KRITIK, PERLU KAH?
Kata “kritik” sering disalahartikan sama seperti kata mitos dan mistis.
Mitos sering diartikan sebagai cerita bohong-bohongan, padahal mitos adalah cara suatu masyarakat untuk menjelaskan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Mitos digunakan saat pendekatan rasio dan sains belum lumrah dipakai. Mitos digunakan untuk menjelaskan hal-hal adikodrati. Itulah kenapa di kitab suci banyak sekali mitos tapi bukan dalam arti cerita bohong-bohongan.
Kata mistis sering diterjemahkan sebagai hal menyeramkan yang berhubungan dengan dunia horor. Padahal mistis adalah usaha untuk menyatu dengan Tuhan. Itulah kenapa orang-orang yang melakukannya disebut mistikus.
Nah, kritik juga sering disalahartikan sebagai celaan, menjelek-jelekkan. Padahal kritik merupakan hal positif yang telah membawa banyak hal positif bagi dunia ini.
Apakah ada kritik yang membangun? Jelas saja kritik seharusnya membangun. Tanpa ada kritik feminisme maka perempuan akan terus berada di dapur, tidak ada wanita karir apalagi pendeta perempuan. Tanpa kritik humaniora maka perbudakan tetap ada. Tanpa banyaknya kritik dalam dunia sains, maka teknologi tidak akan berkembang seperti sekarang. Tanpa adanya kritik dalam dunia tafsir kitab suci, maka dengan mudahnya kita akan didoktrin oleh para pemuka agama agar percaya dengan semua ucapannya, yang penting ada ayatnya.
Saya sering ketemu dengan pendeta yang suka bilang begini, "Alkitab itu jangan dikritik-kritik. Apa yang tertulis di sana, cukup dipahami, ikuti dan imani."
Membaca kitab suci tanpa kritik adalah hal mustahil. Bahkan yang katanya baca dan ikuti saja seperti yang tertulis, sudah melakukan 3 kritik terhadap kitab suci, yaitu kritik tanggapan pembaca (reader-response), kritik naratif, dan kritik tatabahasa. Untuk mengenal ragam kritik terhadap kitab suci, bisa baca di sini http://ioanesrakhmat.blogspot.co.id/search?q=metode+kritik
Lalu sebenarnya, apa sih kritik itu?
Sebenarnya, akan panjang sekali pembahasan ini. Mereka yang sudah kuliah, biasanya pernah mendapatkan materi ini. Apalagi yang kuliah filsafat dan teologi seperti saya. Oleh karena itu biar tulisan ini tidak terlampau panjang, saya batasi saja pembahasan kritik ini menurut beberapa aliran filsafat.
1. Kritik dalam pengertian Kantian (Imanuel Kant dan para pengikutnya) berarti kegiatan menguji sahih tidaknya klaim-klaim pengetahuan tanpa prasangka dan kegiatan ini dlakukan oleh rasio belaka.
2. Kritik dalam pengertian Hegelian (Hegel dan para pengikutnya), berarti refleksi atau proses menjadi sadar atau refleksi atas asal-usul kesadaran. Secara singkat, kritik berarti negasi atau dialektika karena bagi Hegel kesadaran timbul melalui rintangan-rintangan, yaitu dengan cara menegasi atau mengingkari rintangan-rintangan itu.
3. Kritik dalam pengertian Marxian (Karl Marx dan para pengikutnya), berarti usaha-usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat.
4. Kritik dalam pengertian Freudian (Sigmund Freud dan para pengikutnya), berarti refleksi, baik dari pihak individu maupun masyarakat, atas konflik-konflik psikis yang menghasilkan represi dan ketidakbebasan internal sehingga dengan cara refleksi itu masyarakat dan individu dapat membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan asing yang mengacaukan kesadarannya. Dengan singkat, kritik dapat diartikan sebagai pembebasan individu dari irrasionalitas menjadi rasional, dari ketidaksadaran menjadi sadar.
Kita bisa melihat bahwa dari 4 definisi di atas, kritik adalah suatu yang penting bagi perkembangan individu dan kelompok. Dengan kritik kita semakin sadar akan sesuatu yang belum kita sadari, entah itu kelebihan maupun kekurangan.
Lalu mengapa kritik seringkali dianggap buruk? Saya menemukan setidaknya beberapa alasan:
1. Sang pemberi kritik tidak berilmu. Alih-alih menyampaikan kritikan, dia malah justru menyampaikan hinaan. Seorang kritikus haruslah berilmu. Dia menguasai bidang yang akan dikritiknya. Di dalam kritikannya banyak ilmu yang bisa diambil, bukan malah kebencian. Itulah kenapa ga sembarang orang bisa memberi kritik. Jika membacot, semua orang bisa.
2. Banyaknya orang-orang anti kritik dan baperan. Kritik adalah musuh terberatnya kenyamanan. Mereka yang sudah nyaman akan sesuatu, tidak suka dikritik. Sehingga kritik yang datang dianggap hal buruk.
3. Orang ketiga, yang sok bijak, ga tahu permasalahan antara kritikus dan yang dikritik, tiba-tiba masuk dan berkhotbah, "Daripada mengkritik lebih baik saling memahami." Padahal jika dilihat dari 4 definisi di atas, kritik adalah juga usaha untuk memahami dan menggali kesadaran. Orang-orang sok bijak ini memang seringkali membuat kritik menjadi tampak buruk. Waktu masih aktif di gereja, saya seringkali ketemu dengan orang-orang semacam ini. Bukan hanya di gereja. di segala macam bidang, orang-orang seperti ini juga akan kita temui.
Nah demikian yang bisa saya bagikan. Akhir kata, kritik itu bukan soal seberapa kejam tapi seberapa tajam ulasan kita terhadap sesuatu yang sedang kita kritik. Itulah kenapa, butuh ilmu.