SAAT ORANG KRISTEN
BELAJAR ISLAM
Umat islam lulusan dari pesantren, Universitas Islam, bahkan
ada juga yang profesor, saat membahas Islam yang berbeda dengan pemahaman
organisasi islam seperti HTI, FPI, FUI, MUI dan sejenisnya, akan langsung
dianggap ‘ngawur’. Pemahaman mereka akan islam dan alquran dianggap salah dan
harus dikaji lagi. Bahkan sampai ada yang diberi label sesat, syiah dan
liberal. Melihat peristiwa ini, saya lantas teringat dengan teman saya. Seorang
yang beragama Kristen, lulusan sekolah teologi Kristen tapi belajar S2 dan S3
tentang Islam.
Saya penasaran bagaimana dia sebagai orang kristen memaknai proses
pembelajarannya tentang Islam secara akademik. Mari simak wawancara saya
berikut ini dengan teman saya tersebut. Dia bernama Hans Abdiel Harmakaputra.
Wawancara ini dilakukan melalui chat messenger, dengan waktu dan benua yang
berbeda. Saya di Jakarta, dia di boston.
Semua percakapan di bawah ini, saya salin sebagaimana
aslinya. Saya hanya memperbaiki di bagian teknis, agar lebih enak dibaca. Bahasa
wawancaranya juga saya buat dalam percakapan sehari-hari agar pembaca bisa
membacanya secara santai sambil menikmati teh bersama dia yang manis.
Saya : Halo Hans,
sebelum melakukan wawancara boleh memberikan latar belakang pendidikannya
dulu hans? S1, s2 dan s3 di mana dan jurusan apa?
Hans : S1: STT
Jakarta - teologi
S2
Hartford Seminary - Islamic Studies and Christian-Muslim Relations
Sedang
S3 di Boston College, Theology Department bidang Comparative Theology
Saya : Hartford
dan Boston apakah 2 universitas tersebut beraliran liberal?
Hans : Gak ada
universitas yang beraliran liberal. Haha. Liberal itu kan pelabelan dari pihak
lain. Hartford Seminary itu gak ada denominasi. Dan dia seminary bukan universitas.
Boston College itu Jesuit University.
Saya : Jadi bisa dikatakan,
2 tempat lu belajar Islam itu bukan universitas Islam melainkan seminari dan
universitas yang masih dalam payung kekristenan?
Hans : Betul. Tapi
Hartford Seminary bukan seminary pada umumnya karena dia punya program Islamic
Caplaincy. Jadi mahasiswa muslim cukup besar prosentasenya. Caplain itu kalau
di Indonesia kayak "pendeta rumah sakit" pendeta tentara, pendeta di
sekolah, dst
Lalu di Hartsem waktu gue studi ada 5 dosen bidang Islam. 4
orang muslim, 1 Kristen. Jadi bisa dibilang gue belajar dari Muslim. Belajar perspektif
Islamic studies secara akademik. Nah kalau di BC memang universitas Katolik.
Tapi advisor gue Muslim sih. Gue belajar teologi Kristen juga di sini. Minor di
Kristologi
Oh ya, di US gak ada "Universitas Islam"
Bidang Islamic Studies itu biasa dipelajari di divinity
school atau religious studies department (religious studies beda dengan teologi
karena perspektif tidak atas iman)
Saya : Apa yang
lu pelajari tentang Islam di sana? Apakah menyentuh tentang tafsir Alquran dan
hadits? Atau ada yang lainnya?
Hans : Waktu S2,
belajar Islamic history (sampai pre modern), Islamic theology, Islamic
spirituality and mysticism, Shi'a Islam, image of Jesus in Islam and
Christianity, perbandingan tema- tema
teologis Islam dan Kristen dll.
Pas S3 belajar Quran, hadith, Islamic literature, lalu di
Harvard ambil kelas Islam kontemporer,
jadi soal politik dan aliran-aliran Islam modern, plus Islam di Barat
Saya : Soal
tafsir Alquran apakah dipelajari juga secara mendalam seperti mempelajari
tafsir Alkitab saat S1 teologi?
Hans : Gak, cuma
satu semester soalnya.
Saya : Dapat
dikatakan, lu adalah seorang teolog kristen, tapi kenapa tertarik mengambil
bidang Islamologi?
Hans : Gue sendiri
gak sreg sama istilah Islamologi. Di kalangan akademik Islam indonesia juga kan
gak bilang islamologi. Gue lebih setuju dengan term Islamic studies karena
menyatakan bahwa bidang ilmu itu adalah sebuah bidang ilmu dan artinya bisa
dipelajari oleh siapa pun. Teologi juga mestinya demikian. Itu alasan pertama,
bahwa yang namanya ilmu pengetahuan itu ya mesti bisa diakses oleh siapapun yg
tertarik.
Kedua, gue besar dalam tradisi iman yang bisa dikatakan Injili,
sampai SMA. S1 seperti lu tahu masuk STTJ ada transformasi dalam cara berpikir,
salah satunya ya soal bagaimana Kristen punya prasangka dan penilaian terhadap
agama-agama lain (dan vice versa tentunya) tapi kok gak belajar dari sumber
langsung dan kurang ada dialog. Makanya waktu s1 tertarik dengan dialog antar
umat beragama. Sering ikut seminar2 di UIN, JIL, dsb.
Tapi kenapa akhirnya ambil Islam sebagai fokus studi
sebetulnya sih gak terduga. Gue datang ke Hartford karena tertarik sama
kehidupan kampus yang multi-faith, lalu gue pikir bisa belajar interfaith
dialogue. Eh pas sampai sana gak ada program master untuk interfaith. Tapi pas
lihat-lihat ternyata kampus itu terkenal untuk Islamic Studies dan ada beberapa
dosen Islam yang terkenal. Lalu gue pikir, dalam konteks Indonesia kan
interfaith ya pastibersinggungan dengan islam jadi kenapa tidak coba aja dalami
Islam.
Begitulah awalnya. Dan ternyata cocok.
Saya :Ilmu
islamic studies yang lu pelajari tersebut, kira-kira jika dibawa ke Indonesia
akan berguna untuk siapa?
Hans : Yang pasti
buat gue lah. Hahaha
Belajar itu kan sebuah panggilan. Sebelum ilmu itu bisa
berguna buat orang lain, ilmu mesti berguna buat perkembangan diri sendiri
khususnya buat jiwa masing-masing. Sama kayak hobby lah.
Nah kalau ditanya buat orang lain bagaimana, ya banyak juga
manfaatnya. Kalau di pendidikan teologi, masih sedikit orang yang fokus secara
serius dalam bidang ini walau sekarang sudah mulai. Misal pendeta yang ambil
doktoral dari UIN.
Jadi mudah-mudahan bisa ada perkembangan dalam pendidikan
teologi dalam hal studi Islam.
Kedua, expertise gue juga bermanfaat buat orang muslim juga.
Misalnya gue published penelitian di jurnal Islam Indonesia udah beberapa. Nah
itu berarti turut berkontribusi dalam diskursus
Islamic studies di Indonesia
Ketiga, ya mudah-mudahan bisa menjadi jembatan sih.
Menerangkan Islam secara lebih baik dan tepat kepada yang Kristen dan vice
versa (sebaliknya). Syukur-syukur bisa menarik minat teman-teman Muslim untuk
belajar kekristenan juga.
Saya : Artikel
ilmiah lu yang berkaitan dengan studi Islam, sudah berapa yang diterbitkan di
jurnal ilmiah? Kalo inget boleh juga ditulis judulnya hans...
Hans : Bisa lihat
di sini http://bc.academia.edu/HansHarmakaputra
Ada yg bertema Islam Kristen dan terbit di jurnal kristen.
Ada juga yang topik Islamic studies dan terbit di jurnal islam
Ada 3 yang terbit di jurnal Islam Indonesia: 1. Becoming
Perfect Human di Ulumuna - IAIN Mataram, 2. Discerning motives di Miqot - UIN
Sumut, 3. Post Islamism di al-Jamia - UIN Sunan Kalijaga Jogja
Saya : Kita
kembali lagi ke bagian kegunaan studi lu yah hans. gue tertarik dengan alasan
ketiga lu. Itu artinya kepada rekan kristen lu akan menyampaikan seperti apa Islam
itu, sedangkan kepada rekan Islam, lu menyampaikan seperti apa kristen itu? Jadi
tidak menjelaskan kepada rekan Islam seperti apa Islam itu, misalnya mengenai
tafsir yang ramah kepada teman-teman Islam yang radikal?
Hans :Tidak ada
jawaban tunggal tentang Islam. Kalau kita lihat kasus Ahok dan Al Maida
misalnya, sebetulnya gak tepat juga Ahok bilang dibohongi karena yang namanya
penafsiran itu ya ada soal salah benar atau masih relevan atau tidak relevan.
Sama kayak kalau di Kristen ada gereja-gereja yang tolak pendeta perempuan
karena penafsiran terhadap Alkitab. Nah kita gak bisa bilang mereka bohongin
umat kristen, tapi kita bisa ajukan tafsir lain yang menunjukkan bahwa
penafsiran mereka tidak akurat atau tidak relevan.
Kalau soal menjadi jembatan, beberapa kali gue alami bahwa
untuk menjelaskan Islam kepada orang Kristen ya perlu tahu kekristenan juga
jadi bisa kasih analogi yang pas. Dan sebaliknya ke Islam menjelaskan Kristen
lebih mudah ketika cari padanan di islam.
Saya : Apakah lu
juga berminat untuk mengajukan tafsir yang lain kepada teman-teman muslim yang
radikal atau tetap membiarkan saja mereka dengan pilihan tafsirnya yang mungkin
saja bisa mengganggu keharmonisan beragama dan bernegara?
Hans : Gue sendiri
gak melihat diri gue sebagai public intellectual atau mungkin belum. Gue
dilatih sebagai akademisi dan teolog. Masing-masing punya ranah sendiri dengan
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kalau soal minat pasti punya minat,
apakah mampu? Sepertinya enggak. Untuk tafsir perlu punya metode khusus seperti
penguasaan bahasa Arab yang mumpuni, tahu tradisi tafsir, dll. Beda dengan
protestan yang kadang sekarep dewe dengan dalih dituntun Roh Kudus. Hehe.
Nah masalahnya dengan yang lu bilang radikal itu punya
otoritas yang berbeda dengan ulama tradisional, makanya gak mau tunduk sama
tafsiran NU misalnya. Jadi memang tidak mudah. Ini soal otoritas
Saya : Haha
sebenarnya kan kristen juga tafsir ga bisa seenaknya. Ada pengkajian secara
gramatikal, historis, dsb.
Nah balik lagi, berarti studi lu ini nanti diarahkan hanya
kepada umat kristen dan umat Islam yang sepaham?
Hans : Ya ketika lu
bilang 'seenaknya' itu kan tergantung dari tradisi mana lu berpijak. Sama
ketika lu menilai mana Islam yang 'radikal' mana yang 'moderat' hehhee
Gak juga, studi gue ini akademis. Diarahkan kepada komunitas
akademis.
Akademis itu ya bisa sepaham bisa juga enggak.
Saya : Umat islam
yang lulusan dari pesantren, Universitas Islam, bahkan ada juga yang profesor,
saat membahas Islam yang berbeda dengan pemahaman organisasi islam seperti HTI,
FPI, FUI, MUI dan sejenisnya, akan langsung dianggap ‘ngawur’. Pemahaman mereka
akan islam dan alquran dianggap salah dan harus dikaji lagi. Bahkan sampai ada
yang diberi label sesat, syiah
dan liberal.
Nah lu sendiri bisa dibilang jauh berbeda dengan mereka.
Bukan orang Islam, tidak belajar Islam di universitas Islam, bahkan tidak
mengkaji tafsir juga secara mendalam. Mungkin saja tulisan lu tentang Islam,
atau pendapat-pendapatlu tentang Islam tidak dianggap oleh mereka. Jika seperti
itu, apakah lu merasa ilmu lu menjadi tidak terlalu berguna atau lu merasa
sebaliknya? Mengingat banyaknya Islam radikal yang mulai menjamur di Indonesia.
Hans : Enggaklah.
Kalau gue merasa gak berguna ya ngapain dikerjakan capek-capek. Hehe.
Orang menjadi radikal itu ada berbagai sebab dan menurut gue
tugas akademisi atau orang yang bergumul dengan pendidikan ya mengikuti
panggilan hati dan dengan jujur menyatakan apa yang ia anggap benar. Dengan
begitu diskursus bisa berjalan, termasuk di masyarakat.
Untuk FPI misalnya, ada buku yang berjudul 'Hitam Putih FPI'
ditulis sebagai tesis oleh mahasiswa UGM. Di situ dijelaskan seluk belum FPI
secara antropologis dan sosiologis. Itu contoh karya akademis. Mungkin tidak
memberi jawaban yang diinginkan orang tapi bergumul
dengan fenomena tertentu.
Lalu tulisan gue tentang post islamisme juga membaca
fenomena yang berkembang. Apakah itu memuaskan yg radikal? Mungkin enggak,
mungkin malah baca aja enggak.
Tapi ilmuwan tidak bisa bekerja sepenuhnya karena alasan
pragmatis dan berharap semua orang bisa mengerti.
Beda sama pendeta atau motivator. Hehe
Saya : Dalam surat
Al Kafirun, ada tertulis “Lakum
Diinukum wa Liya Diin”, Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. Apakah
saat lu menulis atau membahas tentang Islam, lu ga takut dianggap mencampuri
urusan agama lain?
Hans : Menarik lu
bawa ayat itu karena sebetulnya ayat itu bisa dibaca sebagai sesuatu yang
negatif yakni pemisahan, seperti Yesus menyuruh murid-murid untuk mengebaskan
jubah dari tempat yang gak menerima mereka. Surat itu kan bunyinya begini: Hai
orang-orang kafir! Aku tidak menyembah yang kamu sembah. Dan kamu tidak
menyembah yang aku sembah. Untukku
agamaku dan untukmu agamamu. Menariknya di Indonesia itu malah dipakai secara
positif oleh umat Muslim untuk menghargai batas-batas umat beragama di Indonesia.
Nah di situ bedanya posisi akademisi atau ilmuwan. Gue tidak
berpretensi untuk mengajari Muslim atau mencampuri agama mereka. Gue gak
memberi tahu penafsiran yang benar, tapi memperlihatkan ragam penafsiran dalam
konteks historis yang berbeda-beda.
Dan bidang gue sebetulnya jauh dari tafsir Quran sebetulnya.
Haha. Lebih ke kajian teologi dan mistisisme.
Islamic studies di lingkungan akademik Indonesia cukup
bagus. Mereka terima pandangan scholar-scholar non Muslim yang bidangnya Islam
seperti Robert Hefner, Martin Van Bruneissen dan banyak lainnya. Karena
dianggap sebagai rekan ilmuwan.
Saya : Wah
menarik nih. Mengenai surat al kafirun tadi, apakah lu ada tulisan yang
membahas hal tersebut? Jika tidak ada bagaimana tanggapan lu tentang surat yang
bernada negatif tapi dipakai secara positif, bersyukurkah atau justru cemas?
Lah kok jadi nanya lagi... hahahaha, maaf hans.
Dan satu lagi, entah kenapa, ini menurut gue yah. Islam yang
hanya berkutat di lingkungan akademik itu, tidak menyentuh akar rumput.
Terbukti dengan banyaknya cendekiawan muslim yang membahas tentang tafsir quran
tetapi ditolak mentak-mentah oleh masyarakat pengikut Islam radikal tersebut.
Seakan-akan diskursus kalian selama ini tidak memberikan sumbangsih apapun
terhadap pemikiran mereka. Itu menurut gue aja hans.
Hans : Gak ada,
itu berdasarkan pengamatan pribadi aja. Buat gue penafsiran itu dinamis dan
teks selalu terbuka. Ada banyak hal yang ada di Islam Indonesia tapi gak ada di
tempat lain. Walau selalu ada kontinuitas, tapi selalu ada transformasi.
Sebetulnya fenomena islam yang lu sebut radikal itu kan
mulai menguat pasca Reformasi dan justru itu berkembang karena faktor-faktor
selain agama.
Suharto yang menindas kaum Muslim dalam berbagai bentuk dan
memaksakan Pancasila sebetulnya malah mencederai pluralitas.
Makanya sekarang kita berada dalam era yang tampaknya
mengerikan dengan semakin banyak
penafsiran yang radikal. Tapi sering luput melihat kenapa mereka pakai
penafsiran yang begitu bukan yang ramah.
Kalau soal menyentuh akar rumput atau tidak itu selalu akan
ada kekurangan. Selain NU, yang moderat kan Muhammadiyah, itu gerakan yang
sangat akademis. NU juga sejak beberapa
puluh tahun lalu mulai akademis. Cek misalnya tulisan-tulisan Sumanto
Al-Qurtuby, dia itu orang akademis tapi dengan sadar menyasar publik luas dan
berhasil. Atau Mun'im Sirry.
Kalau soal ditolak atau diterima itu faktor lain. Sama kayak
kenapa mahasiswa STTJ mayoritas tolak penafsiran ala Pariadji. Haha
Ada titik tolak berbeda, kepentingan yang berbeda, peer
pressure, atau bisa juga secara personal
belum dapat hidayah.
Kasus Ahok misalnya, gue ada teman lulusan PhD dari US dan
seorang Muslim. Dia dukung Anies Baswedan tapi secara proporsional. Pas dia
bikin tulisan yang kritik umat islam yang salah paham terhadap Ahok, dia malah
dibully abis-abisan.
Keliatan bagaimana kebanyakan yang posisi 'radikal' itu
sebetulnya kurang belajar. Mungkin sepintas kayak yang dia lakukan sebagai PhD
gak berguna buat akar rumput.
Tapi ya itulah jihad yang sebenarnya.
Berusaha...striving. Dan dari komen-komen ada juga yang
merasa perspektif dia benar. Jadi di situ dia sudah memberi dampak pada akar
rumput. Tapi proses diskursus sosial itu memang panjang. Di Eropa atau US aja
yg katanya maju tetep kaum radikal sekular dan Kristen ada. Hehe
Saya : Ini kalo
dilanjutkan bukan jadinya wawancara tapi diskusi. Haha. Jadi gue hentikan saja
sampai di sini.
Tapi sebelum itu, apakah dalam jurnal yang pernah lu tulis
ada pembahasan tentang Islam radikal pasca reformasi? Jika ada boleh minta linknya?
Hans : Kalau yang gue
tulis sih gak ada, orang lain ada pastinya. Term Islam radikal itu sebetulnya
gak banyak digunakan karena itu pelabelan dari Amerika ke yang mereka gak disuka.
Hehe. Di tulisan gue yang post Islamisme ada soal kontroversi Ahok dan FPI
tahun 2014 lalu serta perubahan retorika PKS, link di academia.edu
Saya : Oke hans.
Terimakasih banyak. Maaf telah menunda waktu tidurnya. Assalammualaikum.
Hans : Sip. Semoga
membantu. Waalaikumsalam
Pewawancara : Nuryanto
Gracia, Jakarta, 24 Oktober 2016, 08.45-10.36
Narasumber : Hans
Abdiel Harmakaputra, Boston, 24 Oktober 2016, 21.45-23.36