a. Sebuah Cerita menangkap perhatian kita dan menahannya.
Ketika seseorang mendengarkan suatu khotbah sebenarnya dia juga sedang bergumul dengan suara-suara lain di dalam pikirannya. Mungkin itu suara bisnis yang harus diselesaikan, suara kebencian dengan saudara/teman, suara kerinduan untuk bertemu dengan seseorang dan suara-suara lainnya. Oleh karena itu, agar umat dapat fokus terhadap suara sang pengkhotbah daripada suara-suara yang lain itu, maka seorang pengkhotbah harus dapat menarik attention umat.
Menurut penelitian, attention orang dewasa terhadap stimulus normalnya sekitar 5 sampai 25 detik.[1] Seorang pengkhotbah harus mampu memberikan stimulus-stimulus agar dapat terus mempertahankan attention umat dalam mendengarkan khotbah. Tucker mengatakan bahwa cerita memiliki attention value yang tinggi. Tucker mengutip kata-kata Henry Ward “he who would hold the ear of the people must either tell stories or paint pictures.”[2] Oleh karena itu, cerita dapat dikatakan metode yang efektif untuk memegang attention umat.
b. Cerita melekat di dalam memori
Tucker dalam bukunya bertanya kepada pembacanya “apakah yang kalian ingat dari khotbah yang terakhir kali kalian dengar? Pasti yang kalian ingat adalah sebuah cerita.”[3] Menarik sekali pertanyaan Tucker ini. Memang apabila kita perhatikan, apabila kita mendengarkan suatu khotbah dan di dalam khotbah tersebut ada sebuah ilustrasi pasti yang akan diingat oleh kita adalah ilustrasinya dari pada kesimpulan akhir dari sang pengkhotbah. Bahkan John Kilinger mengatakan bahwa “orang sering dapat mengingat sebuah khotbah bertahun-tahun kemudian berdasarkan ilustrasinya.”[4]
c. Cerita mempunyai kekuatan persuasive
Cerita memiliki kekuatan persuasif yang begitu besar. Dalam kisah nabi Natan dan raja Daud kita mendapatkan hal tersebut. Daud telah berbuat dosa dengan mengambil dan berbuat zinah dengan istri orang lain. Selain itu dia juga membunuh suami perempuan tersebut. Namun demikian, Daud tidak menyadari bahwa perbuatannya itu salah. Oleh karena itu, nabi Natan datang untuk menegur Raja Daud. Nabi Natan tidak menegur Daud dengan teguran langsung melainkan dengan menyampaikan sebuah cerita. Dia menceritakan kepada raja tentang orang kaya yang mengambil anak domba betina kepunyaan si miskin. Cerita tersebut menarik perhatian raja dan membuat raja marah “Demi Tuhan yang hidup: orang yang melakukan itu harus dihukum mati.” Kemudian sang nabi menjawab, “Engkaulah orang itu!” Daud menyadari bahwa dia telah berbuat dosa, “Aku sudah berbuat dosa kepada Tuhan” (2 Sam 12: 1 – 13). Kita lihat bahwa sebuah cerita sederhana dapat mengaduk-aduk hati nurani seseorang.[5]
Bahkan ketika kita menonton sebuah film di TV, kita ikut terbawa dengan emosi dari para aktor dalam film tersebut. Ketika aktor ada yang bersedih kita ikut menangis, ketika marah kita pun ikut marah, ketika cemas kita ikut cemas. Mengapa begitu? Karena tanpa kita sadar ikut mengidentifikasikan diri kita dengan beberapa karakter dalam cerita tersebut. Karakter-karakter tersebut begitu nyata bagi kita karena kita ikut masuk ke dalam dunia mereka.[6] Oleh karena itu, Killinger mengingatkan bahwa seorang pengkhotbah harus berhati-hati untuk tidak menggunakan kekuatan dari cerita itu secara berlebihan untuk memanipulasi sebuah jemaat dan menyebabkan warga jemaat melakukan hal-hal yang mereka tidak biasa buat.[7]
d. Cerita mengklarifikasi kebenaran
Cerita memiliki kekuatan untuk menjelaskan kebenaran tanpa mendefinisikannya (explanation value). Ketika ada ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus tentang siapakah “sesamaku manusia”, Yesus tidak memberikan definisi tentang siapa itu sesame manusia. Yesus justru menceritakan kisah orang Samaria yang murah hati. Yesus menceritakan cerita yang membuat pertanyaan tersebut menjadi jelas. Perumpamaan telah membuat kebenaran menjadi menarik dan mudah diingat, tetapi yang lebih utama, perumpamaan telah membuat maksud Yesus menjadi jelas.[8]
e. Cerita menambahkan nilas estetik kepada khotbah
Tucker mengatakan bahwa cerita dalam khotbah sama seperti seorang perempuan bijak menggunakan kosmetik. Make up tidak pernah membuat seorang perempuan jelek menjadi cantik, tetapi bisa menyoroti bahwa ada keindahan di sana. Tetapi Tucker mengatakan bahwa cerita dalam khotbah memang memberi keindahan, tapi jangan sampai khotbah menjadi hanya seperti hiburan (entertainment) dengan suara yang menyenangkan untuk didengar dan suara yang indah tetapi tidak ada kekuatan (power) di dalam proklamasinya. Seperti yang tertulis di dalam Yehezkiel 33: 31 – 32 “Dan mereka datang kepadamu seperti rakyat berkerumun dan duduk di hadapanmu sebagai umat-Ku, mereka mendengar apa yang kauucapkan, tetapi mereka tidak melakukannya…. Sungguh, engkau bagi mereka seperti seorang yang melagukan syair cinta kasih dengan suara yang merdu, dan yang pandai main kecapi; mereka mendengar apa yang kauucapkan, tetapi mereka sama sekali tidak melakukannya.” Oleh karena itu, hendaknya khotbah itu seperti khotbah Yesus yang menyampaikan kebenaran dalam metafora dan perumpamaan yang ekspresi keindahan dan pesan yang terkandung di dalamnya tidak tertandingi. [9]
f. Kita melihat diri kita sendiri dalam cerita
Di dalam cerita yang baik kita dapat melihat teman, musuh dan diri kita sendiri. Kita juga melihat masalah kita dan kemungkinan solusi-solusi pada karakter-karakter dan tindakan dalam cerita.[10]
Karya: Nuryanto, S.Si (Teol)
[1] Larry L. Barker, Listening Behavior (London: Prentice Hall, 1971), hal. 32.
[2] Austin B. Tucker, The Preacher as Storyteller: The Preacher as Storyteller: The Power of Narrative in the Pulpit (Nashville: Tennessee, 2008),hal. 11.
[3] Ibid, hal. 12.
[4] John Killinger, Dasar-dasar Khotbah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal. 127.
[5] Tucker, The Preacher as Storyteller, hal. 11.
[6] Ibid., hal. 15.
[7] Killinger, Dasar-dasar Khotbah, hal. 127.
[8] Tucker, The Preacher as Storyteller, hal. 16.
[9] Ibid., hal. 17 – 18.
[10] Ibid., hal. 18.
0 komentar:
Posting Komentar