TONG KOSONG KOAR-KOAR BISANYA
"Bang yang tadi namanya Svengali Deck, kan? Harganya berapa?" Tanya saya dengan bangga.
Dengan bangga? Masa bertanya seperti itu saja bangga?
Iya betul dengan bangga. Waktu itu, saya baru belajar sulap. Baru saja mengenal istilah dan nama-nama alat sulap.
Suatu kali saya pergi ke dufan dengan kekasih saya. Di sana saya melihat ada yang membuka kios peralatan sulap. Salah satu penjaga kiosnya sedang memainkan kartu. Dia meminta penonton memilih satu kartu dan kartu itu dimasukkan ke tengah dek. Hanya dalam satu siulan, kartu itu sudah naik kembali ke tumpukkan kartu paling atas. Dengan cepat saya langsung tahu bahwa kartu yang dia pakai dalam permainan itu adalah svengali deck. Ada perasaan bangga dalam diri bahwa saya tahu trik yang dimainkan oleh pesulap tersebut.
Saya menghampiri pesulap, sekaligus penjaga kios, tersebut. Bukan untuk membeli kartunya tetapi untuk menyombongkan diri bahwa saya tahu trik sulap yang dimainkan olehnya. Itulah penyebab saya begitu bangga saat bertanya kepada si pesulap apakah nama kartu itu adalah svengali deck.
"150 ribu, Mas," jawab penjaga kios tersebut.
"Kalo brainwave deck?" tanya saya lagi, mencoba menyebutkan nama kartu sulap yang saya ingat.
"Sama, Mas," jawab pesulap berjaket hitam itu sambil membereskan kartu di tangannya.
"Oh oke, terimakasih, Bang," tanya saya seraya melangkahkan kaki dari tempat itu.
"Penjaga kiosnya kaget pas aku tahu nama kartu yang dia mainin," ujar saya ke kekasih saya dengan bangga.
"Wuih kamu emang keren," kekasih saya berusaha memuji dan memang begitulah kebiasaannya, memuji semua yang saya lakukan.
"Dia pasti mengira ga akan ada yang tahu trik yang dia mainkan. Ternyata dia salah," waktu itu saya benar-benar bangga hanya karena mengetahui nama kartu yang dipakai oleh penjaga kios tersebut. Dan sekarang, setelah 10 tahun saya mendalami dunia sulap, dengan ratusan (atau mungkin ribuan, ga ngitungin, hehe) trik yang telah saya kuasai, saya menjadi malu sendiri dengan sikap saya waktu itu.
Ternyata memang benar, semakin sedikit ilmu yang kita kuasai maka semakin kencanglah kita berkoar-koar dan merasa paling tahu segalanya. Namun semakin banyak ilmu yang kita punya, semakin merunduklah kita seperti padi. Mereka yang berilmu banyak dan mendalam justru menjadi lebih rendah hati, toleran dan mendukung teman-teman lainnya.
Saya selama ini belajar dari teman-teman pesulap yang telah lama bermain sulap. Mereka walaupun tahu trik yang dimainkan oleh temannya, mereka tidak akan berkoar-koar, "Wah gue tahu tuh trik yang dia mainin. Itu kan triknya... (bla bla bla)". Mereka justru bertepuk tangan dan mengapresiasi setiap pesulap yang tampil. Jika ingin memberi masukkan, mereka akan langsung berbicara dengan pesulapnya, bukan berkoar-koar di belakang. Hal ini berbeda sekali dengan mereka yang baru belajar bermain sulap. Saat melihat ada yang sedang bermain sulap, dengan kencang mereka akan berkoar-koar, "Ah itu kan koinnya di sini, kartunya digituin dan... (bla bla bla)."
Jika suatu saat ada yang berkoar-koar tentang kekurangan orang lain, itu berarti ilmunya masih sedikit. Jika nanti ternyata kita yang berkoar-koar, itu berarti ilmu kita masih sedikit. Perbanyak dan perdalamlah ilmu kita, agar tidak menjadi tong kosong yang koar-koar bisanya.
0 komentar:
Posting Komentar