menganggap apa yang diajarkan oleh ulama Islam (yang mengharamkan ucapan natal) tentang kekristenan sebagai satu-satunya pandangan tentang kekristenan, karena kristen pun tidak satu suara. Kristen terdiri dari banyak aliran.
4. Umat Islam tidak salah tangkap tentang simbol-simbol kekristenan. Tidak tertukar antara pernak-pernik pesta dengan simbol kekristenan.
5. Menyuguhkan pandangan tentang natal berdasarkan segi bahasanya sendiri, dan menunjukkan bahwa mengucapkan selamat natal tidak sama dengan mengucapkan kalimat syahadat atau menerima Yesus sebagai juruselamat. Karena untuk menerima keselamatan Kristus tidak sesederhana mengucapkan selamat natal.

Mari kita mulai pembahasannya. Ucapan selamat natal tidak ada hubungannya dengan keimanan atau pengakuan bahwa Yesus Kristus Tuhan, apalagi sampai menjadi bukti bahwa seseorang tersebut telah masuk dalam agama kristen. Berikut ini penjelasannya:
1. Proses inisiasi dalam kekristenan tidak dilakukan melalui satu atau dua kalimat melainkan melalui penyerahan diri secara utuh dimulai dengan proses baptisan dan dilanjutkan dengan mengabdikan diri secara penuh untuk mengikuti Kristus di seluruh waktu dan aspek kehidupan.
2. Natal berasal dari bahasa latin yang artinya lahir. Bukankah kita sering mendengar frasa "Dies Natalis"? Frasa itu artinya sama seperti Selamat Natal atau Selamat Ulang Tahun, yang biasa dipakai untuk memperingati hari ulang tahun suatu universitas. Apakah mengucapkan Dies Natalis juga diharamkan?
3. Kata Natal dalam KBBI memiliki arti: 1 kelahiran seseorang; 2 kelahiran Isa Almasih (Yesus Kristus). Apakah ada di sana arti yang menunjukkan natal sebagai pengakuan iman bahwa Yesus adalah Tuhan? KBBI memberikan dua arti pada poin kedua, yaitu Isa Almasih dan Yesus Kristus yang artinya Natal itu berlaku untuk umat Islam dan juga Kristen sebagai peringatan akan lahirnya Nabi Isa Almasih (dalam Islam) dan Yesus Kristus (dalam Kristen).
Mengenai hal ini, ternyata telah ada yang membuat videonya terlebih dahulu sebelum saya membuat tulisan ini, mari kita simak:

Mungkin akan ada yang mengatakan, "Tetapi Nabi Isa tidak lahir tanggal 25 Desember. 25 Desember itu lahirnya dewa matahari." Nah kalau begitu, yang menjadi masalah bukan ucapan selamat natalnya melainkan tanggalnya, kan? Mengenai tanggal kelahiran Yesus memang tidak ada yang dapat memastikan dan mengenai penyembahan terhadap dewa matahari jelas kekristenan tidak melakukan itu. Pembahasan lebih lanjut mengenai 25 Desember dan kelahiran Yesus bisa dibaca di sini
Natal dan 25 Desember 
atau bisa baca di Penetapan 25 Desember (di dalam website tersebut juga dijelaskan tentang pemaknaan ulang Natal sebagai hari lahirnya pencerahan bagi dunia, jadi siapapun dapat ikut memaknai natal menurut pemahamannya masing-masing).
4. Ucapan Selamat Natal bukanlah basa-basi seperti yang diungkapkan oleh para ulama yang tidak melarang untuk mengucapkan natal. Ucapan "Selamat" sesungguhnya adalah doa. Namun memang banyak dari antara kita yang saat ini menjadikan ucapan "Selamat" sebagai basa-basi sehingga ucapan selamat pagi menjadi "pagi" saja. Padahal dalam ucapan "Selamat Pagi" ada sebuah doa agar orang yang diucapkan selamat pagi tersebut dapat selamat, sejahtera, sehat dan semua hal-hal baik terjadi pada pagi itu. Hal ini jugalah yang menjadi alasan mengapa ada beberapa pendeta yang tidak menyetujui apabila dalam doa kita menyapa Tuhan dengan "Selamat pagi, Tuhan." Tuhan adalah yang MahaKuasa, mengapa harus kita doakan supaya Dia selamat? Oke, itu pembahasan tersendiri. Kita fokus kembali kepada selamat natal. Jelaslah bahwa selamat natal adalah sebuah doa agar orang yang merayakan natal (apapun itu pemaknaannya terhadap natal) dapat selamat, sejahtera, sehat dan semua hal-hal yang baik. Dan sekali lagi, tidak ada pengakuan keimanan kepada Yesus di dalam ucapan selamat itu.

