Pages

Minggu, 23 Oktober 2016

SAAT ORANG KRISTEN BELAJAR ISLAM

SAAT ORANG KRISTEN BELAJAR ISLAM

Umat islam lulusan dari pesantren, Universitas Islam, bahkan ada juga yang profesor, saat membahas Islam yang berbeda dengan pemahaman organisasi islam seperti HTI, FPI, FUI, MUI dan sejenisnya, akan langsung dianggap ‘ngawur’. Pemahaman mereka akan islam dan alquran dianggap salah dan harus dikaji lagi. Bahkan sampai ada yang diberi label sesat, syiah dan liberal. Melihat peristiwa ini, saya lantas teringat dengan teman saya. Seorang yang beragama Kristen, lulusan sekolah teologi Kristen tapi belajar S2 dan S3 tentang Islam.
Saya penasaran bagaimana dia sebagai orang kristen memaknai proses pembelajarannya tentang Islam secara akademik. Mari simak wawancara saya berikut ini dengan teman saya tersebut. Dia bernama Hans Abdiel Harmakaputra. Wawancara ini dilakukan melalui chat messenger, dengan waktu dan benua yang berbeda. Saya di Jakarta, dia di boston.
Semua percakapan di bawah ini, saya salin sebagaimana aslinya. Saya hanya memperbaiki di bagian teknis, agar lebih enak dibaca. Bahasa wawancaranya juga saya buat dalam percakapan sehari-hari agar pembaca bisa membacanya secara santai sambil menikmati teh bersama dia yang manis.

Saya       : Halo Hans, sebelum melakukan wawancara boleh memberikan latar belakang pendidikannya dulu hans? S1, s2 dan s3 di mana dan jurusan apa?
Hans      : S1: STT Jakarta - teologi
                S2 Hartford Seminary - Islamic Studies and Christian-Muslim Relations
                Sedang S3 di Boston College, Theology Department bidang Comparative Theology

Saya       : Hartford dan Boston apakah 2 universitas tersebut beraliran liberal?

Hans      : Gak ada universitas yang beraliran liberal. Haha. Liberal itu kan pelabelan dari pihak lain. Hartford Seminary itu gak ada denominasi. Dan dia seminary bukan universitas. Boston College itu Jesuit University.

Saya       : Jadi bisa dikatakan, 2 tempat lu belajar Islam itu bukan universitas Islam melainkan seminari dan universitas yang masih dalam payung kekristenan?

Hans      : Betul. Tapi Hartford Seminary bukan seminary pada umumnya karena dia punya program Islamic Caplaincy. Jadi mahasiswa muslim cukup besar prosentasenya. Caplain itu kalau di Indonesia kayak "pendeta rumah sakit" pendeta tentara, pendeta di sekolah, dst
Lalu di Hartsem waktu gue studi ada 5 dosen bidang Islam. 4 orang muslim, 1 Kristen. Jadi bisa dibilang gue belajar dari Muslim. Belajar perspektif Islamic studies secara akademik. Nah kalau di BC memang universitas Katolik. Tapi advisor gue Muslim sih. Gue belajar teologi Kristen juga di sini. Minor di Kristologi
Oh ya, di US gak ada "Universitas Islam"               
Bidang Islamic Studies itu biasa dipelajari di divinity school atau religious studies department (religious studies beda dengan teologi karena perspektif tidak atas iman)

Saya       : Apa yang lu pelajari tentang Islam di sana? Apakah menyentuh tentang tafsir Alquran dan hadits? Atau ada yang lainnya?

Hans      : Waktu S2, belajar Islamic history (sampai pre modern), Islamic theology, Islamic spirituality and mysticism, Shi'a Islam, image of Jesus in Islam and Christianity, perbandingan tema- tema teologis Islam dan Kristen dll.
Pas S3 belajar Quran, hadith, Islamic literature, lalu di Harvard ambil kelas Islam kontemporer, jadi soal politik dan aliran-aliran Islam modern, plus Islam di Barat

Saya       : Soal tafsir Alquran apakah dipelajari juga secara mendalam seperti mempelajari tafsir Alkitab saat S1 teologi?

