Pages

Minggu, 23 Januari 2011

Bagaimana Bercerita?

Patricia Griggs mengatakan bahwa apabila kita menceritakan tentang cerita diri kita sendiri (my story) maka kita tidak perlu memikirkan tentang bagaimana perasaan/emosi kita pada saat itu, peristiwa-peristiwa lain apa yang mengikuti kisah kita tersebut karena kita sendiri yang mengalaminya (personal story). Secara otomatis ketika kita menyampaikan cerita tersebut kepada orang lain, perasaan/emosi kita ikut tersampaikan juga. Namun ketika ada orang lain yang hendak menceritakan kisah kita tersebut kembali, maka orang tersebut butuh untuk melakukan interpretasi. Dia harus dapat menangkap perasaan/emosi kita pada saat itu serta situasi ketika cerita tersebut terjadi. Sesungguhnya menceritakan kisah Alkitab juga seperti menceritakan personal story.[1] Kita butuh tahu bagaimana perasaan/emosi penulis kisah tersebut, bagaimana kebudayaan ketika kisah tersebut dibuat, peristiwa-peristiwa apa yang terjadi ketika kisah itu dibuat serta kebutuhan yang ada sehingga kisah tersebut harus dibuat/dituliskan. Oleh karena itu, berkhotbah dengan bercerita tetap memerlukan interpretasi/hermeneutik. Khotbah naratif tidak hanya sekadar menuturkan kembali kisah Alkitab tetapi juga menyampaikan perasaan/emosi serta pengalaman penulis kisah sehingga kisah tersebut berhubungan juga dengan kisah kita pada masa kini (our story).

2.2.1 Plot Khotbah
Untuk dapat mengerti perasaan/emosi, pengalaman, kebudayaan serta kebutuhan dari kisah tersebut kita memerlukan penafsiran sedangkan agar cerita tersebut dapat berhubungan juga dengan kisah umat pada masa kini maka diperlukan perancanaan cerita yang hendak disampaikan dalam khotbah (plot khotbah). Cerita perlu dirancang mulai dari pembukaan hingga penutup dengan sangat baik sehingga pesan firman Tuhan dapat disampaikan dengan efektif.
2.2.1.1 Pembukaan
Seperti yang dituliskan sebelumnya, ketika umat datang mengikuti ibadah dan hendak mendengarkan khotbah, mereka tidak datang dengan pikiran kosong yang siap diisi begitu saja dengan firman Tuhan. Mereka justru datang dengan membawa banyak ‘suara’suara’ lain yang bergemuruh di dalam pikirannya. Oleh karena itu, pembukaan khotbah (dalam hal ini cerita) menjadi bagian yang sangat penting. Bagian pembukaan harus dapat melepaskan umat dari ‘suara-suara’ lain tersebut dan segera memikat perhatian mereka pada cerita yang akan disampaikan. Pada pembukaan cerita harus terjadi suatu konflik atau masalah sehingga pendengar tertarik untuk mengetahui kelanjutan ceritanya.[2] “Apa yang akan terjadi selanjutnya?” Patricia mengemukakan bahwa pertanyaan ini akan menjadi alasan pendengar untuk terus memperhatikan cerita dan ikut terlibat dengan cerita tersebut.[3]
Untuk dapat memperoleh attention umat, ada banyak cara membuka sebuah cerita.
a.       Mulailah dengan sesuatu yang mengejutkan dan membuat pendengar bertanya-tanya.[4]
Bersukacitalah senantiasa” (Flp. 4:4). Dua kata yang merupakan tulisan Rasul Paulus itu tercetak di bagian kosong halaman sebuah majalah, dengan foto sekuntum bunga mawar merah.
Pikiran waras akan langsung bereaksi. Bila anak diwisuda memang kita gembira. Akan tetapi, siapa yang akan bersukacita bila anaknya geger otak ditabrak motor? Bila mendapat rumah tentulah kita bergembira. Akan tetapi, siapa yang akan bergembira bila rumahnya terbakar? Mustahil kita selalu bersukacita.[5]
b.      Suatu persoalan dapat dipakai untuk peembukaan cerita[6]
Siapa yang membidani Maria ketika melahirkan Yesus? Orang yang melahirkan perlu dibidani. Siapa yang membidani Maria? Apakah Yusuf? Agak mustahil bahwa seorang pemuda yang baru bertunangan seperti Yusuf terampil menolong wanita yang melahirkan. Kalau begitu siapa yang menolong Maria?[7]
c.       Tujuan cerita dapat menentukan isi pembukaan cerita.[8]
Contohnya kita akan menyampaikan khotbah dengan tema “Menjadi Hamba bagi Sesama, Mungkinkah?”
Menjadi hamba bagi sesama? Menjadi hamba berarti menuruti semua yang diinginkan tuannya. Saya sedang membayangkan apabila saya adalah hamba dari sesama saya yang suka menyuruh-nyuruh orang. Mungkin beginilah nasib saya. “Hei ambilkan saya minum,” “Cucikan pakaian saya,” “Bersihkan rumah saya,” “Bayarin saya makan” dan permintaan-permintaan lainnya. Haruskah saya menuruti semua permintaannya? Harus! Jika saya menjadi hamba, saya tidak punya hak untuk menolak ataupun protes. Semua permintaan tuan harus dituruti. Jadi mungkinkah kita menjadi hamba bagi sesama?”
d.      Penjelasan istilah baru dapat menjadi isi pembukaan cerita.[9]
Apakah dalam hidup ini ada hal yang pasti? Ada. Tetapi hanya satu! Apa itu? Bahwa kita semua akan mati. Hanya itu yang pasti. Segala sesuatu lainnya serba belum pasti atau tidak pasti.
Memento mori! Demikianlah bunyi sebuah peribahasa Latin. Artinya: Ingatlah, Anda akan mati.[10]
e.       Pembukaan dengan pengakuan atau pendahuluan yang bersifat pribadi[11]
Ketika masuk di Sekolah Teologi Balewijoto Malang, saya baru berusia 18 tahun dan masih bercelana pendek. Dibandingkan dengan kawan-kawan, saya tergolong muda dan kecil. Apalagi kalau dibandingkan dengan para dosen yang kebanyakan adalah orang Belanda dan Amerika. Hal itu terasa tiap pagi di kapel. Tiap pagi dalam kebaktian di kapel semua dosen duduk di baris paling depan. Saya selalu duduk di bangku paling belakang, sehingga saya hampir tidak dapat melihat ke depan karena terhalang para dosen dan teman. Saya merasa kecil.
Namun yang lebih merisaukan saya adalah perasaan tidak pasti. Tiap hari saya dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan: mampukah saya belajar di sekolah ini? Dapatkah saya naik tingkat? Dapatkah saya lulus? Apakah saya akan menjadi pendeta? Di mana? Bagaimana? Apa hari depan saya? Jalan di depan saya penuh dengan ketidakpastian. Saya sangsi. Saya takut.[12]
f.       Pengalaman umat yang pernah dialami bersama dapat kita jadikan pembukaan.
Siapa yang bisa hidup tanpa air? Sebelum lahir pun kita sudah perlu air. Selama Sembilan bulan kita mengambang di kantung air dalam kandungan ibu. Setelah lahir makanan kita hanya air selama beberapa bulan. Kita bisa membaca karena mata kita berair. Kita bisa memahami isi karangan dengan otak yang 85% terdiri dari air. Tubuh kita terdiri dari 70% air. Air dalam aliran darah melarutkan bahan gizzi yang diperlukan oleh jutaan sel tubuh kita. Nah, bagaimana kita bisa hidup tanpa air?[13]

2.2.1.2 Tubuh Cerita (Isi)
Pada bagian ini karakter-karakter cerita mulai dikembangkan dan pendengar dibawa/diarahkan menuju kepada klimaks dari cerita.[14] Perkembangan dan gerak cerita makin lama makin meningkat mendekati pemecahan masalah. Inilah bagian terpanjang dari suatu cerita, sampai akhirnya mencapai klimaks, puncak cerita.[15] Oleh karena itu, semua pokok pikiran dan pesan firman Tuhan yang hendak disampaikan dapat disampaikan pada bagian ini.
Pesan firman Tuhan yang hendak disampaikan tentunya telah melalui proses penafsiran. Proses penafsiran tersebut ada baiknya tidak dijelaskan panjang lebar di dalam khotbah, biarlah itu menjadi proses pengkhotbah dalam mengelola pesan firman Tuhan di ‘dapurnya.’ Apabila memang pengkhotbah merasa proses penafsiran perlu disampaikan maka pengkhotbah harus membuat proses penafsiran itu menjadi bagian dari cerita, tidak terlepas.
Tidak hanya penafsiran yang ada di bagian ini. Aplikasi yang melibatkan kehidupan/pengalaman pendengar pun harus tergambar di dalamnya. Antara pesan firman Tuhan dari hasil penafsiran dengan pengalaman hidup umat harus berkaitan. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat lanjutan dari cerita Andar Ismail tentang “Tersembunyi Ujung Jalan.”
Di tengah perasaan tidak pasti itu, ada sebuah lagu di kapel yang membuat saya sering termenung. Lagu itu kami nyanyikan tiap pagi sebagai lagu respons:
Barangsiapa dipanggil Tuhan
Ke dalam pekerjaan-Nya
Akan melihat tanda heran
Yang sudah diadakan-Nya
Dan meski jalan turun naik
Mengaku jalan Tuhan baik
Haleluya, haleluya!
(NR No. 15, kini KJ No. 9)
Sering saya termenung seusai menyanyikan lagu itu. Apa gerangan arti kata-kata itu. Kita akan melihat tanda heran dalam menjalani hidup ini. Jalan ini nantinya turun naik, namun akhirnya akan baik. Itukah yang akan terjadi pada jalan hidup saya? Apakah tanda heran itu? Dalam hal apa jalan saya akan turun? Dalam hal apa naik?
Ketidakpastian memang merisaukan. Karena itu sebagai salah satu reaksinya kadang-kadang kita selalu bersikap,  “Bagaimana nanti saja.” Seringkali orang mengira bahwa ucapan Yesus tentang tidak berkuatir mengandung sikap “Bagaimana nanti saja.”
(Proses penafsiran dimulai)
Sebenarnya ucapan Tuhan Yesus itu sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Coba perhatikan kalimat selengkapnya, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Mat. 6:34). Perhatikan kalimat “kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”, yang menurut bahasa aslinya (arketon te hemera he kakia autes) bisa juga diterjemahkan menjadi “keburukan untuk sehari adalah cukup” atau “persoalan untuk hari ini pun sudah cukup.” Yang dikatakan oleh Tuhan Yesus di sini adalah agar kita jangan mencoba mengatasi kesusahan masa depan, melainkan agar kita mengatasi kesusahan masa kini. Kalau persoalan hari ini sudah sulit kita tangani, bagaimana kita mau menangani persoalan hari esok.
Ucapan Yesus tentang jangan berkuatir bukan obat tenang yang menyebabkan kita bersikap santai terhadap persoalan, melainkan justru agar kita menangani persoalan, yaitu persoalan hari ini, bukan persoalan hari esok. Sebabnya adalah karena persoalan hari ini ada dalam jangkauan tangan kita sedangkan persoalan hari depan terletak di luar jangkauan kita. Yesus bertanya, “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?” (Mat. 6:27).
(proses penafsiran selesai, dilanjutkan dengan aplikasi)
Karena itu kekuatiran tentang hari esok dapat disalurkan secara sehat dalam bentuk tindakan nyata yang dapat dijangkau pada hari ini. Daripada merisaukan apa nanti kita mempunyai uang untuk biaya sekolah, lebih baik mulai hari ini kita mengatur anggaran belanja secara lebih ketat. Daripada menguatirkan kesehatan kita di kemudian hari, lebih baik hari ini kita berolah raga. Daripada bingung kalau-kalau di musim hujan nanti rumah kita terkena banjir, lebih baik hari ini kita mengajak tetangga membersihkan saluran air got. Itulah “kesusahan sehari yang dapat kita atasi.”
Kalau dipikir, ketidakpastian tentang hari depan ada faedahnya, asalkan perasaan tidak pasti itu disalurkan dalam bentuk perbuatan yang konstruktif. Justru karena ketidakpastian itu, maka hari ini kita bekerja keras menyiapkan diri untuk hari esok. Seandainya kita sudah mengetahui hari depan, mungkin kita menjadi pasif. Seandainya dulu saya tahu bahwa saya akan menjadi dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, mungkin saya akan tenang-tenang saja. Tetapi justru karena saya tidak tahu hari depan, maka saya mengambil tindakan-tindakan nyata: mengikuti pelajaran bahasa Inggris tambahan di Seminari Alkitab Asia Tenggara meskipun di Sekolah Teologi Balewijoto ada pelajaran bagasa Inggris, mengikuti kelompok studi bahasa Yunani dan Ibrani, meminjam diktat pedagogik dari mahasiswa IKIP, bangun lebih pagi, membaca lebih banyak buku, menjadi asisten dosen dan malam hari bekerja sebagai penerjemah buku.[16]

2.2.1.3 Klimaks
Pada titik ini, seluruh masalah yang muncul saat pembukaan mencapai puncaknya. Kadang dalam bagian klimaks juga terkandung penyelesaian masalah. Bagian klimaks disajikan pendek saja karena sebelumnya masalah sudah digumuli secara panjang lebar.[17] Berikut ini klimaks dari kisah “Tersembunyi Ujung Jalan.”
Hari depan memang merisaukan, namun juga mengasyikkan. Kita tidak mengetahui apa hari depan atau ujun jalan kita, tetapi sejak sekarang kita sudah dapat “mewarnainya”. Hari depan bukanlah sesuatu yang akan kita hadapi nanti, melainkan sesuatu yang sedang kita ciptakan sekarang. Daripada berkuatir tentang hari depan, lebih baik hari ini kita berbuat sesuatu. Yesus berkata, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya…” (Mat. 6:33). Artinya: tempatkan diri (termasuk: pikiran dan orientasi) kita di bawah pemerintahan atau kehendak Allah, yaitu taati Allah.
2.2.1.4 Penutup
Ketika cerita mencapai klimaks, semua masalah sudah mencapai puncaknya hingga masalah tersebut dapat teratasi. Teratasi bukan berarti suatu cerita harus selalu happy ending. Teratasi maksudnya konflik yang menjadi pusat dari cerita, yang disampaikan pada pembukaan, dapat dijawab sehingga apabila pada akhir cerita timbul situasi yang baru, umat tahu bagaimana bersikap.
Memang ada cerita yang happy ending, tetapi juga ada cerita yang berakhir tanpa masalah terselesaikan misalnya kisah dalam Lukas 15 tentang anak yang hilang. Anak sulungnya tidak mau masuk untuk mengikuti pesta. Di sini timbul situasi baru. Masalah anak bungsu dengan sang bapa telah selesai, kemudian timbul situasi baru masalah antara anak sulung dengan bapa dan adiknya. Oleh karena itu, Tucker memberikan plot cerita yang diakhiri bukan dengan solusi tetapi dengan situasi baru (situation – stress – search – solution – the new situation).[18]
Khotbah memang bukanlah untuk menjawab semua masalah umat. Umatlah yang harus menjawab permasalahan hidupnya sendiri. Khotbah hanyalah menjadi inspirasi/penuntun umat melakukan sesuatu. Oleh karena itu, khotbah dengan bercerita tidak pernah ditutup dengan saran-saran (“jadi kita harus begini…begitu…”). Khotbah naratif selalu memberikan kesempatan umat untuk ikut ambil bagian dalam melakukan refleksi menentukan sikap apa yang seharusnya mereka lakukan apabila menemui masalah seperti yang diceritakan dalam khotbah tersebut.
Ujung jalan memang masih tersembunyi. Justru karena itu kita menaati ajakan Dia yang sedang berjalan di depan kita sambil mengulurkan tangan-Nya, “Mari, ikutlah Aku.” Mungkin lagu ini dapat memantapkan langkah-langkah kaki kita:
Tersembunyi ujung jalan, hampir atau masih jauh;
‘ku dibimbing tangan Tuhan ke neg’ri yang tak ‘ku tahu
Bapa, ajar aku ikut, apa juga maksud-Mu
Tak bersangsi atau takut, beriman tetap teguh
(KJ. No. 416)
Dalam kisah penutup “Tersembunyi Ujung Jalan” di atas kita mendapati bahwa masalah tentang hari depan tidak terselesaikan begitu saja. Umat tidak diajak untuk meyakini bahwa masa depan itu terjamin. Umat justru diperhadapkan kembali pada situasi baru bahwa ujung jalan memang masih tersembunyi namun lagu yang dikutip tersebut seakan ingin mengatakan bahwa walaupun kita tidak tahu masa depan seperti apa, jangan sangsi atau takut. Mantapkan langkah kaki kita untuk berjalan bersama Tuhan sang Empunya masa depan.
Khotbah naratif memang tidak memberikan kesimpulan yang kesannya memaksa pada bagian penutup. Tapi itu bukan berarti umat dibiarkan begitu saja mengambil refleksi secara bebas tanpa arah. Sesungguhnya mulai dari awal hingga akhir, umat diarahkan kepada suatu kesimpulan yang menjadi tujuan dari khotbah tersebut. Seperti kisah orang Samaria yang baik hati yang disampaikan oleh Yesus, pada akhir khotbahnya Yesus tidak membiarkan para pendengarnya begitu saja untukmengambil kesimpulan sendiri-sendiri dari cerita tersebut.[19] Yesus mengakhiri khotbahnya dengan pertanyaan “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian.” Yesus memberi kesempatan kepada pendengar-Nya untuk mengambil kesimpulan sendiri, namun sesungguhnya kesimpulan yang mereka ambil merupakan kesimpulan juga yang telah diharapkan oleh Yesus. Dari awal cerita hingga pertanyaan penutup sesungguhnya Yesus telah menanamkan pesan tersebut sehingga ketika cerita berakhir, Yesus berharap pesan itulah yang mereka dapat.
Sesungguhnya ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menutup cerita.
a.       Tutup cerita dengan lagu, doa atau kutipan. Dalam lagu, doa atau kutipan tersebut cerita dari awal sampai akhirnya sebenarnya telah disimpulkan. Seperti pada bagian penutup dari kisah “Tersembunyi Ujung Jalan.”
b.      Tutup cerita dengan pertanyaan retoris. Pertanyaan retoris kurang lebih bersifat sugestif dan tajam.[20] Pendengar dipengaruhi untuk mengambil kesimpulan yang sama seperti yang diingini pengkhotbah. Contohnya seperti pertanyaan Yesus untuk mengakhiri cerita tentang anak yang hilang (Luk 10: 36).
c.       Tutup cerita dengan membahas tema cerita. Tema cerita dibahas secara singkat.
Sayang, kita tidak tahu namanya. Ia adalah penolong yang tak dikenal. Ia menjadi salah seorang dari sekian banyak penolong tak dikenal dalam jalan kehidupan ini. Berbahagialah orang yang menjadi penolong. Berbahagialahorang yang penolong walaupun tak dikenal. (Bagian penutup dari kisah “Penolong tak Dikenal”).[21]
d.      Tutup cerita dengan mengulang kembali kata-kata yang menjadi tekanan dalam cerita, yang sebelumnya juga telah diulang-ulang dalam cerita.
Jalan hidup kita memang dihadapkan pada banyak persimpangan “kalau saja”, namun “tangan gaib” memulihkan arah langkah kita ke arah yang terbaik untuk kita.[22]
e.       Tutup cerita dengan menjawab pertanyaan yang diberikan pada pembukaan cerita.
“Aku memang menyukai Ayu, Beti dan Carla, tetapi itu belum berarti bahwa salah seorang di antara mereka adalah jodohku. Biarlah aku bergaul dengan banyak teman lelaki dan perempuan sambil meyakini bahwa Kristus berjalan bersamaku dan pada waktunya nanti Ia akan memantapkan pertimbanganku.[23]
Karya: Nuryanto, S.Si (Teol)


[1] Patricia Griggs, Using Storytelling in Christian Education (Nashville: Abingdon, 1987), hal. 9.
[2] A.L. Simanjuntak, Seni Bercerita: Cara Bercerita Efektif (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008) , hal. 13.
[3] Patricia Griggs, Using Storytelling in Christian Education, hal. 11.
[4] Killinger, Dasar-dasar Khotbah, hal. 101
[5]Andar Ismail, Selamat Berteman: 33 Renungan tentang Hubungan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hal. 36.
[6] Igrea Siswanto, Bercerita itu Gampang, hal. 34.
[7] Andar Ismail, Selamat Mengikut Dia: 33 Renungan tentang Kristus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), hal. 44.
[8] Igrea Siswanto, Bercerita itu Gampang, hal. 35.
[9] Igrea Siswanto, Bercerita itu Gampang, hal. 36.
[10] Andar Ismail, Selamat Mewaris: 33 Renungan tentang Pusaka Hidup (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), hal. 8.
[11] John Killinger, Dasar-dasar Khotbah, hal. 102.
[12] Andar Ismail, Selamat Mengikut Dia: 33 Renungan tentang Kristus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), hal. 99. Kisah “Tersembunyi Ujung Jalan”ini akan diteruskan untuk dibahas pada bagian tubuh cerita.
[13] Andar Ismail, Selamat Mewaris: 33 Renungan tentang Pusaka Hidup, hal. 73.
[14] Patricia Griggs, Using Storytelling in Christian Education, hal.11.
[15] A.L. Simanjuntak, Seni Bercerita, hal. 15.
[16] Andar Ismail, Selamat Mengikut Dia, hal. 99 – 101.
[17] A.L. Simanjuntak, Seni Bercerita, hal. 16 – 17.
[18] Tucker The Preacher, hal. 33.
[19] Tucker, The Preacher, hal. 83.
[20] Dori Wuwur Hendrikus, Retorika: Terampil Berpidato, Berdiskusi, Beragumentasi, Bernegoisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 118.
[21] Andar Ismail, Selamat Mengikut Dia, hal. 47.
[22] Andar Ismail, Selamat Berpulih: 33 Renungan tentang Pemulihan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 63. Kata “kalau saja”telah diulang-ulang dalam bagian pembuka dan isi.
[23] Ibid., hal. 87. Pada pembukaan cerita Andar memberikan pertanyaan, “Aku sedang bingung dan takut. Siapa yang harus ku pilih? Ayu, Beti atau Carla? Tiga-tiganya cakep, cocok dan cinta. Siapa jodohku? Aku takut salah pilih.”

0 komentar:

Posting Komentar

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar