Pages

Sabtu, 26 April 2025

RAGUKANLAH IMANMU, TEMUKANLAH TUHANMU

RAGUKANLAH IMANMU, TEMUKANLAH TUHANMU

Para murid lain berkata, "Kami telah melihat Tuhan" namun Thomas berkata "Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku menaruh tanganku ke lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya" (Yoh 20:25, TB2). 

Dalam kebanyakan khotbah, keraguan Thomas ini sering diartikan secara negatif. Thomas dianggap kurang beriman karena tidak percaya bahwa Yesus sudah bangkit. Lantas para pengkhotbah sering menyamakan Thomas dengan mereka yang meragukan kuasa Tuhan. Lalu dikutiplah ayat ke-29 untuk menyindir mereka semua, "Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya."

Benarkah keraguan Thomas senegatif itu? Apakah meragukan Tuhan dianggap seburuk itu? Coba kita cek lagi. 

Siapa yang diragukan Thomas? Tuhan atau pendapat manusia? Manusia, dalam perikop ini adalah para murid yang lain. Thomas tidak meragukan Tuhan, Dia meragukan kesaksian orang lain. Itulah mengapa dia mengatakan, "Sebelum aku melihat". 

Thomas ingin mengalami sendiri perjumpaan dengan Tuhan yang hidup. Dia tidak mau imannya berdasarkan kata orang lain. Namun sering kali, para pendeta tidak siap dengan hal ini. Tidak siap ketika umat ada yang tidak percaya dengan ucapannya, lalu dianggap meragukan firman Tuhan. Walaupun yang dikhotbahkan oleh para pendeta berasal dari firman Tuhan, tapi kita harus jujur bahwa itu adalah hasil interpretasi. Umat bebas meragukan dan mempertanyakan kembali apa yang dikhotbahkan oleh pendeta. Pendeta justru harus membantu umat mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan. Mungkin melalui keraguan mereka, mereka akan mencari Tuhan secara pribadi dan mereka akan ditemui Tuhan secara pribadi. Tidak ada manusia yang bisa menemukan Tuhan, tapi Tuhan bisa menemui mereka yang mencari-Nya. 

Paus Gregorius Agung dalam homilinya mengatakan 
"Plus nobis profuit dubitatio Thomae quam fides credentium discipulorum."
"Ketidakpercayaan Thomas lebih menguntungkan iman kita daripada iman para murid yang percaya."

Kutipan lengkapnya jika saya terjemahkan secara bebas seperti ini:
Ketika murid yang ragu menyentuh luka-luka di tubuh gurunya, ia menyembuhkan luka-luka karena ketidakpercayaan kita. Ketidakpercayaan Thomas lebih menguntungkan iman kita daripada iman para murid yang percaya, karena ketika ia dituntun kembali kepada iman dengan menyentuh Yesus, pikiran kita terbebas dari semua keraguan dan diteguhkan dalam iman (Forty Gospel Homilies- Homili 26).

Keraguan kita berasal dari kecintaan kita terhadap Tuhan yang kita percaya. Kita butuh keraguan tersebut dipulihkan. Yesus tidak marah dengan Thomas. Yesus justru membiarkan Thomas menyentuh luka-luka-Nya. 


Para teolog pasti tidak asing dengan kalimat Anselmus ini, yang dikutip dari Proslogion bab 1
"Neque enim quaero intelligere ut credam, sed credo ut intelligam. Nam et hoc credo : quia 'nisi credidero, non intelligam'."
"Aku tidak mencari pengertian supaya aku bisa percaya, melainkan aku percaya supaya aku dapat memahami. Sebab aku percaya ini: jika aku tidak percaya, aku tidak akan mengerti."
 
Namun masih di paragraf yang sama, tepat di kalimat sebelum kutipan terkenal itu, Anselmus mengatakan, 
"Non tento, domine, penetrare altitudinem tuam, quia nullatenus comparo illi intelleetum meum ; sed desidero aliquatenus intelligere veritatem tuam, quam credit et amat cor meum."
"Aku tidak mencoba, Tuhan, untuk mencapai ketinggian-Mu yang agung, karena pemahamanku sama sekali tidak setara dengannya. Tetapi aku ingin memahami sedikit kebenaran-Mu, kebenaran yang hatiku percayai dan cintai."

Mereka yang meragukan ajaran para pendeta, bukanlah mereka yang tidak beriman. Mereka justru adalah orang-orang yang begitu cinta Tuhannya dan ingin mengenal "sedikit lagi" Tuhannya.

Jadi, berikanlah ruang keraguan kepada setiap umat. Karena kita semua perlu Kristus yang mau membiarkan kita menyentuh luka-Nya di saat iman kita lemah. 

*Nuryanto Gracia
Mahasiswa S2 Filsafat Keilahian 
Di STf Driyarkara

Senin, 21 April 2025

TUHAN DI MANA, AKU MENDERITA?

TUHAN DI MANA, AKU MENDERITA?

Setiap umat beriman , memiliki seperangkat kepercayaan awal yang dipegang teguh,  D.A. Carson menyebutnya S. 

Dalam hidup, walau kita telah hidup sangat beriman, tragedi buruk bisa saja tetap terjadi. Tragedi buruk tersebut membuat kita bertanya, "Di manakah Tuhan?" Atau "Kenapa saya, Tuhan?"

Maka muncullah R (masih istilah dari Carson) yang membuat kita mempertanyakan S. R ini membawa kita pada pertanyaan dan jawaban-jawaban baru yang lebih menenangkan kita. Akhirnya kita memegang S+R yang anggap saja disebut S0. 

Lalu para pendeta yang malas membantu umat mencari jawaban, dengan mudahnya menjawab, "Jangan pernah mempertanyakan kuasa Tuhan, Tuhan tahu yang terbaik untuk kita." Bahkan sampai ada pendeta yang mengatakan, "Mempertanyakan kuasa Tuhan adalah tindakan yang tidak beriman. Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu."

Akhirnya umat melepas R, dan kembali pada S. Tapi kali ini, karena tidak mendapatkan jawaban yang memadai, akhirnya umat melepas beberapa keyakinan awal di S, hingga muncullah S1. 

Contoh kasus, biar lebih mempermudah penjelasan di atas:  

Abby adalah seorang pelayan Tuhan yang taat, tidak berzinah atau korupsi, rajin persembahan. Dia memahami bahwa Allah adalah Allah yang penuh kasih, adil, dan mahakuasa (kita sebut ini S).

Abby menikah dengan perempuan yang juga taat beribadah, tidak ada riwayat genetik autis. Namun saat akhirnya mereka memiliki anak, anak mereka autis. Abby pun bertanya, "Kenapa Tuhan? Saya sudah melayanimu sepenuh hati." 

Dia mencari banyak jawaban dari buku-buku, artikel-artikel dan video-video YouTube (kita sebut ini R). R ini yang membuat S yang dia pegang sebelumnya seperti dapat dimengerti (teodise). 

Abby mencoba bertanya hal tersebut ke pendetanya, dan pendetanya mengatakan bahwa Abby terlalu menggunakan logikanya. Iman itu masalah hati. Jangan pernah mempertanyakan kuasa Tuhan. 

Abby dengan berat hati melepas R. Namun dia masih terus mempertanyakan hal itu. Kali ini dia ga berani bertanya kepada siapapun, termasuk ke pendetanya. Dia juga ga berani bertanya kepada teman se-gerejanya, Carson mengatakan bahwa "mereka takut kehilangan kepercayaan dan persahabatan dengan orang-orang Kristen lainnya. "

Akhirnya, Abby tetap memegang S namun dengan menghilangkan kepercayaan akan keadilan Tuhan (S1). Bagi Abby, Tuhan memang pengasih dan mahakuasa tapi tidak adil. 

Carson mengatakan bahwa itulah pentingnya bagi umat Kristen untuk memiliki keyakinan yang stabil sebelum tragedi buruk terjadi.

Pendeta bisa mengambil peran dalam membantu mencari jawaban saat tragedi terjadi atau menyediakan jawaban sebelum tragedi terjadi melalui khotbah-khotbah. 

Khotbah yang mempertanyakan Tuhan, bagi Carson, bukan hal yang salah karena alkitab juga banyak berisi pertanyaan, 
"Mengapakah mujur hidup orang-orang fasik, sentosa semua orang yang berlaku tidak setia?" (Yeremia 12:1)
"Mengapa orang fasik tetap hidup, menjadi tua, bahkan menjadi bertambah-tambah kuat?" (Ayub 21:7)

Thomas Reynolds memiliki pendapat yang hampir mirip, dia memiliki seorang putra yang didiagnosa memiliki sindrom Asperger, sindrom Tourette, obsesif gangguan kompulsif, bipolar, oppositional defiant, dan attention-deficit disorders. Dia membayangkan apa yang harus dia katakan ketika anaknya menatapnya dan bertanya, “Mengapa Tuhan menciptakan saya seperti ini?” Dia merasa perlu bagi setiap orang tua (minimal bagi dirinya) untuk memiliki jawaban yang stabil, dari pertanyaan tersebut.

Jadi, pendeta bertugas membantu umat menyediakan jawaban awal yang tidak diskriminatif terhadap penderitaan yang sedang dialami umat. Walau demikian, tidak bisa dihindarkan bahwa walau sudah disediakan jawaban, umat akan memiliki R  saat tragedi terjadi. Tidak masalah, kita bisa membantu mereka menemukan jawaban lain tanpa harus menyudutkan penderitaan mereka apalagi menolaknya dengan dalih tidak boleh mempertanyakan kekuasaan Tuhan.

Sabtu, 19 April 2025

YESUS TIDAK BANGKIT?

YESUS TIDAK BANGKIT
 
Benarkah Yesus bangkit? Bagaimana kekristenan melihat kebangkitan? Saya akan menjelaskannya dari beragam sudut pandang. 

