Pages

Minggu, 22 Mei 2011

Masyarakat Ilahi (Leonardo Boff)


God as Trinity
Masyarakat Ilahi Leonardo Boff

Ringkasan
Kerinduan terbesar dari Boff adalah menyelaraskan doktrin sosial dari Trinitas dengan keprihatinan sosial dari proyek pembebasan orang-orang Amerika Latin. Kemasyarakatan yang ada harus merefleksikan Trinitas Allah.. Allah sebagai Trinitas tidak terdiri dari satu pribadi saja tetapi terdiri dari beberapa pribadi. Pribadi yang tidak sekadar saling mengasihi satu dengan yang lain, tetapi juga yang bersahabat dalam komuni dan kasih.
Allah sebagai Trinitas juga tidak hanya terdiri dari pria atau perempuan saja. Boff memasukkan simbol seks ke dalam kehidupan ilahi yang ia coba bangun. Baginya simbol seks yang dilekatkan kepada Allah memiliki efek yang besar bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Apabila Allah dikatakan sebagai Allah Bapa maka hal ini akan melegitimasi peran ayah di dalam rumah tangga sebagai bos yang dapat berlaku sewenang-wenang terhadap anak dan istrinya. Oleh karena itu, Boff berpendapat bahwa Allah seharusnya itu biseksual, sebagai ayah sekaligus sebagai ibu juga.
Namun, hal itu bukan seperti pemikiran yang diajukan oleh kaum feminis. Selama ini kaum feminis, menyatakan bahwa Roh Kudus merupakan wujud feminim dari Allah sedangkan Yesus merupakan wujud maskulin dari Allah. Hal ini ditolak dengan tegas oleh Boff. Baginya, baik Roh Kudus maupun Yesus sama-sama memiliki sisi feminin dan maskulin. Jadi pada dasarnya, Boff tidak mempermasalahkan jender Allah per se tetapi lebih kepada kualitas dari sifat feminin dan maskulin Allah.
Pada satu pihak Boff, berusaha menemukan prototypes kemaskulinan dan kefeminiman manusia di dalam Allah. Pada pihak lain, dia tidak menemukan hal tersebut jika “Allah melampaui seks.” Jika Allah benar-benar melampaui seks maka seksualitas manusia bukan lah hal yang ilahi melainkan hanya fenomena manusiawi biasa saja.
Pemikiran trinitas yang coba dibangun oleh Boff, sepertinya membawa dia kepada doktrin tradisional tentang Trinitas yang pada akhirnya nanti akan terjebak pada hierarki antara Allah Bapa dengan Roh Kudus dan Yesus. Namun Boff, berargumen bahwa Allah adalah Kasih, sedangkan Roh Kudus dan Yesus adalah refleksi dari kasih tersebut. Jadi tidak ada hierarki dalam pemikiran tersebut, yang ada adalah hubungan kasih. Hubungan seperti inilah yang juga diharapkan oleh Boff terjadi di dalam kehidupan human society. Tesis besar dari Boff adalah membawa human society untuk menjadi divine society dengan bercermin kepada Allah sebagai Trinitas.
Human society juga harus didasarkan kepada eskatologi Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang akan datang tersebut merupakan kerajaan yang abadi di mana Allah adalah rajanya. Selama kerajaan Allah itu belum datang manusia bebas untuk mengkritisi struktur sosial saat ini dan manusia juga bebas untuk mentransformasinya, karena semuanya itu bersifat sesaat. Hanya Kerajaan Allah yang kekal.
Hanya Allah yang berhak menjadi raja. Oleh karena itu, tidak ada manusia yang berhak menganggap bahwa dirinya adalah raja atas segalanya. Allah adalah absolut.

Refleksi
            Cita-cita Boff untuk menjadikan human society menjadi divine society, merupakan suatu upaya imitatio Dei. Dalam hal ini Dei yang dimaksud adalah Allah Trinitas. Apa yang terjadi kepada dan di dalam tiga pribadi dari Trinitas tersebut (Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus) merupakan contoh ideal bagi kehidupan human society. Refleksi terhadap Trinitas tersebut lah yang pada akhirnya akan membawa human society kepada divine society.
            Saya berpendapat bahwa manusia tidak selalu bisa mengimitasi Allah. Seperti juga yang diungkapkan oleh Boff bahwa walaupun Allah adalah raja, manusia tidak bisa menganggap dirinya sebagai raja juga. Dari sini terlihat bahwa memang ada hal-hal yang memang dapat diimitasi namun ada hal-hal yang memang absolut milik Allah.
Seperti Allah adalah hakim, maka Allah berhak mengatakan seseorang sesat dan layak masuk neraka. Manusia tidak bisa mengimitasi peran tersebut karena yang berhak menghakimi hanya Allah. Ada juga saatnya Allah murka lalu menghabisi bangsa-bangsa yang ‘menyakiti’ hati-Nya. Allah berhak melakukan itu, namun manusia tidak. Jadi memang tidak semua tindakan Allah, terlebih lagi tindakan Allah terhadap Yesus yang mengorbankan anaknya sendiri untuk ‘memuaskan’ murka-Nya terhadap manusia, yang dapat manusia imitasi.


Diringkas dan direfleksikan oleh Nuryanto, S.Si (Teol)

0 komentar:

Posting Komentar

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar