KEMATIAN YESUS MENURUT INJIL YOHANES
Saat ini saya mengajak kita melihat kematian Yesus versi Yohanes secara lebih mendetail. Untuk itu saya akan membandingkannya dengan kisah-kisah paralel di Injil sinoptik. Saya membuat beberapa tabel perbandingan agar kita mudah melihat perbedaannya.
Perikop tentang lambung Yesus ditikam hanya ada di Injil Yohanes. Hal ini menjadi tanda bahwa perikop tersebut adalah perikop yang sangat penting untuk Injil Yohanes. Perikop lambung Yesus ditikam hingga mengeluarkan darah dan air menjadi hal penting, selain menunjukkan bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh manusia, menurut Ramsey kisah itu juga menggemakan hal-hal lain yang sudah Yesus katakan sebelumnya kepada murid-murid-Nya. Air yang keluar dari tubuh Yesus mengingatkan pada para murid mengenai apa yang Yesus ucapkan di Yohanes 4:14, 7:37-38, dan darah yang keluar bersamaan dengan air mengingatkan murid-murid pada perkataan Yesus di Yohanes 6:53-56. Perikop ini juga yang pada akhirnya menjadi simbol ekaristi dan pembaptisan. Herman juga mengatakan bahwa perikop ini bisa menjadi lambang pembaptisan dan ekaristi.
Yesus sadar bahwa segala sesuatunya telah selesai. Kisah ini tidak ada di perikop paralel dalam Injil-injil Sinoptik hanya menampilkan informasi jam penyaliban dan kematian Yesus. Oleh karena Yesus tahu bahwa segala sesuatu telah selesai, maka Dia harus menggenapi apa yang tertulis di dalam Kitab Suci dengan berseru, “Aku haus”. Seruan ini sebagai tanda bahwa Yesuslah yang berinisiatif untuk meminta minum, dan insiatif ini tidak datang dari para prajurit seperti pada kisah-kisah di Injil-injil sinoptik . Hal ini menandakan bahwa Yesus yang memegang kendali terhadap semua proses yang terjadi dalam hidup-Nya, khususnya proses penyaliban yang saat itu sedang berlangsung.
Di perikop paralel, tidak ada seruan Yesus “Aku haus”, yang ada justru “Eli, Eli lama sabakhtani” di Matius dan “Eloi, Eloi lama sabakhtani” di Markus. Matius dan Markus menulis seruan tersebut ingin menunjukkan Yesus yang ditinggalkan oleh Bapa karena Dia menanggung dosa manusia. Namun Yohanes tidak menulis seruan tersebut karena di salib adalah tempat Yesus dimuliakan, bukan ditinggalkan Bapa.
Yohanes mencatat “ada suatu bekas penuh anggur asam”, catatan ini berbeda dengan catatan Injil Matius (“mengambil bunga karang”), dan Injil Markus (“datang dengan bunga karang”). Perbedaan paling mencolok di ayat ini adalah kata “mereka”. Di Injil-injil Sinoptik menggunakan kata “seseorang”. Mengapa Injil Yohanes menggunakan kata “mereka”? Hal itu karena Injil Yohanes ingin memberi penekanan yang berbeda dengan Injil Matius dan Markus. Injil Matius dan Markus menekankan bahwa Yesus diolok-olok oleh seorang prajurit yang memberikan anggur asam, sedangkan Injil Yohanes ingin menunjukkan bahwa Yesus tidak diolok-olok oleh satu orang pun. Pemberian anggur asam adalah atas inisiatif sendiri dan “mereka” sedang melayani inisiatif Yesus. Menurut Ramsey, nasib Yesus ada di dalam kendali-Nya, bukan di tangan prajurit atau pun Pilatus.
Beberapa perbedaan lainnya yang kita bisa temukan adalah penggunaan kata “sebatang hisop” dan “sebatang buluh”. Selain itu juga kita bisa menemukan perbedaan pada proses pemberian anggur asam, di Injil Yohanes ditulis “mengunjukkan ke mulut Yesus” sedangkan di Matius dan Markus ditulis “memberi Yesus minum.” Perbedaan paling menonjol dalam Injil Matius dan Markus adalah perkataan orang banyak yang menunggu apakah Elia akan membantu Yesus atau tidak. Yohanes tidak memasukkan adegan itu tentu saja karena tokoh utama di dalam kisah penyaliban adalah Yesus, tidak perlu ada tokoh tambahan seperti Elia.
Kata “sudah selesai” membawa kita kembali kepada ayat 28, seakan ingin mengingatkan kita bahwa Yesus sudah tahu bahwa ini sudah selesai, dan Dia hanya perlu menekankannya kembali. Yesus tidak berseru seperti di Injil-injil Sinoptik yang menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa karena bagi Injil Yohanes, Yesus dan Bapa adalah satu. Itulah kenapa tidak ada adegan Yesus bergumul dengan penuh takut dan gentar di Taman Getsemani. Selain itu, hanya di Injil Yohanes yang menulis bahwa Yesus menundukkan kepala-Nya sebelum menyerahkan nyawa-Nya. Ramsey menafsirkan bahwa menundukkan kepala adalah simbol Yesus beristirahat seperti di rumah. Salib seakan menjadi tempat Yesus untuk kembali ke rumah untuk beristirahat.
Di dalam Matius dan Markus, setelah Yesus mati tabir bait suci terbelah dua, bahkan di Matius ditambahkan dengan gempa bumi, bukit-bukit terbelah, kuburan terbuka dan orang-orang kudus bangkit lalu masuk ke kota kudus. Mengapa adegan ini tidak ada di Injil Yohanes? Hal tersebut karena bagi penulis Injil Yohanes, tidak perlu mendramatisir kisah kematian Yesus dengan peristiwa-peristiwa spektakular untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Dari Yohanes 1, penulis sudah menekankan ketuhanan Yesus dan melalui kematian-Nya di kayu salib juga sudah cukup menjadi bukti Ketuhanan Yesus.
Di Injil-injil Sinoptik juga ada tambahan pengakuan dari kepala pasukan bahwa Yesus sungguh Anak Allah atau orang benar. Kata yang digunakan adalah “was” sebagai tanda bahwa mereka mengakui dulu Yesus adalah Anak Allah dan sekarang setelah kematian-Nya, jabatan itu pun kembali pada-Nya. Injil Yohanes tidak perlu melakukan itu, karena Yesus adalah Allah baik dulu, sekarang dan selamanya.
Injil Yohanes adalah Injil yang menekankan pada keilahian Yesus sekaligus kemanusiaan-Nya. Injil yang menekankan bahwa Firman telah menjadi manusia. Sang Firman itu tidak perlu hal-hal spektakular untuk bisa dianggap sebagai Tuhan atau tidak juga perlu pengakuan dari siapa pun untuk bisa membuktikan bahwa diri-Nya adalah Tuhan.
*Nuryanto Gracia
Mahasiswa S2 Filsafat Keilahian
Di STF Driyarkara
0 komentar:
Posting Komentar