Hans      : Gak, cuma satu semester soalnya.

Saya       : Dapat dikatakan, lu adalah seorang teolog kristen, tapi kenapa tertarik mengambil bidang Islamologi?

Hans      : Gue sendiri gak sreg sama istilah Islamologi. Di kalangan akademik Islam indonesia juga kan gak bilang islamologi. Gue lebih setuju dengan term Islamic studies karena menyatakan bahwa bidang ilmu itu adalah sebuah bidang ilmu dan artinya bisa dipelajari oleh siapa pun. Teologi juga mestinya demikian. Itu alasan pertama, bahwa yang namanya ilmu pengetahuan itu ya mesti bisa diakses oleh siapapun yg tertarik.
Kedua, gue besar dalam tradisi iman yang bisa dikatakan Injili, sampai SMA. S1 seperti lu tahu masuk STTJ ada transformasi dalam cara berpikir, salah satunya ya soal bagaimana Kristen punya prasangka dan penilaian terhadap agama-agama lain (dan vice versa tentunya) tapi kok gak belajar dari sumber langsung dan kurang ada dialog. Makanya waktu s1 tertarik dengan dialog antar umat beragama. Sering ikut seminar2 di UIN, JIL, dsb.
Tapi kenapa akhirnya ambil Islam sebagai fokus studi sebetulnya sih gak terduga. Gue datang ke Hartford karena tertarik sama kehidupan kampus yang multi-faith, lalu gue pikir bisa belajar interfaith dialogue. Eh pas sampai sana gak ada program master untuk interfaith. Tapi pas lihat-lihat ternyata kampus itu terkenal untuk Islamic Studies dan ada beberapa dosen Islam yang terkenal. Lalu gue pikir, dalam konteks Indonesia kan interfaith ya pastibersinggungan dengan islam jadi kenapa tidak coba aja dalami Islam.
Begitulah awalnya. Dan ternyata cocok.

Saya       :Ilmu islamic studies yang lu pelajari tersebut, kira-kira jika dibawa ke Indonesia akan berguna untuk siapa?

Hans      : Yang pasti buat gue lah. Hahaha
Belajar itu kan sebuah panggilan. Sebelum ilmu itu bisa berguna buat orang lain, ilmu mesti berguna buat perkembangan diri sendiri khususnya buat jiwa masing-masing. Sama kayak hobby lah.
Nah kalau ditanya buat orang lain bagaimana, ya banyak juga manfaatnya. Kalau di pendidikan teologi, masih sedikit orang yang fokus secara serius dalam bidang ini walau sekarang sudah mulai. Misal pendeta yang ambil doktoral dari UIN.
Jadi mudah-mudahan bisa ada perkembangan dalam pendidikan teologi dalam hal studi               Islam.
Kedua, expertise gue juga bermanfaat buat orang muslim juga. Misalnya gue published penelitian di jurnal Islam Indonesia udah beberapa. Nah itu berarti turut berkontribusi dalam diskursus Islamic studies di Indonesia
Ketiga, ya mudah-mudahan bisa menjadi jembatan sih. Menerangkan Islam secara lebih baik dan tepat kepada yang Kristen dan vice versa (sebaliknya). Syukur-syukur bisa menarik minat teman-teman Muslim untuk belajar kekristenan juga.

Saya       : Artikel ilmiah lu yang berkaitan dengan studi Islam, sudah berapa yang diterbitkan di jurnal ilmiah? Kalo inget boleh juga ditulis judulnya hans...