Beberapa versi kebangkitan dalam kekristenan:
1. Kebangkitan fisik secara literal. Mereka percaya tubuh yang mati akan dibangkitkan secara fisik pada hari Yesus datang kembali. Mereka yang percaya pandangan ini, umumnya tidak mengizinkan jenazah dikremasi. Dasar biblis atas kepercayaan ini adalah:
a. kebangkitan Yesus secara fisik yang tidak berubah sama sekali, termasuk tanda-tanda bekas penyalibannya. Mereka percaya Yesus adalah yang pertama bangkit dari antara orang mati (1 Kor 15:20; Kol 1:18). Tapi kenapa disebut yang pertama? Bukankah Lazarus dan para orang kudus bangkit lebih dulu daripada Yesus? Mereka percaya bahwa Yesus bangkit dengan tubuh kemuliaan (tubuh yang disempurnakan) yang tidak akan mati lagi. Lazarus dan para orang kudus hanya kebangkitan sementara dan akan mati kembali. Untuk 2 kasus ini tidak ada catatan lanjutan mengenai Lazarus maupun para orang kudus yang telah bangkit. Apakah mereka masih hidup hingga sekarang atau sudah mati. Karena tidak ada catatan apapun maka diasumsikan bahwa mereka hanya bangkit sementara lalu mati kembali. Banyak masalah teologis yang bisa terjadi dari pemahaman kebangkitan fisik literal ini misal seperti untuk mereka yang disabilitas apakah akan bangkit dengan tubuh disabilitasnya atau tubuh yang non disabilitas. Nancy Eisland percaya bahwa mereka akan bangkit dengan tubuh disabilitas sama seperti Yesus yang juga bangkit dengan tubuh disabilitas (tangan, kaki dan lambung yang bolong bekas penyaliban). Walau ada masalah juga dengan pemahamana Eisland di sini. Namun kita tidak akan membahas masalah-masalah ini lebih jauh, mungkin di lain kesempatan saat saya membahas tentang teologi disabilitas. 
b. kebangkitan Lazarus (Yoh 11:43-44).
c. kebangkitan orang-orang kudus saat penyaliban Yesus (Mat 27:51–53).
2. Kebangkitan dalam bentuk yang disempurnakan. Mereka percaya bahwa tubuh yang akan bangkit nanti bukanlah tubuh fisik (Sōma psychikon) melainkan tubuh roh/yang dimuliakan/disempurnakan (Sōma pneumatikon). Oleh karena itu, bagi mereka tidak masalah jenazah mau dikubur atau dibakar. 
Dasar biblis:
a. “Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah (sōma psychikon), yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah (sōma pneumatikon)" 1 Kor 15:44.
b. "yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya" (Filipi 3:21). Mereka percaya bahwa tubuh yang akan bangkit nanti bukanlah tubuh fisik yang penuh keterbatasan ini, melainkan tubuh yang telah disempurnakan (entah seperti apa bentuknya nanti). Oleh karena itu, salah satu frasa dalam Pengakuan Iman Rasuli, kebangkitan daging (carnis resurrectionem/ anastasis sarkos) diubah menjadi kebangkitan orang mati. Hal ini serupa dengan bunyi ayat 1 Kor 15:52-53.
b. Yesus dengan tubuh kebangkitan-Nya masuk ke dalam tempat terkunci (Yoh 20:19 diulang lagi pada ayat 26). Jika Yesus masih bangkit dengan fisik yang sama, maka tidak mungkin dia bisa masuk begitu saja ke tempat yang dikunci. Walau agak terkesan paradoks jika kita baca ayat 20 (diulang lagi pada ayat 27) di mana Yesus menunjukkan bekas luka penyaliban-Nya seakan ingin mengatakan bahwa Dia adalah Yesus yang sama yang telah mati di salib dengan tubuh yang sama pula dia bangkit. Dan juga tidak ada tulisan eksplisit bahwa Yesus menembus pintu terkunci, para murid juga tidak dituliskan terkejut melihat itu. Ditambah lagi di Lukas 24:39 saat Yesus menunjukkan bekas luka-Nya Dia menyatakan bahwa roh tidak mempunyai daging dan tulang seperti yang kamu lihat pada-Ku ini.
3. Kebangkitan metaforis. Pandangan ketiga ini dianggap sesat dan tidak sesuai pandangan kristen pada umumnya. Yesus dianggap tidak sungguh-sungguh bangkit. Kebangkitan Yesus hanya bersifat metaforis/kiasan, bukan sungguhan. Pandangan ini sempat heboh pada tahun 2007, khususnya setelah Ioanes Rakhmat menulis di Kompas 5 April 2007. Berikut saya salin secuplik tulisannya:
"Para penulis Perjanjian Baru sendiri pasti memahami keduanya sebagai metafora; jika tidak demikian, mereka adalah orang-orang yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan membedakan mana realitas dan mana fantasi dan delusi. Dalam metafora sebuah kejadian hanya ada di dalam pengalaman subyektif, bukan dalam realitas obyektif. Yesus bangkit, ya, tetapi bangkit di dalam memori dan pengalaman hidup dihadiri dan dibimbing oleh Rohnya. Yesus telah naik ke surga, ya; dalam arti: ia telah diangkat dalam roh untuk berada di sisi Allah di kawasan rohani surgawi. Kebangkitan dan kenaikan tidak harus membuat jasad Yesus lenyap dari makamnya. Untuk keduanya terjadi, yang dibutuhkan adalah "tubuh rohani", bukan tubuh jasmani protoplasmik." Tulisan ini mendapat banyak reaksi dan kritik dari para teolog dan pendeta. Namun saya yakin di Indonesia, yang berpendapat seperti Ioanes tidak hanya satu orang, mengingat banyak juga teolog yang melihat beberapa kisah alkitab tidak secara historis melainkan metaforis. Apalagi saya masih ingat waktu itu mahasiswa teologi dikumpulkan dalam sebuah pertemuan, dan salah satu pendeta mengatakan, begini kira-kira, "Pandangan Ioanes bukan hal baru dan juga tidak ada yang aneh, banyak di antara kita adalah muridnya, jadi tidak aneh juga jika kita sepandangan dengannya. Jadi masalah dari Ioanes bukan itu." Dari pendapat ini kita bisa melihat mungkin banyak pendeta juga yang sepimikiran dengan Ioanes tapi tidak berani sependapat dengannya. Itulah kenapa saat FBnya masih aktif, dia selalu mengkritik para pendeta ini sebagai orang yang "takut dapurnya tidak ngebul". Sejak itu, Ioanes selalu mengatakan Yesus adalah Tuhan gereja. Namun saya membaca tulisannya (berupa puisi) pada 29 April 2024, di bait 13 dia menulis "Aku murid Yesus, Tuhan gereja" lalu di kalimat terakhir dari bait terakhir dia menulis, "Rangkullah aku, Yesus, Tuhanku". Saya yakin refleksi "Tuhanku" yang tertulis tidak sama lagi seperti "Tuhanku" seperti dahulu beliau yakini. 

Apapun itu, kebangkitan Kristus membawa refleksi pribadi bagi setiap mereka yang bersentuhan dengannya. Dan refleksi itu tidak hanya berhenti pada pemikiran tetapi juga terproyeksi dalam perilaku hidup. 

Bagaimana denganmu, apa refleksimu terhadap kebangkitan Yesus?

Pertanyaan lainnya yang tidak kalah menariknya adalah: "Bagaimana jika sains berhasil membangkitkan orang yang sudah mati?" Baik yang baru mati, maupun yang sudah lama mati. Baik bangkit dengan tubuh yang sama maupun dengan tubuh berbeda (hanya DNAnya seperti Dire Wolf yang baru dibangkitkan). Atau yang sakit parah dan tidak diselamatkan, dibekukankan lalu dibangkitkan beberapa puluh tahun kemudian (cryogenic). Bagaimana? Apakah kita masih akan berharap dan percaya kepada kebangkitan menurut iman Kristen?

Saya punya imajinasi liar, jangan-jangan ada ilmuwan dari masa depan yang berhasil menemukan teknologi untuk membangkitkan orang mati, lalu pergi ke zaman Yesus dan membangkitkan Dia. Setelah itu, Dia diangkut oleh mesin super canggih (kenaikan Yesus) ke masa depan (kedatangan Yesus kembali). Tentu saja ini hanya imajinasi liar, bukan iman gereja dan tidak perlu juga disetujui, haha.  

Selamat Paska

*Nuryanto Gracia
Mahasiswa S2 Filsafat Keilahian
Di STF Driyarkara

Kamis, 17 April 2025

KEMATIAN YESUS VERSI INJIL YOHANES

KEMATIAN YESUS MENURUT INJIL YOHANES

Saat ini saya mengajak kita melihat kematian Yesus versi Yohanes secara lebih mendetail. Untuk itu saya akan membandingkannya dengan kisah-kisah paralel di Injil sinoptik. Saya membuat beberapa tabel perbandingan agar kita mudah melihat perbedaannya. 

Perikop tentang lambung Yesus ditikam hanya ada di Injil Yohanes. Hal ini menjadi tanda bahwa perikop tersebut adalah perikop yang sangat penting untuk Injil Yohanes. Perikop lambung Yesus ditikam hingga mengeluarkan darah dan air menjadi hal penting, selain menunjukkan bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh manusia, menurut Ramsey kisah itu juga menggemakan hal-hal lain yang sudah Yesus katakan sebelumnya kepada murid-murid-Nya. Air yang keluar dari tubuh Yesus mengingatkan pada para murid mengenai apa yang Yesus ucapkan di Yohanes 4:14, 7:37-38, dan darah yang keluar bersamaan dengan air mengingatkan murid-murid pada perkataan Yesus di Yohanes 6:53-56. Perikop ini juga yang pada akhirnya menjadi simbol ekaristi dan pembaptisan. Herman juga mengatakan bahwa perikop ini bisa menjadi lambang pembaptisan dan ekaristi.


Yesus sadar bahwa segala sesuatunya telah selesai. Kisah ini tidak ada di perikop paralel dalam Injil-injil Sinoptik hanya menampilkan informasi jam penyaliban dan kematian Yesus. Oleh karena Yesus tahu bahwa segala sesuatu telah selesai, maka Dia harus menggenapi apa yang tertulis di dalam Kitab Suci dengan berseru, “Aku haus”. Seruan ini sebagai tanda bahwa Yesuslah yang berinisiatif untuk meminta minum, dan insiatif ini tidak datang dari para prajurit seperti pada kisah-kisah di Injil-injil sinoptik . Hal ini menandakan bahwa Yesus yang memegang kendali terhadap semua proses yang terjadi dalam hidup-Nya, khususnya proses penyaliban yang saat itu sedang berlangsung.

Di perikop paralel, tidak ada seruan Yesus “Aku haus”, yang ada justru “Eli, Eli lama sabakhtani” di Matius dan “Eloi, Eloi lama sabakhtani” di Markus. Matius dan Markus menulis seruan tersebut ingin menunjukkan Yesus yang ditinggalkan oleh Bapa karena Dia menanggung dosa manusia. Namun Yohanes tidak menulis seruan tersebut karena di salib adalah tempat Yesus dimuliakan, bukan ditinggalkan Bapa.


Yohanes mencatat “ada suatu bekas penuh anggur asam”, catatan ini berbeda dengan catatan Injil Matius (“mengambil bunga karang”), dan Injil Markus (“datang dengan bunga karang”). Perbedaan paling mencolok di ayat ini adalah kata “mereka”. Di Injil-injil Sinoptik menggunakan kata “seseorang”. Mengapa Injil Yohanes menggunakan kata “mereka”? Hal itu karena Injil Yohanes ingin memberi penekanan yang berbeda dengan Injil Matius dan Markus. Injil Matius dan Markus menekankan bahwa Yesus diolok-olok oleh seorang prajurit yang memberikan anggur asam, sedangkan Injil Yohanes ingin menunjukkan bahwa Yesus tidak diolok-olok oleh satu orang pun. Pemberian anggur asam adalah atas inisiatif sendiri dan “mereka” sedang melayani inisiatif Yesus. Menurut Ramsey, nasib Yesus ada di dalam kendali-Nya, bukan di tangan prajurit atau pun Pilatus.

Beberapa perbedaan lainnya yang kita bisa temukan adalah penggunaan kata “sebatang hisop” dan “sebatang buluh”. Selain itu juga kita bisa menemukan perbedaan pada proses pemberian anggur asam, di Injil Yohanes ditulis “mengunjukkan ke mulut Yesus” sedangkan di Matius dan Markus ditulis “memberi Yesus minum.” Perbedaan paling menonjol dalam Injil Matius dan Markus adalah perkataan orang banyak yang menunggu apakah Elia akan membantu Yesus atau tidak. Yohanes tidak memasukkan adegan itu tentu saja karena tokoh utama di dalam kisah penyaliban adalah Yesus, tidak perlu ada tokoh tambahan seperti Elia.


Kata “sudah selesai” membawa kita kembali kepada ayat 28, seakan ingin mengingatkan kita bahwa Yesus sudah tahu bahwa ini sudah selesai, dan Dia hanya perlu menekankannya kembali. Yesus tidak berseru seperti di Injil-injil Sinoptik yang menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa karena bagi Injil Yohanes, Yesus dan Bapa adalah satu. Itulah kenapa tidak ada adegan Yesus bergumul dengan penuh takut dan gentar di Taman Getsemani. Selain itu, hanya di Injil Yohanes yang menulis bahwa Yesus menundukkan kepala-Nya sebelum menyerahkan nyawa-Nya. Ramsey menafsirkan bahwa menundukkan kepala adalah simbol Yesus beristirahat seperti di rumah. Salib seakan menjadi tempat Yesus untuk kembali ke rumah untuk beristirahat.


Di dalam Matius dan Markus, setelah Yesus mati tabir bait suci terbelah dua, bahkan di Matius ditambahkan dengan gempa bumi, bukit-bukit terbelah, kuburan terbuka dan orang-orang kudus bangkit lalu masuk ke kota kudus. Mengapa adegan ini tidak ada di Injil Yohanes? Hal tersebut karena bagi penulis Injil Yohanes, tidak perlu mendramatisir kisah kematian Yesus dengan peristiwa-peristiwa spektakular untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Dari Yohanes 1, penulis sudah menekankan ketuhanan Yesus dan melalui kematian-Nya di kayu salib juga sudah cukup menjadi bukti Ketuhanan Yesus.

Di Injil-injil Sinoptik juga ada tambahan pengakuan dari kepala pasukan bahwa Yesus sungguh Anak Allah atau orang benar. Kata yang digunakan adalah “was” sebagai tanda bahwa mereka mengakui dulu Yesus adalah Anak Allah dan sekarang setelah kematian-Nya, jabatan itu pun kembali pada-Nya. Injil Yohanes tidak perlu melakukan itu, karena Yesus adalah Allah baik dulu, sekarang dan selamanya.

Injil Yohanes adalah Injil yang menekankan pada keilahian Yesus sekaligus kemanusiaan-Nya. Injil yang menekankan bahwa Firman telah menjadi manusia. Sang Firman itu tidak perlu hal-hal spektakular untuk bisa dianggap sebagai Tuhan atau tidak juga perlu pengakuan dari siapa pun untuk bisa membuktikan bahwa diri-Nya adalah Tuhan. 

*Nuryanto Gracia
Mahasiswa S2 Filsafat Keilahian
Di STF Driyarkara


Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Tool

Delete this element to display blogger navbar