Sekarang, mari kita lihat kesalahpamahan mengenai simbol-simbol natal. Topi sinterklaus, sinterklaus, dan pohon natal  tidak ada hubungannya dengan inti keimanan umat kristen. Topi sinterklaus jelas tidak bisa disamakan dengan jilbab. Jilbab bersentuhan langsung dengan iman umat muslim sedangkan topi santa tidak. Tidak pernah disebutkan dalam alkitab satu ayat pun mengenai santa, topi santa dan pohon natal. Santa, topi santa dan pohon natal tidak ada hubungannya dengan Yesus sama sekali. Itu hanyalah penyemarak pesta (yang lahir karena konstruksi budaya) sehingga apabila ada non-kristen mengenakan pernak-pernik tersebut, tidak akan murtad.

Lagu-lagu seperti Jingle Bells, White Christmas dan All I Want For Christmas Is You bukanlah lagu-lagu yang berhubungan dengan iman kristen mengenai natal. Itulah kenapa banyak pendeta yang mulai melarang lagu-lagu tersebut masuk ke dalam ibadah natal. Silakan rekan-rekan cek kembali lirik lagu-lagu tersebut. Tidak ada satu pun kalimat yang menceritakan tentang kelahiran Yesus atau iman kepada Yesus. Lagu ibadah kristen harus merujuk kepada peristiwa Kristus. Jadi, seandainya umat non-kristen ingin menyanyikan lagu-lagu tersebut pun tidak masalah, tidak akan menjadi murtad karena sama sekali tidak ada hubungannya dengan Yesus.

Apabila setelah membaca penjelasan ini rekan-rekan masih tidak ingin mengucapkan Selamat Natal, silakan saja. Itu hak masing-masing orang. Namun, sama seperti tujuan tulisan ini dibuat, pesan saya adalah jangan gara-gara ucapan selamat natal, rekan-rekan saling menghakimi rekan-rekan seagama dan juga jangan mudah terprovokasi mengenai pengenaan simbol-simbol kekristenan. Telaah kembali apakah benar itu adalah simbol-simbol kristen atau hanya pernak-pernik pesta yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan iman kepada Yesus. Jangan cepat menghakimi atau merasa benar hanya karena baru tahu satu sisi dari kehidupan kekristenan. Kehidupan kekristenan memiliki banyak sisi.

Akhir kata, Natal adalah bukti bahwa Tuhan begitu mengasihi dunia. Jangan merusaknya dengan saling membenci. Mari kita saling mengasihi.

Salam,
Nuryanto Gracia, S.Si (teol)

Senin, 23 Desember 2013

NATAL YANG NAKAL



NATAL YANG NAKAL

Nakal menurut KBBI tingkah laku secara ringan yang menyalahi norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Berbicara tentang norma, maka setiap komunitas jelas memiliki normanya masing-masing. Bisa jadi yang menurut masyarakat kita lazim, ternyata tidak lazim menurut masyarakat di tempat lain.
Lalu apa hubungannya natal dengan nakal? Apanya yang nakal dari sebuah natal?
Saat natal tiba, banyak kenakalan yang sering kita lakukan. Tanpa melihat konteks masyarakat ketika Yesus lahir, kita sembarangan memahami peristiwa natal. Ada beberapa kenakalan yang sering kita lakukan:
1.      Kita sering mencampuradukkan cerita antara gembala dengan orang-orang majus. Kita menggabungkan kedua cerita yang sebenarnya diceritakan oleh kedua kitab Injil yang berbeda, waktu yang berbeda dan maksud yang berbeda. Cerita orang majus ada di kitab Matius. Di Matius orang Majus diberi tanda Bintang jika ingin bertemu Yesus karena memang orang majus hidup sehari-harinya berhubungan dengan bintang, mereka adalah ahli perbintangan dari timur. Jadi memang pas jika orang majus diberi tanda bintang dan tidak pas jika gembala diberi tanda bintang. Di Lukas, para gembala diberi tanda palungan jika ingin bertemu Yesus karena setiap hari mereka menggembalakan domba dan pasti tidak asing lagi dengan palungan. Jadi memang pas jika gembala yang diberi tanda palungan dan tidak pas jika orang majus diberi tanda palungan. Namun seringkali kita dengan seenaknya menggabungkan kedua cerita tersebut. Orang majus dan para gembala melihat bintang yang mengantar mereka ke sebuah kandang, lalu orang majus dan para gembala bertemu dengan Maria, Yusuf dan bayi Yesus di palungan secara bersamaan. Perlu kita ketahui, gembala dan orang-orang majus tidak bertemu Yesus pada waktu bersamaan, namun pada waktu yang berbeda. Orang-orang majus bertemu Yesus ketika Yesus sudah berumur kurang dari dua tahun (Lukas 2:16). Perhatikan Matius 2:11, yang ditemui orang-orang majus adalah Anak (παιδιον/paidion) bukan Bayi (βρεφος: brephos) seperti yang ditemui oleh para gembala dalam Luk 2:16.


2.      Kita juga sering seenaknya menggambarkan bahwa Yesus lahir di kandang. Yesus tidak lahir di kandang. di Alkitab hanya dikatakan di palungan (Lukas 2:16). Palungan bisa ditaruh di mana pun, tidak selalu di kandang. Bisa jadi di gudang/ruang bawah.
3.      Kita sering menggambarkan Maria dan Yusuf mencari rumah penginapan namun tidak dapat sehingga harus tinggal di kandang. Perlu kita ketahui, orangtua Yesus tidak mencari penginapan tetapi ke rumah saudaranya sendiri namun tidak mendapat kamar tamu atas, dalam Lukas 2:7 ditulisnya rumah penginapan (καταλυμα/kataluma dalam bahasa Yunani artinya kamar tamu atas). Untuk penginapan bahasa yunaninya pandoceion seperti dipakai dalam Lukas 10:34). Kemungkinan besar, Yesus beserta kedua orangtuanya diberi tempat di gudang/ ruang bawah. Pdt. Joas Adiprasetya pernah menulis di sini http://www.facebook.com/notes/joas-adiprasetya/natal-perdana-ruang-keramahtamahan/10151172666821964 , walau dengan kesimpulan kisah yang berbeda dengan saya. Bagi saya dan juga Pak Andar Ismail, justru Yesus berada di ruang bawah karena tertolak, bukan karena keramahtamahan pemilik rumah. Tapi yang jelas, Maria dan Yusuf tidak di penginapan.
4.      Banyak pendeta yang pada saat kelahiran Yesus, justru mengkhotbahkan tentang kematianNya. Coba kita bayangkan saat ulangtahun kita, kita ngundang pendeta untuk ibadah syukur eh pendetanya malah khotbah soal kematian kita, bagaimana perasaan kita? Bisa saja sih mengingatkan tentang betapa singkatnya hidup kita, atau kita semua pasti akan mati jadi harus menggunakan waktu dengan baik. Tapi bagaimana jika yang dikhotbahkan bukan soal itu melainkan betapa tragisnya nanti kita akan mati? Ada yang mau ketika ulangtahun dikhotbahi tentang kematian kita yang tragis? Itu artinya tidak sesuai konteks. Mungkin akan ada yang berkata, kelahiran Yesus selalu berhubungan dengan kematian Yesus. Jadi kelahiran Yesus selalu sepaket dengan kematianNya. Apakah dari kisah kelahiran Yesus tidak ada nilai-nilai lain yang dapat disampaikan? Apakah hanya kisah kematianNya saja yang begitu bermakna sehingga harus terus-menerus dikhotbahkan bahkan di hari kelahiranNya? Menurut saya, banyak sekali nilai-nilai ataupun hal-hal lain yang dapat disampaikan saat kelahiran Yesus. Bahkan dari daftar silsilah Yesus saja, kita bisa mengkhotbahkan bagaimana kelahiran Yesus merangkul yang tertolak. Ada berapa banyak orang-orang yang dianggap hina pada zaman itu justru masuk menjadi nenek moyang Yesus. Bahkan dari kisah Yesus lahir di “rumah penginapan” saja, kita bisa mendapatkan dua pesan berbeda. Pesan seperti yang disampaikan Pdt. Joas yaitu tentang keramahtamahan dan pesan seperti yang disampaikan Andar Ismail tentang ketertolakan. Masih banyak pesan lainnya yang harus disampaikan pada saat natal, tidak melulu soal kematian Yesus di kayu salib.


Demikianlah beberapa kenakalan yang seringkali kita lakukan pada saat natal. Mungkin masih banyak kenalan-kenakalan lainnya yang sering kita lakukan. Atau mungkin juga tulisan saya saat ini adalah sebuah kenakalan bagi beberapa komunitas gereja karena tidak sesuai norma atau doktrin mereka?

Nuryanto Gracia, S.Si (teol)

Kamis, 19 Desember 2013

ALANGKAH INDAHNYA


ALANGKAH INDAHNYA

Sudah beberapa hari bukit-bukit di pedalaman Perancis itu menjadi ajang pertempuran. Perang Dunia kedua sedang berkecamuk di tengah musim dingin yang menusuk. Pasukan Amerika sedang berhadapan langsung dengan pasukan Jerman. Pada malam itu pasukan kedua belah pihak tetap siaga di parit penjagaan mereka masing-masing. Jarak antara kedua pasukan musuh itu hanya beberapa puluh meter saja. Rasa tegang dan lelah mencekam mereka.

Tiba-tiba kesunyian malam itu pecah. Ada suara seseorang sayup-sayup mengumandangkan irama “Malam Kudus.” Para prajurit itu tertegun. Mereka saling mamandang dengan rasa heran. Betul! Ini malam natal! Hari ini tanggal 24 Desember! Lalu prajurit-prajurit itu pun ikut bernyanyi. Beberapa prajurit Amerika berdiri dan keluar dari parit. Disusul oleh beberapa prajurit Jerman. Mereka pun saling berangkulan. Tentara Amerika bernyanyi “Silent Night, Holy Night”; tentara Jerman bernyanyi “Stille Nacht, Heilige Nacht.” Rasa haru dan gembira langsung memenuhi hati mereka. Mereka mengeluarkan makanan dan saling bertukar cendera mata.

Keesokan harinya tentara dari kedua pasukan yang bermusuhan itu bermain sepak bola. Sepanjang hari mereka bergembira.

Tetapi setelah itu para prajurit itu terpaksa kembali lagi ke parit mereka masing-masing. Komandan masing-masing pasukan mendapat instruksi untuk meneruskan penyerangan. Akibatnya pertempuran meletus lagi. Kedua pasukan itu terpaksa saling tembak lagi. Natal telah berakhir, damai pun ikut berakhir.

Cerita itu hanya salah satu dari sekian banyak cerita yang ironis tentang Natal. Ironis karena seringkali dampak Natal hanya berlangsung dua atau tiga hari saja.

Suasana Natal memang seolah-olah menyulap perasaan kita. Begitu kita mendengar lagu-lagu Natal yang khidmat dan agung, hati pun terasa teduh. Kita jadi lebih bermurah hati kepada orang lain. kita jadi lebih ramah. Wajah orang pun tampak lebih cerah dan ceria. Ketegangan dan keberingasan hidup sehari-hari seolah-olah berhenti dan diganti dengan kedamaian dan keramahan. Hidup terasa menjadi lebih indah.

Tetapi ketika suasana Natal itu sudah berakhir, berakhir pulalah segala kedamaian dan kemurahan hati itu. Hidup kembali menjadi kejam dan keras, serakah dan selingkuh, benci dan dengki. Sesingkat itukah nyala api kasih Kristus yang bernyala dalam hati kita?

Dalam khotbah di Bukit, Tuhan Yesus mengumpamakan kita sebagai pelita yang ditempatkan di atas kaki dian supaya menerangi seisi rumah (Matius 5:14-16). Cahaya pelita memang tidak gemerlapan dan tidak mencolok secara istimewa, namun ia menyala secara langgeng tiap malam sepanjang tahun. Pelita bebeda dari lampu hiasan Natal yang berkedap-kedip secara mencolok namun hanya menyala beberapa hari saja setahun.

Agaknya dalam mewakili Tuhan Yesus kita perlu belajar menjadi pelita yang walaupun menyala secara bersahaja namun menyala langgeng sepanjang tahun, ketimbang lampu hiasan Natal yang gemerlapan namun menyala hanya selama beberapa hari saja.

