Pages

Rabu, 17 April 2024

BUNUH DIRI, APAKAH SALAH?

BUNUH DIRI, APAKAH SALAH?

Banyak di antara kita merasa bahwa bunuh diri perlu dicegah. Tapi kenapa bunuh diri perlu dicegah jika penyebabnya tidak bisa dicegah? 

Bahkan kita peduli dengan mereka saja tidak, kita hanya peduli saat mereka ingin bunuh diri. Namun apakah kita peduli saat mereka ingin hidup? Tidak. 

Saat mereka teriak, "Aku ingin mati." Kita berbondong-bondong mencegahnya. Tapi saat mereka berteriak "Aku ingin hidup, tolong bantu aku." Kita tidak peduli karena kita merasa bahwa kita sendiri pun punya masalah yang harus diselesaikan. 

Bahkan ada yang teriak depresi, mau bunuh diri, di sosial media atau di real life, kita jadikan bahan olokan. Kita anggap mereka hanya orang-orang caper. 

Maka, kenapa kita melarang mereka untuk menyerah di saat tidak ada lagi harapan? Mungkin kalian bisa menolongnya hari ini, bagaimana dengan hari-hari mereka berikutnya? Hidup mereka akan menjadi urusan mereka sendiri, kan? Maka biarlah, kematian mereka juga menjadi urusan mereka sendiri. 

Biarlah kami menyerah, saat kami merasa memang sudah tiba di titik di mana kami tidak bisa lagi lanjut. 

Untuk kalian yang masih bertahan hingga hari ini, izinkan saya memberi apresiasi, "Kamu luar biasa. Kamu sudah melakukan hal terbaik yang bisa kamu lakukan."

Saya pernah menulis beberapa tulisan tentang bunuh diri. Bisa dibaca di bawah ini. 

A. BUNUH DIRI DAN PARA ORANG HEBAT

Dalam kitab suci umat kristen setidaknya saya menemukan 2 kisah tentang betapa frustasinya nabi yang dipilih Tuhan. Saking frustasinya mereka memilih untuk mati daripada hidup.

Yang pertama adalah kisah Nabi Yunus.

Yunus 4:3
Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.

Yang kedua adalah kisah nabi Elia

1 Raja-raja 19:4 
Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku."

Mari kita fokus ke satu kisah saja yaitu Elia. Tahukah kita betapa hebatnya Elia? Bisa jadi jauh lebih hebat dari kita yang sekarang merasa tidak mungkin bunuh diri. Kenapa?

Elia seorang diri melawan 450 orang nabi baal. Kita melawan 10 orang saja mungkin sudah ketakutan.

1 Raja-raja 18:22 Lalu Elia berkata kepada rakyat itu: "Hanya aku seorang diri yang tinggal sebagai nabi TUHAN, padahal nabi-nabi Baal itu ada empat ratus lima puluh orang banyaknya. 

Tapi Elia yang luar biasa itu pun akhirnya terseok-seok. Dia terjatuh dalam depresi dan keinginan untuk mati. Tidak ada jaminan orang hebat akan selamanya hebat, dan orang kuat tidak selamanya tak kepikiran untuk mati. Mungkin saja saat ini kita belum tertimpa masalah seberat mereka yang memutuskan untuk bunuh diri. Berat dan kecil setiap masalah memang relatif. Ada yang diputusin pacar rasanya berat, ada yang diputusin strap CSM kamen ridernya udah terasa berat. Setiap orang punya badainya sendiri.

Kita tidak pernah tahu kapan kita akan mengalami depresi akut. Oleh karena itu, saat mendengar berita bunuh diri, tidak selayaknyalah kita menyombongkan diri bahwa kita hebat dan mereka yang bunuh diri bodoh. Atau jutaan kalimat penghakiman lainnya. Tapi juga bukan berarti tindakan bunuh diri itu dibenarkan.

Seringkali bunuh diri terjadi karena mereka merasa sudah tidak ada lagi yang mau mengerti mereka. Saat ada yang mengatakan mereka depresi dan ingin bunuh diri, kebanyakan dari kita langsung menceramahi atau memberikan kata-kata bijak. Padahal belum tentu itu yang mereka butuhkan.

Kisah Elia menarik sekali, saat tahu Elia begitu depresinya, Tuhan tidak lantas mengkhotbahinya. Tuhan menyediakannya makan.

1 Raja-raja 19:5 
Sesudah itu ia berbaring dan tidur di bawah pohon arar itu. Tetapi tiba-tiba seorang malaikat menyentuh dia serta berkata kepadanya: "Bangunlah, makanlah!" 

Tuhan menunjukkan kepeduliannya. 2 kali Tuhan mengingatkan Elia untuk makan. Ada kebutuhan yang lebih penting untuk disentuh sebelum kita menjadi penceramah untuk teman-teman kita yang mau bunuh diri. Tunjukkanlah bahwa kita peduli kepada mereka, bukan ingin menghakimi atau menceramahi mereka.

B. BUNUH DIRI TIDAK BERMORAL?

Banyak di antara kita yang menganggap bunuh diri itu adalah tindakan yang tidak bermoral, dosa besar dan layak masuk neraka. Tapi tahukah kalian bahwa ada beberapa alasan bunuh diri yang tidak dapat dikatakan amoral.
1. Prinsip moral. Socrates, sebagai filsuf hebat, memilih mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Dia menenggak racun. Apakah itu artinya Socrates tidak bermoral? Justru hal itu dilakukan oleh Socrates sebagian bagian dari prinsip moralnya. Daripada dia menuruti bujukan muridnya, Cicero, untuk lari dari pengadilan yang tidak adil, Socrates memilih untuk bunuh diri sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan. Tidak hanya Socrates yang melakukan hal tersebut. Uskup John Joseph termasuk yang bunuh diri sebagai bentuk protes, dia menembak kepalanya dengan peluru di depan pelataran gedung pengadilan Pakistan. Aksi uskup ini dilakukan sebagai protes terakhirnya terhadap pengadilan yang sering tidak adil terhadap golongan minoritas sesudah berbagai cara protesnya tidak dihiraukan.
2. Harakiri/Seppuku. Sebagai bentuk rasa malu atas dosa, kesalahan, kegagalan dan tindakan amoral yang pernah dilakukan, orang Jepang (khususnya prajurit atau samurai) melakukan harakiri. Tindakan ini dilakukan secara sadar sebagai bentuk rasa malu dan penyesalan.
3. Kamikaze. Bunuh diri dengan menabrakkan diri atau bom bunuh diri, demi kebaikan golongannya. Ini berbeda dengan bom bunuh diri demi masuk surga. Bunuh diri demi masuk surga, itu sangat egois sekali. Kamikaze biasanya dilakukan prajurit Jepang, demi mengalahkan musuh dan meraih kemenangan.
4. Eutanasia. Walau dalam dunia teologi, agama dan kedokteran, euthanasia masih menjadi polemik tapi menurut saya, euthanasia masih termasuk dalam bunuh diri yang bermoral. Kenapa? Jika dilakukan oleh dirinya sendiri, maka ada kesadaran bahwa daripada dia merepotkan orang lain dengan biaya pengobatan dan proses pengobatan yang tidak ada ujungnya, maka dia memilih menghentikan hidupnya. Jika dilakukan oleh orang lain, maka ada kepedulian untuk mengakhiri penderitaan dari orang yang dikasihi. Daripada harus menderita sepanjang hidupnya, lebih baik dihentikan secepatnya. Daripada hidup tak bisa berbuat apa-apa, lebih baik mati ketemu Bapa. Eutanasia juga biasanya dilakukan atas pengawasan dokter.
5. Bullying (perundungan). Bunuh diri yang diakibatkan perundungan baik secara fisik, verbal maupun psikis bukan dosa si pelaku bunuh diri melakukan dosa di perundung.


C. BUNUH DIRI HAL BIASA?

Thomas Bronisch dalam bukunya Der Suizid menjelaskan bahwa pada awalnya tindak bunuh diri adalah suatu hal yang biasa. 

Baron de Montesquieu pernah mengatakan bahwa hidup adalah sebuah hadiah, dan kita berhak mengembalikannya.

Rousseau pernah mengatakan bahwa manusia berhak menentukan nasibnya sendiri, termasuk untuk bunuh diri. Jika kita sudah tidak bernilai bagi lingkungan atau membawa pengaruh negatif bagi lingkungan kita maka kita berhak untuk bunuh diri. 

Nietzsche juga pernah mengatakan bahwa bunuh diri adalah hak mendasar bagi setiap orang.

Karl Meningger berpendapat bahwa bunuh diri memiliki pola yang sama seperti naik gunung, nonton tv, memakai narkoba, dan pergi berlibur. Sama-sama ingin keluar dari kepenatan rutinitas hidup. Bedanya adalah, nonton tv bersifat sementara sedangkan bunuh diri selamanya.

Lalu mengapa bunuh diri bisa sampai dianggap sebuah kejahatan?

Dimulai setelah Sinode Arles Gereja Katolik pada 452, tindak bunuh diri lalu dianggap sebagai kejahatan. Mereka berpendapat bahwa saat bunuh diri, setan menggoda hati dan pikiran kita. Orang yang melakukan bunuh diri, artinya mengikuti maunya setan dan mereka adalah pengikut setan. Pada abad pertengahan, gereja katolik sangat erat dengan pemerintahan, sehingga pandangan ini pun diserap oleh hampir semua kerajaan Kristen di Eropa, bahkan menjadi bagian dari hukum negara mereka selama ratusan tahun. Bahkan bunuh diri dianggap lebih jahat dari membunuh orang lain. Pandangan ini setidaknya berlaku di Eropa hingga tahun 1790. 

Di Indonesia? Sampai saat ini, masih banyak kita temukan di gereja dan mungkin juga di agama-agama lain yang menganggap bunuh diri adalah sebuah kejahatan dan layak masuk neraka. Bahkan, sampai-sampai, mereka yang sudah mati bunuh diri pun masih dihakimi oleh kita yang merasa paling suci hidupnya. 

Dalam kekristenan, memang kita percaya bahwa hidup kita bukanlah milik kita sepenuhnya. Oleh karena itu, Immanuel Kant mengatakan bahwa tetap hidup di saat masih diberi kesempatan hidup adalah salah satu kewajiban moral kita.

Tetapi, menghakimi mereka yang ingin mengakhiri hidupnya, bukanlah kewajiban moral kita.  

D. Bunuh diri, dosa?

Kisah tentang Uskup John Joseph yang bunuh diri (lihat bagian B) pernah masuk dalam materi buku agama katholik. Beberapa orang katolik tidak terima
. Tindakan uskup tersebut dianggap tidak benar. Dan uskup tersebut dipastikan masuk neraka, menurut beberapa pendapat. Apapun alasannya, bahkan sekadar untuk menolong orang lain lalu mengorbankan nyawa kita, itu juga dosa katanya. 

Misal, kita berpegangan pada sebuah tali yang sedang dipegang oleh teman kita. Kita dan teman kita sedang berada di tebing jurang. Jika diteruskan lebih lama, kita berdua akan terjatuh dan mati. Daripada mati berdua, kita memilih untuk melepas tali agar kita saja yang mati dan kawan kita selamat. 

Namun, tindakan ini juga dianggap bunuh diri yang membawa pada hukuman neraka. Padahal di dalam alkitab dikatakan, "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." Yoh 15:13. Pengorbanan harusnya tidak termasuk dalam bunuh diri. 

Jika memang termasuk dalam bunuh diri. Apakah itu artinya Yesus juga melakukan bunuh diri? Apakah Dia juga akan masuk neraka?

Foto di bawah ini adalah salah satu bab dari buku saya yang berjudul "Philo+Sophie".

0 komentar:

Posting Komentar

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar