ALANGKAH INDAHNYA
Sudah beberapa hari bukit-bukit di pedalaman Perancis itu
menjadi ajang pertempuran. Perang Dunia kedua sedang berkecamuk di tengah musim
dingin yang menusuk. Pasukan Amerika sedang berhadapan langsung dengan pasukan
Jerman. Pada malam itu pasukan kedua belah pihak tetap siaga di parit penjagaan
mereka masing-masing. Jarak antara kedua pasukan musuh itu hanya beberapa puluh
meter saja. Rasa tegang dan lelah mencekam mereka.
Tiba-tiba kesunyian malam itu pecah. Ada suara seseorang
sayup-sayup mengumandangkan irama “Malam Kudus.” Para prajurit itu tertegun.
Mereka saling mamandang dengan rasa heran. Betul! Ini malam natal! Hari ini
tanggal 24 Desember! Lalu prajurit-prajurit itu pun ikut bernyanyi. Beberapa
prajurit Amerika berdiri dan keluar dari parit. Disusul oleh beberapa prajurit
Jerman. Mereka pun saling berangkulan. Tentara Amerika bernyanyi “Silent Night,
Holy Night”; tentara Jerman bernyanyi “Stille Nacht, Heilige Nacht.” Rasa haru
dan gembira langsung memenuhi hati mereka. Mereka mengeluarkan makanan dan
saling bertukar cendera mata.
Keesokan harinya tentara dari kedua pasukan yang bermusuhan
itu bermain sepak bola. Sepanjang hari mereka bergembira.
Tetapi setelah itu para prajurit itu terpaksa kembali lagi
ke parit mereka masing-masing. Komandan masing-masing pasukan mendapat
instruksi untuk meneruskan penyerangan. Akibatnya pertempuran meletus lagi.
Kedua pasukan itu terpaksa saling tembak lagi. Natal telah berakhir, damai pun
ikut berakhir.
Cerita itu hanya salah satu dari sekian banyak cerita yang
ironis tentang Natal. Ironis karena seringkali dampak Natal hanya berlangsung
dua atau tiga hari saja.
Suasana Natal memang seolah-olah menyulap perasaan kita.
Begitu kita mendengar lagu-lagu Natal yang khidmat dan agung, hati pun terasa
teduh. Kita jadi lebih bermurah hati kepada orang lain. kita jadi lebih ramah.
Wajah orang pun tampak lebih cerah dan ceria. Ketegangan dan keberingasan hidup
sehari-hari seolah-olah berhenti dan diganti dengan kedamaian dan keramahan.
Hidup terasa menjadi lebih indah.
Tetapi ketika suasana Natal itu sudah berakhir, berakhir
pulalah segala kedamaian dan kemurahan hati itu. Hidup kembali menjadi kejam
dan keras, serakah dan selingkuh, benci dan dengki. Sesingkat itukah nyala api
kasih Kristus yang bernyala dalam hati kita?
Dalam khotbah di Bukit, Tuhan Yesus mengumpamakan kita
sebagai pelita yang ditempatkan di atas kaki dian supaya menerangi seisi rumah
(Matius 5:14-16). Cahaya pelita memang tidak gemerlapan dan tidak mencolok
secara istimewa, namun ia menyala secara langgeng tiap malam sepanjang tahun.
Pelita bebeda dari lampu hiasan Natal yang berkedap-kedip secara mencolok namun
hanya menyala beberapa hari saja setahun.
Agaknya dalam mewakili Tuhan Yesus kita perlu belajar
menjadi pelita yang walaupun menyala secara bersahaja namun menyala langgeng
sepanjang tahun, ketimbang lampu hiasan Natal yang gemerlapan namun menyala
hanya selama beberapa hari saja.
Dalam Surat dari Taize Bruder Roger menulis, “Mengikuti
Kristus bukanlah seperti menyalakan kembang api atau petasan yang menyala
secara memukau dan silau dalam waktu sekejap namun sesudah itu langsung lenyap.”
Yang kita butuhkan bukanlah pengalaman iman yang berkilauan
dan meledak-ledak penuh emosi secara gegap gempita namun berlangsung hanya
beberapa kali saja setahun. Yang kita butuhkan adalah kebalikannya, yaitu
pengalaman iman yang tenang dan bersahaja namun setia dan langgeng sepanjang
tahun.
Lebih baik kita menjadi air tawar biasa di gelas yang penuh
ketimbang menjadi cola atau minuman bersoda yang meletup dan meluap secara
berbuih-buih begitu dibuka, tetapi segera setelah itu buih-buihnya langsung
lenyap sehingga yang tinggal ternyata adalah gelas yang tidak penuh.
Roh Natal dan Roh Yesus, yaitu kegembiaraan, keteduhan,
kesahajaan dan kemurahan hati. Dunia langsung berubah menjadi indah ketika roh
itu mulai menyala di dalam hati kita. Alangkah indahnya dunia ini kalau roh itu
menyala bukan hanya pada hari hari Natal saja, melainkan langgeng sepanjang
tahun. Ya, alangkah indahnya.
Diambil dari buku Selamat Natal karya Andar Ismail.
0 komentar:
Posting Komentar