Hans      : Bisa lihat di sini http://bc.academia.edu/HansHarmakaputra
Ada yg bertema Islam Kristen dan terbit di jurnal kristen. Ada juga yang topik Islamic studies dan terbit di jurnal islam
Ada 3 yang terbit di jurnal Islam Indonesia: 1. Becoming Perfect Human di Ulumuna -  IAIN Mataram, 2. Discerning motives di Miqot - UIN Sumut, 3. Post Islamism di al-Jamia - UIN Sunan Kalijaga Jogja

Saya       : Kita kembali lagi ke bagian kegunaan studi lu yah hans. gue tertarik dengan alasan ketiga lu. Itu artinya kepada rekan kristen lu akan menyampaikan seperti apa Islam itu, sedangkan kepada rekan Islam, lu menyampaikan seperti apa kristen itu? Jadi tidak menjelaskan kepada rekan Islam seperti apa Islam itu, misalnya mengenai tafsir yang ramah kepada teman-teman Islam yang radikal?

Hans      :Tidak ada jawaban tunggal tentang Islam. Kalau kita lihat kasus Ahok dan Al Maida misalnya, sebetulnya gak tepat juga Ahok bilang dibohongi karena yang namanya penafsiran itu ya ada soal salah benar atau masih relevan atau tidak relevan. Sama kayak kalau di Kristen ada gereja-gereja yang tolak pendeta perempuan karena penafsiran terhadap Alkitab. Nah kita gak bisa bilang mereka bohongin umat kristen, tapi kita bisa ajukan tafsir lain yang menunjukkan bahwa penafsiran mereka tidak akurat atau tidak relevan.
Kalau soal menjadi jembatan, beberapa kali gue alami bahwa untuk menjelaskan Islam kepada orang Kristen ya perlu tahu kekristenan juga jadi bisa kasih analogi yang pas. Dan sebaliknya ke Islam menjelaskan Kristen lebih mudah ketika cari padanan di islam.

Saya       : Apakah lu juga berminat untuk mengajukan tafsir yang lain kepada teman-teman muslim yang radikal atau tetap membiarkan saja mereka dengan pilihan tafsirnya yang mungkin saja bisa mengganggu keharmonisan beragama dan bernegara?

Hans      : Gue sendiri gak melihat diri gue sebagai public intellectual atau mungkin belum. Gue dilatih sebagai akademisi dan teolog. Masing-masing punya ranah sendiri dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kalau soal minat pasti punya minat, apakah mampu? Sepertinya enggak. Untuk tafsir perlu punya metode khusus seperti penguasaan bahasa Arab yang mumpuni, tahu tradisi tafsir, dll. Beda dengan protestan yang kadang sekarep dewe dengan dalih dituntun Roh Kudus. Hehe.
Nah masalahnya dengan yang lu bilang radikal itu punya otoritas yang berbeda dengan ulama tradisional, makanya gak mau tunduk sama tafsiran NU misalnya. Jadi memang tidak mudah. Ini soal otoritas

Saya       : Haha sebenarnya kan kristen juga tafsir ga bisa seenaknya. Ada pengkajian secara gramatikal, historis, dsb.
Nah balik lagi, berarti studi lu ini nanti diarahkan hanya kepada umat kristen dan umat Islam yang sepaham?

Hans      : Ya ketika lu bilang 'seenaknya' itu kan tergantung dari tradisi mana lu berpijak. Sama ketika lu menilai mana Islam yang 'radikal' mana yang 'moderat' hehhee
Gak juga, studi gue ini akademis. Diarahkan kepada komunitas akademis.
Akademis itu ya bisa sepaham bisa juga enggak.

Saya       : Umat islam yang lulusan dari pesantren, Universitas Islam, bahkan ada juga yang profesor, saat membahas Islam yang berbeda dengan pemahaman organisasi islam seperti HTI, FPI, FUI, MUI dan sejenisnya, akan langsung dianggap ‘ngawur’. Pemahaman mereka akan islam dan alquran dianggap salah dan harus dikaji lagi. Bahkan sampai ada yang diberi label sesat, syiah dan liberal.
Nah lu sendiri bisa dibilang jauh berbeda dengan mereka. Bukan orang Islam, tidak belajar Islam di universitas Islam, bahkan tidak mengkaji tafsir juga secara mendalam. Mungkin saja tulisan lu tentang Islam, atau pendapat-pendapatlu tentang Islam tidak dianggap oleh mereka. Jika seperti itu, apakah lu merasa ilmu lu menjadi tidak terlalu berguna atau lu merasa sebaliknya? Mengingat banyaknya Islam radikal yang mulai menjamur di Indonesia.

Hans      : Enggaklah. Kalau gue merasa gak berguna ya ngapain dikerjakan capek-capek. Hehe.
Orang menjadi radikal itu ada berbagai sebab dan menurut gue tugas akademisi atau orang yang bergumul dengan pendidikan ya mengikuti panggilan hati dan dengan jujur menyatakan apa yang ia anggap benar. Dengan begitu diskursus bisa berjalan, termasuk di masyarakat.
Untuk FPI misalnya, ada buku yang berjudul 'Hitam Putih FPI' ditulis sebagai tesis oleh mahasiswa UGM. Di situ dijelaskan seluk belum FPI secara antropologis dan sosiologis. Itu contoh karya akademis. Mungkin tidak memberi jawaban yang diinginkan orang tapi bergumul dengan fenomena tertentu.
Lalu tulisan gue tentang post islamisme juga membaca fenomena yang berkembang. Apakah itu memuaskan yg radikal? Mungkin enggak, mungkin malah baca aja enggak.
Tapi ilmuwan tidak bisa bekerja sepenuhnya karena alasan pragmatis dan berharap semua orang bisa mengerti.
Beda sama pendeta atau motivator. Hehe

Saya       : Dalam surat Al Kafirun, ada tertulis “Lakum Diinukum wa Liya Diin”, Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. Apakah saat lu menulis atau membahas tentang Islam, lu ga takut dianggap mencampuri urusan agama lain?

Hans      : Menarik lu bawa ayat itu karena sebetulnya ayat itu bisa dibaca sebagai sesuatu yang negatif yakni pemisahan, seperti Yesus menyuruh murid-murid untuk mengebaskan jubah dari tempat yang gak menerima mereka. Surat itu kan bunyinya begini: Hai orang-orang kafir! Aku tidak menyembah yang kamu sembah. Dan kamu tidak menyembah yang aku sembah. Untukku agamaku dan untukmu agamamu. Menariknya di Indonesia itu malah dipakai secara positif oleh umat Muslim untuk menghargai batas-batas umat beragama di Indonesia.
Nah di situ bedanya posisi akademisi atau ilmuwan. Gue tidak berpretensi untuk mengajari Muslim atau mencampuri agama mereka. Gue gak memberi tahu penafsiran yang benar, tapi memperlihatkan ragam penafsiran dalam konteks historis yang berbeda-beda.
Dan bidang gue sebetulnya jauh dari tafsir Quran sebetulnya. Haha. Lebih ke kajian teologi dan mistisisme.
Islamic studies di lingkungan akademik Indonesia cukup bagus. Mereka terima pandangan scholar-scholar non Muslim yang bidangnya Islam seperti Robert Hefner, Martin Van Bruneissen dan banyak lainnya. Karena dianggap sebagai rekan ilmuwan.

Saya       : Wah menarik nih. Mengenai surat al kafirun tadi, apakah lu ada tulisan yang membahas hal tersebut? Jika tidak ada bagaimana tanggapan lu tentang surat yang bernada negatif tapi dipakai secara positif, bersyukurkah atau justru cemas?
Lah kok jadi nanya lagi... hahahaha, maaf hans.
Dan satu lagi, entah kenapa, ini menurut gue yah. Islam yang hanya berkutat di lingkungan akademik itu, tidak menyentuh akar rumput. Terbukti dengan banyaknya cendekiawan muslim yang membahas tentang tafsir quran tetapi ditolak mentak-mentah oleh masyarakat pengikut Islam radikal tersebut. Seakan-akan diskursus kalian selama ini tidak memberikan sumbangsih apapun terhadap pemikiran mereka. Itu menurut gue aja hans.

Hans      : Gak ada, itu berdasarkan pengamatan pribadi aja. Buat gue penafsiran itu dinamis dan teks selalu terbuka. Ada banyak hal yang ada di Islam Indonesia tapi gak ada di tempat lain. Walau selalu ada kontinuitas, tapi selalu ada transformasi.
Sebetulnya fenomena islam yang lu sebut radikal itu kan mulai menguat pasca Reformasi dan justru itu berkembang karena faktor-faktor selain agama.
Suharto yang menindas kaum Muslim dalam berbagai bentuk dan memaksakan Pancasila sebetulnya malah mencederai pluralitas.
Makanya sekarang kita berada dalam era yang tampaknya mengerikan dengan semakin               banyak penafsiran yang radikal. Tapi sering luput melihat kenapa mereka pakai penafsiran yang begitu bukan yang ramah.
Kalau soal menyentuh akar rumput atau tidak itu selalu akan ada kekurangan. Selain NU, yang moderat kan Muhammadiyah, itu gerakan yang sangat akademis. NU juga sejak beberapa puluh tahun lalu mulai akademis. Cek misalnya tulisan-tulisan Sumanto Al-Qurtuby, dia itu orang akademis tapi dengan sadar menyasar publik luas dan berhasil. Atau Mun'im Sirry.
Kalau soal ditolak atau diterima itu faktor lain. Sama kayak kenapa mahasiswa STTJ mayoritas tolak penafsiran ala Pariadji. Haha
Ada titik tolak berbeda, kepentingan yang berbeda, peer pressure, atau bisa juga secara              personal belum dapat hidayah.
Kasus Ahok misalnya, gue ada teman lulusan PhD dari US dan seorang Muslim. Dia dukung Anies Baswedan tapi secara proporsional. Pas dia bikin tulisan yang kritik umat islam yang salah paham terhadap Ahok, dia malah dibully abis-abisan.
Keliatan bagaimana kebanyakan yang posisi 'radikal' itu sebetulnya kurang belajar. Mungkin sepintas kayak yang dia lakukan sebagai PhD gak berguna buat akar rumput.
Tapi ya itulah jihad yang sebenarnya.
Berusaha...striving. Dan dari komen-komen ada juga yang merasa perspektif dia benar. Jadi di situ dia sudah memberi dampak pada akar rumput. Tapi proses diskursus sosial itu memang panjang. Di Eropa atau US aja yg katanya maju tetep kaum radikal sekular dan Kristen ada. Hehe

Saya       : Ini kalo dilanjutkan bukan jadinya wawancara tapi diskusi. Haha. Jadi gue hentikan saja sampai di sini.
Tapi sebelum itu, apakah dalam jurnal yang pernah lu tulis ada pembahasan tentang Islam radikal pasca reformasi? Jika ada boleh minta linknya?

Hans      : Kalau yang gue tulis sih gak ada, orang lain ada pastinya. Term Islam radikal itu sebetulnya gak banyak digunakan karena itu pelabelan dari Amerika ke yang mereka gak disuka. Hehe. Di tulisan gue yang post Islamisme ada soal kontroversi Ahok dan FPI tahun 2014 lalu serta perubahan retorika PKS, link di academia.edu

Saya       : Oke hans. Terimakasih banyak. Maaf telah menunda waktu tidurnya. Assalammualaikum.

Hans      : Sip. Semoga membantu. Waalaikumsalam

Pewawancara    : Nuryanto Gracia, Jakarta, 24 Oktober 2016, 08.45-10.36
Narasumber       : Hans Abdiel Harmakaputra, Boston, 24 Oktober 2016, 21.45-23.36


0 komentar:

Posting Komentar

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar