MENONTON FILM DANGAL DAN MEMBACA KITAB SUCI
Di film Dangal, 2 anak perempuannya merasa bahwa ayahnya terlalu memaksakan anak-anaknya untuk mewujudkan ambisi ayahnya. Namun, seorang teman mereka mengatakan bahwa justru itu hal yang baik. Di saat orangtua yang lain hanya menyiapkan anak perempuan mereka untuk menikah dan punya anak, justru orangtua mereka memikirkan masa depan yang lain untuk mereka.
Terkadang paksaan bisa menjadi sebuah bukti bahwa kita masih dipikirkan dan dikasihi. Wah pesan ini bisa kita jadikan senjata untuk mendoktrinasi anak kita bahwa jika dipaksa orangtua itu harusnya bersyukur. Itu artinya mereka disayang orangtua.
Tapi sayangnya, tidak semua konteks bisa diambil kesimpulan yang sama. Ada saatnya paksaan orangtua membatasi kreativitas anak. Namun di negeri seperti India di mana perempuan dianggap lemah, tak punya hak untuk memikirkan masa depan, dilahirkan hanya untuk menikah dan mengasuh anak, maka paksaan ayah dalam film Dangal menjadi sebuah nilai positif.
Kita yang tinggal di Indonesia khususnya di daerah metropolitan pasti tidak merasa bahwa pesan film ini penting untuk kita. Perempuan di masyarakat perkotaan sudah tidak lagi atau jarang merasakan seperti apa yang dirasakan perempuan dalam masyarakat Hindi. Itulah kenapa film Dangal tak semeledak film PK di Indonesia. Padahal di India, film ini penontonnya melebihi penonton film PK.
Saat menonton film, kita tidak hanya harus mencari apa pesan dari film tersebut tapi apa konteks yang sedang terjadi saat film itu dibuat. Begitu juga saat kita membaca kitab suci. Kita seharusnya tidak hanya mencari apa makna dari ayat yang kita baca tapi kita juga harus mencari apa konteks yang membuat ayat ini lahir. Dengan mengetahui konteks penulisan kitab suci, kita terhindar dari cocoklogi dan kita memaknai ayat tersebut jauh lebih dalam.
Salam,
Nuryanto Gracia