Pages

Rabu, 05 Januari 2011

NATAL YANG BERSAHABAT



DALAM waktu yang agak lama, sekadar mengucapkan "Selamat Natal" bagi kaum Muslim di Indonesia menjadi peristiwa politik. Suatu counter-practice terhadap praktik dominan yang mengharamkan ucapan itu. Sebab di balik ucapan sederhana itu, ada semacam bayangan ketakutan -- mungkin sekadar di kepala para birokrat keagamaan -- kalau-kalau umat melakukan pencampuradukan aqidah. Bukankah mengucapkan "Selamat Natal" juga sekaligus berarti mengakui peristiwa inkarnasi Sabda menjadi manusia?

Itu sebabnya saya sering tercenung dan terharu, setiap kali rekan-rekan Muslim mengucapkan "Selamat Natal" pada saya dan keluarga. Tindakan itu seperti counter-practice terhadap ideologi dominan: suatu kesaksian bahwa jalinan persahabatan menembus, menggerogoti dan sekaligus melintasi sekat-sekat pemisahan dan pembedaan antar-agama yang dijaga mati-matian oleh para birokrat keagamaan maupun rezim kekuasaan. Juga tindakan itu mau melecehkan bayang-bayang ketakutan pada pencampuradukan aqidah. Malah, saya cenderung mendaku, itu adalah tindakan sekularisasi dalam arti yang sesungguhnya. Karena lewat tindakan itu, segala pertimbangan aqidah dilewati: jalinan persahabatan tidak memerlukan aturan-aturan hukum agama yang kerap malah memisahkan, ketimbang menyatukan.

Pengalaman Natal 2010 memberi bentuk konkret pada pendakuan saya itu. Pdt Albertus Patty, sahabat saya di GKI Maulana Yusuf, mengambil inisiatif yang bahkan melampaui segala kemungkinan: suatu ibadah Natal yang sengaja dirancang bersifat antar-agama! Ia mengundang Fariz RM, musikus kondang Bandung, grup qasidahan ar-Rahman, Yanti Kerlip dan Ulil Abshar-Abdalla untuk ikut serta dalam seluruh seluk beluk kebaktian Natal, dan berpartisipasi di dalamnya. Dan ia menyebut ini sebagai "langkah kecil" untuk menyemai kembali benih-benih persahabatan, jalinan cinta kasih dan saling menghormati, yang selama ini makin terkikis dari kehidupan di negara ini.
Boleh jadi, eksperimen GKI Maulana Yusuf bukan yang pertama. Saya tidak tahu persis apakah pernah ada di Indonesia langkah serupa sebelumnya. Namun, yang jelas, apa yang dilakukan GKI Maulana Yusuf akan dikenang sebagai terobosan penting. Dengan langkah itu, ditawarkan cara baru untuk menghayati pengalaman keagamaan: ibadah yang selama ini hanya dapat dibagikan dalam komunitas tertentu kini justru menjadi pintu bagi proses saling berbagi antar-komunitas.

Di situ segala pertimbangan dogmatis dilangkaui. Orang tidak lagi berbicara tentang rumusan-rumusan ajaran yang serba ketat dan kaku mengenai apa itu Natal. Ini hanya sekadar kesibukan para birokrat keagamaan yang mungkin diperlukan, namun jelas tidak memadai. Sebab rumusan-rumusan dogmatis hanyalah penanda-penanda pada proses yang selalu merupakan misteri yang tak terbahasakan. Alih-alih dari itu, pengalaman ibadah-lintas-agama membuka ruang bagi permenungan dan pemahaman teologis yang baru: Justru karena Natal adalah jawaban "Ya" yang radikal dari kasih Allah pada seluruh ciptaan-Nya, maka seyogianya perjumpaan dengan kehadiran Allah dalam Bayi mungil di Nazareth harus menjadi pengalaman bersama yang melintasi sekat-sekat antar-ras, antar-suku, antar-bangsa, antar-kepercayaan, maupun antar-agama. Di situ, lagu Joy to the World dapat berpadu dengan Shalawat Nabi, dan bacaan Injil saling berkelindan dengan renungan Qur'ani. Dalam setiap teks-teks yang dibacakan (atau juga dinyanyikan), kita  menemukan jejak-jejak Sang Misteri yang melangkaui segala upaya pembahasaan, dan mengundang kita menziarahi hidup di dalam ikatan cinta dan persahabatan.

Dan itu semua menantang bukan hanya pemahaman tentang apa arti pengalaman keberagamaan yang umum, tetapi juga apa arti iman, dan apa arti menjadi komunitas beriman yang dipanggil ke luar (gereja). Saya malah menengarai, perspektif teologis yang disibak lewat langkah eksperimental GKI Maulana Yusuf dapat menyumbang penting pada bagaimana memahami Ekumene -- bukan sekadar melintasi batas-batas tembok gerejawi, tetapi menjangkau pada keseluruhan "Oikos" Allah sendiri. Bukankah kita, setidaknya para pewaris tradisi keimanan Abraham, mengaku percaya bahwa kita semua adalah anak-anak Allah yang sedang dalam perjalanan kembali pada-Nya?

Natal 2010 hanyalah titik awal. Tetapi, saya kira, sungguh patut disyukuri karena kemungkinan-kemungkinan yang disibakkan oleh peristiwa itu akan bergema entah sampai kapan. Terima kasih untuk undangan yang memungkinkan saya mengalaminya.

Selamat mengarungi peziarahan baru!

Oleh: Trisno S. Sutanto 

sumber:
http://www.facebook.com/home.php#!/notes/trisno-s-sutanto/natal-2010/48942811800 

Natal yang indah dalam kerukunan. Natal yang merangkul keindahan-keindahan lainnya. namun pertanyaannya, apakah model natal ini adalah model yang tepat dalam menjawab tantangan pluralisme agama? atau masih perlu dikritisi lagi? atau jangan-jangan model ini justru terjebak dalam relativisme dan sinkretisme?

saya tertarik dengan satu komentar dari Martin L. Sinaga


( -Saya tidak tahu apakah penggagas ibadah bersama GKI Maulana sudah lelah dengan dialog Protestan-katolik yang penjang seputar "ibadah-bersama" Perjamuan Kudus itu, sehingga ingin segera memberi pelajaran, yaitu dengan cepat-cepat beribadah dengan teman2 Islam?)

Juga Natal bukan perayaan keluarga besar Abraham -sebab Trisno menyebut ide Abraham ini di akhir tulisannya- (mungkin Yusuf Roni sepaham dengan Trisno sehingga ia menamai komunitasnya sebagai "kemah Abraham", dan ibadah lintas-agama begini sudah jadi kesibukan Kemah itu dimana "beresit bara ha Elohim" disambit dengan "Insyaallah" lalu diselingi panggilan pada Kristus "Junjungan"ku, -jadi langkah GKI Maulana tidak baru-baru amat.)

Bagi saya "Problem" atau skandal Natal ialah ia merayakan Nama Kristus, dan orang diminta bersekutu dalam Nama itu -Nama untuk sebuah tubuh, sebuah sejarah, sebuah peristiwa dimana Yang Terbatas perlu dihargai sebagai Yang Terbatas -namun dari Nama Partikular Yang Terbatas itu diharapkan terbuka realitas ilahi. Tampaknya, setakat ini ibadah Natal ialah peristiwa Terbatas (ia adalah momen ruang dan waktu yang tertentu, dirayakan oleh kelompok tertentu), tapi kiranya dari situ tersibak Yang Tak Terbatas (tentu dalam realitas "Entah" yang kita rindukan itu...).
Sebenarnya Orang Indonesia umumnya membagi dua acara Natal, yang satu Ibadah, yang satu lagi Perayaan. Kan "wsidom" ini tiada taranya agar kita bisa berbagi...Dan seperti saudara muslim kita akan solat Ied dulu lalu mengundang kita halal-bil halal bersantap bersama. Apa ini kurang?!! please deh...


itu adalah pendapatnya, lalu bagaimana dengan Anda?

selamat merenung...


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagi kehidupan harmonis dengan sesama lebih konkret dihayati dalam kehidupan bersama. Berbagi dalam masalah, penderitaan, kesulitan hidup, pengetahuan, ketrampilan, kebijaksanaan dan saling mengasihi tanpa syarat. Seharusnya nilai kerukunan agama dinyatakan bagaimana umat saling mendukung dan membantu saat umat lain mendirikan rumah ibadahnya, saat mereka menghadapi kesulitan kerja, membangun lingkungan yang asri dan aman.

Namun anehnya GKI Maulana Yusuf yang digagas oleh pdt. Albertus Patty mengartikan kerukunan beragama melalui suatu ibadah/ Ibadah yang dimaksud adalah ibadah Natal yang jelas seluruh hati, spiritualitas dan iman jemaat tertuju kepada bayi Kristus sebagai inkarnasi Firman Allah disisipi dengan sholawat nabi yang jelas secara teologis tidak terarah kepada Kristus. Tindakan pdt. Albertus Patty tersebut bukan suatu terobosan, tetapi mengobrak-abrik suatu tatanan ibadah. Pertanyaan yang muncul adalah apakah kerukunan beragama harus ditempuh dengan mengobrak-abrik tatanan ibadah? Kerukunan agama seharusnya diwujudkan melalui spiritualitas yang dijiwai oleh kasih yang diteguhkan dan dimanifestasikan Allah dalam ibadah, di mana Kristus sang sumber kasih Allah berkenan mengejawantahkan diriNya menjadi manusia.

Posting Komentar

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar