SETIAP KITA BUTUH RUMAH UNTUK KEMBALI
Setiap kita butuh rumah, tidak hanya gedung (house) tapi juga keluarga (home). Sejauh apapun kita pergi, kita butuh rumah untuk kembali. Namun sering kali, setelah jauh pergi dari rumah, dengan alasan apapun, kita jadi ragu:
1. Apakah masih ada tempat untukku? Aku lelah, aku tertolak, apakah ada rumah untukku beristirahat?
2. Apakah masih ada yang menyambutku saat aku kembali?
1. Komunitas Yohanes yang sedang dilanda pengasingan dan diskriminasi saat kitab Yohanes ditulis, juga mengalami kegelisahan yang sama. Kami ditolak di dunia. Tidak ada yang menerima kami di sini. Apakah tidak ada tempat untuk kami? Yesus dalam Yohanes 14:1-2, menyadari kegelisahan para murid, oleh karena itu Dia mengatakan, "Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu." Kitab Yohanes penuh dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa kamu bukan dari dunia ini, dunia ini menolak Yesus, dan dunia membenci kamu. Tentu saja hal itu tidak terlepas dari latar belakang komunitas Yohanes yang sedang ditolak karena mereka orang Yahudi tetapi lebih memilih menjadi kristen. Mereka dalam ambang kegalauan, kami harus ke mana? Kami tertolak, tidak ada tempat untuk kami. Kita juga mungkin pernah mengalami perasaan serupa. Saya harus ke mana? Tidak ada lagi tempat untukku. Karena pilihan imanku, aku tertolak. Untuk setiap kita yang merasa seperti itu, kita perlu mengingat lagi kalimat Yesus di atas bahwa jangan gelisah, ada rumah untukmu. Ada tempat untukmu kembali dari pertarungan imanmu.
2. Jika di poin 1, kita takut tidak memiliki tempat kembali karena kepercayaan kita membuat kita tertolak, maka pada poin kedua ini, ketakutan tidak ada tempat untuk kembali adalah karena hasil dari kesalahan atau keberdosaan kita.
"Aku telah terlalu berdosa, apakah mungkin masih ada tempat untukku kembali, Tuhan?"
Atau dalam hubungan dengan keluarga, "Aku telah sangat menyakiti orang tuaku, apakah mereka masih akan menerimaku?"
Dalam Lukas 15:11-32 diceritakan tentang seorang anak bungsu yang meminta hak warisnya saat ayahnya masih hidup. Setelah mendapat warisan yang sangat banyak, dia meninggalkan ayahnya dan berfoya-foya. Tidak lama, seluruh uangnya habis, dia kelaparan bahkan hingga memakan makanan babi. Dia berinisiatif kembali ke rumah ayahnya, bukan untuk diperlakukan sebagai anak, karena dia sadar sudah tidak ada tempat sebagai anak lagi baginya, tetapi sebagai pekerja di rumah ayahnya.
Secara logis, kita pasti akan mengira kembalinya si bungsu akan membuat ayahnya marah, atau minimal ceramah panjang (seperti yang orang tua kita sering lakukan, saat anaknya terbukti salah dan orang tua terbukti benar). Mungkin isi ceramahnya akan berbunyi, "Habis semua uangmu? Kualat itu. Makanya, jadi anak itu hormat sama orang tua. Jangan suka ngelawan dan merasa paling bisa hidup tanpa orang tua." Mungkin bisa lebih panjang dari itu.
Tapi kenyataannya, di dalam kisah ini, sang ayah tidak melakukan hal itu. Saat sang ayah melihat si bungsu dari jauh sedang kembali, dia berlari ke arahnya, lalu memeluk dan menciumnya.
Si bungsu mengaku bahwa dia telah berdosa, mungkin dalam benak si bungsu, dia akan mendapatkan jawaban dari sang ayah, "Iya nak, jangan berbuat dosa seperti itu lagi, yah."
Kenyataannya, sang ayah tidak membahas apapun tentang dosa si bungsu. Dia justru meminta semua pelayannya mengambilkan jubah terbaik, cincin dan sepatu untuk si bungsu. Dia juga meminta dimasakkan lembu tambun untuk pesta kembalinya sang anak.
Sungguh menyenangkan, ketika tahu bahwa seberdosa apapun kita, masih ada tempat untuk kembali.
Bagi Tuhan, selalu ada tempat untuk kita kembali.
Tapi bagi keluarga kita bagaimana? Coba cek keluargamu masing-masing. Jika keluargamu yang sekarang mungkin tidak bisa menerimamu, bisakah saat kita memiliki keluarga baru (menikah lalu punya anak) kita bisa menjadikan keluarga sebagai tempat untuk kembali bagi anak-anak kita, sebesar apapun kesalahan dan dosa yang sudah dia lakukan? Karena setiap manusia, butuh tempat untuk kembali.
*Nuryanto Gracia, mahasiswa S2 Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
0 komentar:
Posting Komentar