Dalam Surat dari Taize Bruder Roger menulis, “Mengikuti Kristus bukanlah seperti menyalakan kembang api atau petasan yang menyala secara memukau dan silau dalam waktu sekejap namun sesudah itu langsung lenyap.”

Yang kita butuhkan bukanlah pengalaman iman yang berkilauan dan meledak-ledak penuh emosi secara gegap gempita namun berlangsung hanya beberapa kali saja setahun. Yang kita butuhkan adalah kebalikannya, yaitu pengalaman iman yang tenang dan bersahaja namun setia dan langgeng sepanjang tahun.

Lebih baik kita menjadi air tawar biasa di gelas yang penuh ketimbang menjadi cola atau minuman bersoda yang meletup dan meluap secara berbuih-buih begitu dibuka, tetapi segera setelah itu buih-buihnya langsung lenyap sehingga yang tinggal ternyata adalah gelas yang tidak penuh.
Roh Natal dan Roh Yesus, yaitu kegembiaraan, keteduhan, kesahajaan dan kemurahan hati. Dunia langsung berubah menjadi indah ketika roh itu mulai menyala di dalam hati kita. Alangkah indahnya dunia ini kalau roh itu menyala bukan hanya pada hari hari Natal saja, melainkan langgeng sepanjang tahun. Ya, alangkah indahnya.

Diambil dari buku Selamat Natal karya Andar Ismail.

Selasa, 28 Februari 2012

Beberapa Kekeliruan Tentang Natal


Beberapa Kekeliruan Tentang Natal

            Tiap tahun kita merayakan natal. Namun tiap natal juga kita melakukan kekeliruan. Agar tahun depan kita tidak melakukan kekeliruan yang sama, ada baiknya kita mengetahui sesuatu yang memang layak untuk kita tahu. Ada beberapa kekeliruan tentang natal yang selama ini kita pahami, yaitu:

1. Gembala dan orang-orang majus tidak bertemu Yesus pada waktu bersamaan, namun pada waktu yang berbeda. Orang-orang majus bertemu Yesus ketika Yesus sudah berumur kurang dari dua tahun (Lukas 2:16). Perhatikan Matius 2:11, yang ditemui orang-orang majus adalah Anak (παιδιον/paidion) bukan Bayi (βρεφος: brephos) seperti yang ditemui oleh para gembala dalam Luk 2:16.

2. Yesus tidak lahir di kandang domba, di Alkitab hanya dikatakan di palungan (Lukas 2:16). Palungan bisa ditaruh di mana pun, tidak selalu di kandang. Bisa jadi di gudang.

3. Keadaan waktu Yesus lahir tidak sepi tetapi ramai karena banyak orang dari luar kota datang untuk sensus (Lukas 2:1-6).

4. Orang majus yang datang ke Yesus bukan 3 orang, yang 3 hanyalah jenis persembahannya bukan jumlah orangnya (Matius 2:11).

5. Orang tua Yesus tidak mencari penginapan tetapi ke rumah saudaranya sendiri namun tidak mendapat kamar tamu, dalam Lukas 2:7 ditulisnya rumah penginapan (καταλυμα/kataluma dalam bahasa Yunani artinya kamar tamu). Kemungkinan besar, Yesus beserta kedua orangtuanya diberi tempat di gudang.

6. X-mas dan Christmas memiliki arti yang berbeda. Ada yang mau merayakan natal hanya dengan pesta pora, tanpa Yesus di dalamnya, sehingga kata Christ diganti dengan X, dengan dalih X dalam bahasa Yunani dibaca Christ.

7. Lagu “Jinggle bells,” “Whispering hope” dan “Santa claus is coming to town” bukanlah lagu natal. Di dalam lagu tersebut tidak menceritakan kelahiran Yesus sama sekali.

8. Yesus tidak lahir pada tanggal 25 Desember ataupun musim salju karena Lukas 2:8 mengatakan, “Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam.” Tidak mungkin pada musim salju ada gembala di ladang.   

9. Kelahiran bukan berarti harus dirayakan besar-besaran. Oleh karena itu, Natal bukan berarti harus pesta pora.

10. Yang mendapat kado seharusnya adalah yang berulang tahun, bukan justru yang datang ke pesta ulang tahunnya. Namun anehnya, pada saat natal justru kita yang lebih mengharapkan diberi kado dibandingkan memberikan kado kepada Yesus.

