Hari Pentakosta seringkali hanya dimaknai sebagai hari pencurahan Roh Kudus sehingga khotbah-khotbah atau perdebatan hanya di sekitar bahasa lidah atau bahasa Roh. Namun jika kita menengok ke dalam Perjanjian Lama, Pentakosta dimaknai sebagai:
1. Hari raya panen. Itulah kenapa di PL disebutnya sebagai Hari Hari Raya Tujuh Minggu, Hari Buah Sulung atau Hari Menuai. Semuanya berkaitan dengan karya Allah terhadap alam.
2. Hari pemberian Taurat kepada Musa di Gunung Sinai.
Jadi, dalam PL, Pentakosta tidak melulu dimaknai sebagai peristiwa rohani tetapi juga peristiwa alam.
Sayangnya di PB, oleh para pendeta, Pentakosta dimiskinkan maknanya hanya tentang peristiwa rohani. Bersyukurnya masih ada beberapa denominasi gereja yang memasukkan peristiwa alam ke dalam liturgi mereka. Ada simbol-simbol panen di dalam ruang ibadah mereka. Tetapi apakah ada pembahasan tentang alam di dalam khotbah-khotbah mereka?
Saya sadar bahwa peristiwa Pentakosta adalah peristiwa gerejawi yang oleh beberapa gereja protestan dipakai untuk membahas topik minor yang jarang mereka bahas dalam khotbah-khotbah mereka yaitu, Roh Kudus. Oleh karena itu, kita tidak bisa terlalu banyak berharap di Pentakosta akan ada pembahasan tentang alam (ekoteologi). Paling-paling hanya ada lelang buah-buahan dan sayur-sayuran setelah selesai ibadah.
Apa sebenarnya hubungan Pentakosta dengan alam atau lebih jauh lagi dengan Raja Ampat?
Pada hari Pentakosta/Hari Raya Tujuh Minggu, umat Israel mempersembahkan hasil panen mereka, termasuk lembu dan domba dengan sukarela (Im 23:15-20; Bil 28:26-31; Ul 16:9-10). Persembahan sukarela sangat ditekankan, itu artinya berapa pun boleh asalkan tidak datang kepada Allah dengan tangan hampa (Ul 16:17). Tapi bagaimana bisa membawa persembahan hasil alam jika alamnya rusak? Jika hutannya dijadikan tambang nikel?
Izin tambang Nikel sudah diberikan sejak 2017. Namun menteri SDM, Seskab dan Presiden baru bereaksi sekarang. Kenapa? Karena kabar ini baru berisik sekarang. Itu artinya kita harus berisik dulu baru pemerintah akan bergerak. Oleh karena itu, berisiklah. Tidak hanya di media sosial tetapi juga di khotbah-khotbah kita.
Mungkin ada beberapa yang akan mengatakan, "Ah ini kan ga ada hubungannya sama gereja. Khotbah pendeta hanya perlu berkutat pada keselamatan dan kebaikan Allah. Urusan alam, biar menjadi urusan pemerintah."
Jika begitu, maka mari kita fokus pada Habakuk 2:17.
Laurie J. Braaten dalam "Violence Against Earth: Moving from Land Abuse to Good Neighbor in Habakkuk" serta Gert Thomas Marthinus Prinsloo dalam "“This Wine Is Treacherous” (Hab 2:5a): Reading Condemnations against Violence in Habakkuk 2:5–20 from an Ecotheological Perspective" melihat Habakuk 2:17 sebagai bentuk kekerasan terhadap tumbuhan, hewan dan manusia.
Dalam Habakuk 2:17 menurut terjemahan CEV, GNT, TLB dan NLT dituliskan secara eksplisit tentang kekerasan terhadap hutan Libanon dan kebinasaan binatang sebagai bagian dari tuduhan Tuhan terhadap kekuatan para penguasa. Dalam TB1 masih ditulis "kekerasan terhadap gunung Libanon" namun pada TB2 hanya ditulis "kekerasan terhadap Libanon" sehingga jejak masalah ekologis seakan menghilang dalam ayat ini. Padahal secara historis ada masalah ekologis dalam ayat ini.
Bangsa-bangsa besar seperti Mesir, Asyur, dan terutama Babel mengeksploitasi hutan Libanon untuk memenuhi ambisi kekaisaran mereka. Ketika Babel berkembang menjadi imperium militer besar, mereka tidak hanya menaklukkan manusia tetapi juga menjarah alam. Habakuk 2:17 menegaskan bahwa alam yang dieksploitasi demi kekuasaan tidak akan dibiarkan tanpa pembalasan.
Habakuk 2:17 terjemahan NLT menulis demikian:
You cut down the forests of Lebanon.
Now you will be cut down.
You destroyed the wild animals,
so now their terror will be yours.
You committed murder throughout the countryside
and filled the towns with violence.
Dalam pandangan Tuhan, kekerasan terhadap alam tidak dapat dipisahkan dari kekerasan terhadap manusia. Jika gereja berseru paling keras saat terjadi penindasan terhadap manusia, maka kini gereja juga harus berseru paling keras saat terjadi penindasan terhadap alam.
Pentakosta di satu sisi adalah lambang pemulihan hubungan antara Tuhan dan umat manusia—melampaui batas etnis, bahasa, dan wilayah. Namun di sisi lain, Roh Kudus juga adalah Roh Pencipta (Kejadian 1:2), yang sejak awal melayang-layang di atas permukaan air dan menghidupkan bumi. Maka Pentakosta bukan hanya tentang komunikasi dan penyelamatan jiwa, tetapi juga tentang pemulihan ciptaan.
Dalam terang itu, Habakuk 2:17 mengingatkan bahwa Roh Kudus tidak tinggal diam terhadap kekerasan terhadap bumi. Ketika Libanon dirusak dan binatang punah, Roh Kudus bersaksi bahwa ciptaan sedang dilukai.
Pentakosta mengajarkan bahwa ketika Tuhan mengaruniakan Roh-Nya, itu bukan hanya untuk keselamatan pribadi, tetapi untuk pemulihan seluruh dunia—termasuk alam yang sedang menjerit.
Di Hari Pentakosta ini biarlah Allah menjadikan diri kita alat Roh Kudus untuk membawa keadilan ekologis dan pertobatan kolektif. Mari berisiklah, agar pemerintah mendengar dan sadar bahwa ini adalah masalah serius.
"Menempatkan tambang nikel di radius 30km di laut Raja Ampat adalah sebuah kebodohan. Ini tidak hanya bejat, ini sangat bodoh, benar-benar bodoh" seru Ferry Irwandi.
*Nuryanto Gracia
Mahasiswa S2 Filsafat Keilahian
Di STF Driyarkara
Dan Pendeta di salah satu gereja kecil di Jakarta