Alkitab memiliki berbagai macam gaya dalam menyampaikan pesan firman Tuhan, salah satunya adalah naratif. Gaya-gaya naratif yang akan kita temui di dalam Alkitab yaitu:[2]
- Laporan sederhana: anekdot personal (1 Raj 19:19-21), laporan pertempuran (Yos 7:2-5), catatan tentang pembangunan (1Raj 6 – 7), pengalaman spesial (Kej 40:9 – 11; 16 – 17; Kel 3:2-12), catatan-catatan sejarah (1 Sam 11:1 – 11), dan riwayat hidup (Ezra 7:27 – 9:15; Neh 1: 1- 7:73a).
- Narasi kepahlawanan: epik kosmis (Kej 1 – 3, 6 – 9, 10 – 11), epik nenek moyang (Kej 12 – 36)
- Cerita-cerita Nabi (1 Raj 17 – 2:9; Dan 1 – 6)
- Komedi (Kej 37 – 50)
- Injil-injil dan Kisah Para Rasul
- Apokalipsis (Daniel dan Wahyu)
Storytelling selalu menjadi bagian vital dari tradisi Ibrani. Dalam sejarah Ibrani, cerita telah menikmati warisan penghargaan yang tidak terputus sebagai metode pengajaran tertinggi.[4]
Listen my people, mark each word. I begin with a story.
I speak of mysteries welling up from ancient depths,
Heard and known from our elders.
We must not hide this story from our children
But tell the mighty works and all the wonder of God.
. . .
Let future generations learn
And let them grow up to teach their young to trust in God (Ps 78: 1-4, 6-7a TS[5])
“I begin with a story,” kata pemazmur. Mazmur 78 merupakan contoh sebuah lagu maskil atau lagu untuk pengajaran dalam kesalehan. ini adalah salah satu dari beberapa mazmur yang mendorong Israel untuk terus menceritakan kisah Tuhan yang berurusan dengan umat-Nya sehingga mereka tidak terus mengulangi dosa-dosa ayah mereka. Mazmur lain yang menginstruksikan untuk terus menceritakan kisah Allah dan Israel, yaitu Mazmur 105 dan 106. Mazmur ini adalah lagu-lagu pujian dengan pengingat yang kuat “Ingatlah perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukan-Nya” (Mzm 105: 5) dan pengingat bahwa Allah akan “ingat untuk selama-lamanya akan perjanjian-Nya” (Mzm 105: 8). Lagu dan cerita-cerita ilahi merupakan cara untuk memperbaiki kelupaan. Dan lagu yang menceritakan sebuah kisah adalah yang terbaik dari semua.[6]
Berbicara tentang khotbah naratif maka kita harus turut juga melibatkan perumpamaan. Ketika kita mendengar kata perumpamaan maka kita akan teringat dengan seorang tokoh yang hampir setiap saat ketika Dia bersama dengan orang-orang banyak, dia selalu bercerita kepada mereka. Dia, Yesus, seringkali/hampir dalam setiap pengajaran-Nya menggunakan perumpamaan.[7] Hal tersebut dilakukan karena banyak pendengar pada abad pertama tersebut tidak bisa membaca, sehingga agar mereka dapat mengerti dan mengingat pengajaran yang Yesus hendak sampaikan maka Yesus bercerita. Ceritanya juga tidak panjang agar mudah diingat.[8]
Lalu mengapa untuk berbicara mengenai khotbah naratif kita perlu berbicara tentang perumpamaan? Hal tersebut karena perumpamaan, terutama perumpamaan Yesus, selama ini telah menjadi kiblat bagi khotbah naratif. Pakar khotbah naratif, Eugene L. Lowry, selalu mengaitkan khotbah naratif dengan perumpamaan Yesus. Bahkan dia menulis satu buku khusus yang menjadikan perumpamaan Yesus sebagai design untuk khotbah naratif (How to Preach a Parable: Designs for Narrative Sermons).
Mengajar dengan menggunakan perumpamaan sesungguhnya bukan lah hal baru yang diciptakan oleh Yesus. Perumpamaan sudah menjadi bagian dari tradisi Ibrani. Yesus hanya menggunakan tradisi yang telah ada. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan terlebih dahulu tentang perumpamaan dalam Perjanjian Lama kemudian berangkat menuju ke Perjanjian Baru.
Perumpamaan dalam PB menggunakan kata parabole dan dalam PL kata tersebut setara dengan kata mashal. Hal ini dapat kita ketahui dari penerjemahan kata mashal di dalam Septuaginta menjadi parabole. Hampir semua kata mashal diterjemahkan menjadi parabole di dalam Septuaginta kecuali pengkhotbah 1:17.[9] Mashal memiliki tiga jenis:[10]
1. Merujuk pada kata-kata bijak (proverb) seperti 1 Sam 10:12; Yeh 12:22-23; 16:44, bisa juga merujuk pada pepatah (byword), sindiran (satire), celaan/ejekan (taunt), kata cemoohan (word of derision) seperti Yesaya 14:3-4; Habakuk 2:6; Bilangan 21:27-30; Ulangan 28:37; 1 Raj 9:7; 2 Taw 7:20 dan Maz 44:14, 69:11.
2. Merujuk pada teka-teki (riddles) seperti Maz 78:2, 49:4; Yeh 17:2, Ams 1:6.
3. Terakhir kata ini merujuk pada cerita parabel atau allegori seperti Yeh 24:2-5, 17:2-10, 20:49-21:5 dan Yes 5:1-7, 1 Raj 20:38-43, 2 Sam 14:1-11 dan yang paling terkenal adalah parabel Natan di dalam 2 Sam 12:1-4.
Dalam PB kata parabole merujuk kepada empat jenis:
1. Similitude yaitu cerita yang mengangkat pengalaman umum dari semua orang untuk dijadikan ibarat, contohnya perumpamaan domba yang hilang (Mat 18:12-14; Luk 15:3-7).[11]
2. Parabel yaitu suatu cerita khas yang diciptakan secara khusus untuk menjelaskan suatu hal atau untuk menjawab seorang lawan bicara, tidak mengangkat suatu pengalaman umum contohnya perumpamaan anak yang hilang (Luk 15:11-32).[12]
3. Allegori yaitu suatu bentuk cerita dalam berbahasa yang hendak menyampaikan suatu kebenaran melalui sejumlah gambar yang dirangkai menjadi suatu cerita, untuk menyatakan berbagai segi dari kebenaran itu sekaligus menyelubunginya bagi orang luar.[13] Jika parabel ditujukan kepada lawan maka allegori ditujukan bagi anggota. Parabel digunakan untuk mendamaikan pertentangan, allegori digunakan untuk menyampaikan pesan yang hanya dimengerti oleh pihak dalam.[14] Contohnya perumpamaan perjamuan kawin (Mat 22:1-14; Luk 14:15-24)
4. Exemplum/ilustrasi yaitu cerita yang menggunakan contoh, misalnya dalam Luk 18:9-14 orang Farisi dan pemungut cukai dijadikan contoh.
Dari keempat jenis ini kita mendapatkan bahwa perumpamaan Yesus lebih banyak porsi ceritanya (story) dibandingkan dengan perumpamaan yang digunakan dalam PL. Apabila dilihat dari ketiga jenis perumpamaan dalam PL maka Yesus lebih mengembangkan perumpamaan-Nya pada jenis ketiga dari mashal, yaitu cerita parabel atau allegori.
Karya: Nuryanto S.Si (Teol)
[1] Hasan Sutanto, Homiletik: Prinsip dan Metode Berkhotbah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal. 233
[2] Roger Standing, Finding the Plot: Preaching in Narrative Style (London, Paternoster, 2004) hal. 37 – 39.
[3] James Earl Massey, Designing the Sermon: Order and Movement in Preaching (Nashville: Abingdon, 1980), hal. 35-36.
[4] Austin B. Tucker, The Preacher as Storyteller: The Power of Narrative in the Pulpit (Nashville: Tennessee, 2008) , hal. 91.
[5] Dari The Psalter: A Faithful and Inclusive Rendering from the Hebrew into Contemporary English Poetry, Intended Primarily for Communal Song and Recitation (Chicago: Liturgy Training Publications, 1995) seperti yang dikutip Austin B. Tucker, The Preacher as Storyteller: The Power of Narrative in the Pulpit (Nashville: Tennessee, 2008), hal. 91.
[6] Ibid., hal. 91-92.
[7] Tucker, The Preacher as Storyteller, hal. x.
[8] Brian C. Stiller, Preaching Parables to Postmoderns (Minneapolis, Fortress Press, 2009), hal. 10.
[9] Robert H Stein, An Introduction to the Parable of Jesus (Philadelphia: The Westminster Press, 1981), hal. 16.
[10] Ibid., hal. 16 – 18.
[11] Liem Khiem Yang, Mendengarkan Perumpamaan Yesus: Suatu Pedoman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hal. 26.
[12] Ibid.
[13]Ibid., hal. 39.
[14] Eta Linnemann, Parables of Jesus: Introduction and Exposition (London: SPCK, 1982), hal. 7.
0 komentar:
Posting Komentar