11. Pohon natal bukanlah selalu pohon cemara. Pada saat Yesus lahir, tidak diceritakan sama sekali ada pohon cemara di sana.


Ada lagi yang mau ditambahkan?

Karya: Nuryanto, S.Si (teol) dan beberapa ada juga sumbangan pendapat dari teman-teman saya.

Rabu, 05 Januari 2011

NATAL YANG BERSAHABAT



DALAM waktu yang agak lama, sekadar mengucapkan "Selamat Natal" bagi kaum Muslim di Indonesia menjadi peristiwa politik. Suatu counter-practice terhadap praktik dominan yang mengharamkan ucapan itu. Sebab di balik ucapan sederhana itu, ada semacam bayangan ketakutan -- mungkin sekadar di kepala para birokrat keagamaan -- kalau-kalau umat melakukan pencampuradukan aqidah. Bukankah mengucapkan "Selamat Natal" juga sekaligus berarti mengakui peristiwa inkarnasi Sabda menjadi manusia?

Itu sebabnya saya sering tercenung dan terharu, setiap kali rekan-rekan Muslim mengucapkan "Selamat Natal" pada saya dan keluarga. Tindakan itu seperti counter-practice terhadap ideologi dominan: suatu kesaksian bahwa jalinan persahabatan menembus, menggerogoti dan sekaligus melintasi sekat-sekat pemisahan dan pembedaan antar-agama yang dijaga mati-matian oleh para birokrat keagamaan maupun rezim kekuasaan. Juga tindakan itu mau melecehkan bayang-bayang ketakutan pada pencampuradukan aqidah. Malah, saya cenderung mendaku, itu adalah tindakan sekularisasi dalam arti yang sesungguhnya. Karena lewat tindakan itu, segala pertimbangan aqidah dilewati: jalinan persahabatan tidak memerlukan aturan-aturan hukum agama yang kerap malah memisahkan, ketimbang menyatukan.

Pengalaman Natal 2010 memberi bentuk konkret pada pendakuan saya itu. Pdt Albertus Patty, sahabat saya di GKI Maulana Yusuf, mengambil inisiatif yang bahkan melampaui segala kemungkinan: suatu ibadah Natal yang sengaja dirancang bersifat antar-agama! Ia mengundang Fariz RM, musikus kondang Bandung, grup qasidahan ar-Rahman, Yanti Kerlip dan Ulil Abshar-Abdalla untuk ikut serta dalam seluruh seluk beluk kebaktian Natal, dan berpartisipasi di dalamnya. Dan ia menyebut ini sebagai "langkah kecil" untuk menyemai kembali benih-benih persahabatan, jalinan cinta kasih dan saling menghormati, yang selama ini makin terkikis dari kehidupan di negara ini.
Boleh jadi, eksperimen GKI Maulana Yusuf bukan yang pertama. Saya tidak tahu persis apakah pernah ada di Indonesia langkah serupa sebelumnya. Namun, yang jelas, apa yang dilakukan GKI Maulana Yusuf akan dikenang sebagai terobosan penting. Dengan langkah itu, ditawarkan cara baru untuk menghayati pengalaman keagamaan: ibadah yang selama ini hanya dapat dibagikan dalam komunitas tertentu kini justru menjadi pintu bagi proses saling berbagi antar-komunitas.

Di situ segala pertimbangan dogmatis dilangkaui. Orang tidak lagi berbicara tentang rumusan-rumusan ajaran yang serba ketat dan kaku mengenai apa itu Natal. Ini hanya sekadar kesibukan para birokrat keagamaan yang mungkin diperlukan, namun jelas tidak memadai. Sebab rumusan-rumusan dogmatis hanyalah penanda-penanda pada proses yang selalu merupakan misteri yang tak terbahasakan. Alih-alih dari itu, pengalaman ibadah-lintas-agama membuka ruang bagi permenungan dan pemahaman teologis yang baru: Justru karena Natal adalah jawaban "Ya" yang radikal dari kasih Allah pada seluruh ciptaan-Nya, maka seyogianya perjumpaan dengan kehadiran Allah dalam Bayi mungil di Nazareth harus menjadi pengalaman bersama yang melintasi sekat-sekat antar-ras, antar-suku, antar-bangsa, antar-kepercayaan, maupun antar-agama. Di situ, lagu Joy to the World dapat berpadu dengan Shalawat Nabi, dan bacaan Injil saling berkelindan dengan renungan Qur'ani. Dalam setiap teks-teks yang dibacakan (atau juga dinyanyikan), kita  menemukan jejak-jejak Sang Misteri yang melangkaui segala upaya pembahasaan, dan mengundang kita menziarahi hidup di dalam ikatan cinta dan persahabatan.

Dan itu semua menantang bukan hanya pemahaman tentang apa arti pengalaman keberagamaan yang umum, tetapi juga apa arti iman, dan apa arti menjadi komunitas beriman yang dipanggil ke luar (gereja). Saya malah menengarai, perspektif teologis yang disibak lewat langkah eksperimental GKI Maulana Yusuf dapat menyumbang penting pada bagaimana memahami Ekumene -- bukan sekadar melintasi batas-batas tembok gerejawi, tetapi menjangkau pada keseluruhan "Oikos" Allah sendiri. Bukankah kita, setidaknya para pewaris tradisi keimanan Abraham, mengaku percaya bahwa kita semua adalah anak-anak Allah yang sedang dalam perjalanan kembali pada-Nya?

Natal 2010 hanyalah titik awal. Tetapi, saya kira, sungguh patut disyukuri karena kemungkinan-kemungkinan yang disibakkan oleh peristiwa itu akan bergema entah sampai kapan. Terima kasih untuk undangan yang memungkinkan saya mengalaminya.

Selamat mengarungi peziarahan baru!

Oleh: Trisno S. Sutanto 

sumber:
http://www.facebook.com/home.php#!/notes/trisno-s-sutanto/natal-2010/48942811800 

Natal yang indah dalam kerukunan. Natal yang merangkul keindahan-keindahan lainnya. namun pertanyaannya, apakah model natal ini adalah model yang tepat dalam menjawab tantangan pluralisme agama? atau masih perlu dikritisi lagi? atau jangan-jangan model ini justru terjebak dalam relativisme dan sinkretisme?

saya tertarik dengan satu komentar dari Martin L. Sinaga


( -Saya tidak tahu apakah penggagas ibadah bersama GKI Maulana sudah lelah dengan dialog Protestan-katolik yang penjang seputar "ibadah-bersama" Perjamuan Kudus itu, sehingga ingin segera memberi pelajaran, yaitu dengan cepat-cepat beribadah dengan teman2 Islam?)

Juga Natal bukan perayaan keluarga besar Abraham -sebab Trisno menyebut ide Abraham ini di akhir tulisannya- (mungkin Yusuf Roni sepaham dengan Trisno sehingga ia menamai komunitasnya sebagai "kemah Abraham", dan ibadah lintas-agama begini sudah jadi kesibukan Kemah itu dimana "beresit bara ha Elohim" disambit dengan "Insyaallah" lalu diselingi panggilan pada Kristus "Junjungan"ku, -jadi langkah GKI Maulana tidak baru-baru amat.)

Bagi saya "Problem" atau skandal Natal ialah ia merayakan Nama Kristus, dan orang diminta bersekutu dalam Nama itu -Nama untuk sebuah tubuh, sebuah sejarah, sebuah peristiwa dimana Yang Terbatas perlu dihargai sebagai Yang Terbatas -namun dari Nama Partikular Yang Terbatas itu diharapkan terbuka realitas ilahi. Tampaknya, setakat ini ibadah Natal ialah peristiwa Terbatas (ia adalah momen ruang dan waktu yang tertentu, dirayakan oleh kelompok tertentu), tapi kiranya dari situ tersibak Yang Tak Terbatas (tentu dalam realitas "Entah" yang kita rindukan itu...).
Sebenarnya Orang Indonesia umumnya membagi dua acara Natal, yang satu Ibadah, yang satu lagi Perayaan. Kan "wsidom" ini tiada taranya agar kita bisa berbagi...Dan seperti saudara muslim kita akan solat Ied dulu lalu mengundang kita halal-bil halal bersantap bersama. Apa ini kurang?!! please deh...


itu adalah pendapatnya, lalu bagaimana dengan Anda?

selamat merenung...


Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar