Kanonisasi Alkitab
Kata “kanon” berasal dari kata Yunani kanōn dan kanē (yang merupakan kata pinjaman dari bahasa Semit kaneh) yang berarti “tongkat pengukur.” Jadi, kanon Alkitab menunjuk pada sekumpulan kitab yang dengan ukuran tertentu sekaligus menjadi ukuran iman, ajaran dan tradisi Kristen. Persoalan awal kanonisasi justru terletak pada isu: Apa yang menjadi ukuran dalam menentukan kanon? Apa kanon bagi kanon? Hal ini akan dibahas lebih lanjut belakangan. Namun cukup untuk sementara mengatakan bahwa pertanyaan singkat di atas ternyata menghasilkan kepelbagaian pandangan dan hasil kanonisasi itu sendiri; mulai dari Gereja Katolik Roma hingga gereja-gereja Protestant. Karena proses kanonisasi Alkitab berbeda antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, maka masing-masing akan dibahas secara tersendiri. | ||||||||||||||||||||||
Kanonisasi Perjanjian Lama | ||||||||||||||||||||||
Alkitab Ibrani sering dikenal dengan nama TaNaKH (Torah, Nevi’im dan Ketuvim – kitab-kitab Taurat, kitab-kitab para nabi dan kitab-kitab lain). Proses kanonisasi PL yang pertama dikenal berlangsung pada masa pemerintahan raja Yosia (622 BCE), yang sering diberi nama Gerakan Reformasi Deuteronomis. Gerakan ini berhasil menghimpun (dan mengedit) dari berbagai sumber menjadi satu kumpulan Taurat (Torah) yang terdiri dari 5 kitab. Kitab nabi-kabi ditambahkan kemudian oleh para imam yang dibuang ke pembuangan (586-539 BCE). Yang disebut kitab nabi-nabi (nevi’im) terdiri atas kumpulan kitab nabi-nabi terdahulu (Yosua, Hakim-hakim, Samuel dan Raja-raja) dan kumpulan kitab nabi-nabi terkemudian. Bagian ketiga kanon Alkitab Ibrani (ketuvim) ditambahkan setelah mereka pulang dari pembuangan, kemungkinan besar pada masa Ezra dan Nehemia. Termasuk di dalamnya: Mazmur, Amsal, Ayub, 5 Megillot (Kidung Agung, Ruth, Ratapan, Pengkotbah, dan Ester), Daniel, Ezra dan Nehemia (sebagai satu buku) dan Tawarikh. Yang menarik, kutipan-kutipan yang mengacu pada Alkitab Ibrani, yang banyak dijumpai di PB, sebenarnya mengacu pada tiga kumpulan kitab-kitab di atas, yang masih berada pada bentuk yang tidak ketat. Yesus, misalnya, sering mengacu pada “hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mt. 5.17; 7.12; 22.40; Lk. 16.16) dan sekali pada “kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur” (Lk. 24.44). Baru pada tahun 70 CE, setelah runtuhnya Yerusalem, pemuka-pemuka Yahudi mengadakan Sidang Sinode di Jamnia, untuk menentukan secara pasti kitab-kitab apa yang diakui dan masuk ke dalam Alkitab Ibrani. Di sidang itulah kanon PL bagi orang-orang Yahudi diputuskan secara final. Namun ini tidak berarti bahwa dengan sendirinya kanon Ibrani itu menjadi kanon PL umat Kristen. Gereja Kristen perdana menerima Alkitabnya (PL) dari orang-orang Yahudi berbahasa Yunani. Tentu saja Alkitab yang mereka terima adalah Alkitab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (sering disebut “Alkitab Alexandria”), yang dikenal dengan nama Septuaginta atau LXX (karena dikerjakan oleh sekitar 70 ahli dari Alexandria). Perbedaan paling mencolok antara “Alkitab Ibrani” dan “Alkitab Alexandria” terletak pada klasifikasi yg dipergunakan dan jumlah kitab yang dikoleksi masing-masing. Jika Alkitab Ibrani memakai klasifikasi TANAKH, Alkitab Alexandria memakai klasifikasi berdasarkan jenis sastranya (sejarah, puisi, kebijaksanaan dan nabi-nabi). Jumlah yang dikoleksi masing-masing Alkitab juga berbeda. Dalam tulisan bapa-bapa gereja (misalnya Augustinus, Origenes dan Athanasius), kitab-kitab tambahan yang tidak termasuk dalam Alkitab Ibrani dikutip dan diakui sebagai kitab suci pula. Perbedaan inilah yang kemudian memunculkan perdebatan sengit antara gereja Katolik dan gereja Protestan. Sementara gereja Katolik Roma mengakui “Alkitab Alexandria” yang dipakai dalam kehidupan gereja selama ini sebagai dasar pembentukan Alkitab PL Kristen, gereja Protestan mengakui “Alkitab Ibrani” sebagai Alkitab PL Kristen. Kitab-kitab lain yang ada di dalam “Alkitab Alexandria” dan yang tidak ada di dalam “Alkitab Ibrani” itu kemudian disebut sebagai deuterokanonika (sebutan oleh gereja Katolik) atau kitab-kitab apokrif (sebutan oleh gereja Protestan, yang artinya: “tersembunyi”). Agak sukar mendaftarkan kitab-kitab apa saja yang ditambahkan ke dalam LXX, karena LXX sendiri memiliki beberapa versi. Misalnya dikenal tiga versi yang paling penting: Codex Vaticanus (abad ke-4), Codex Alexandrinus (abad ke-5) dan Codex Sinaiticus (abad ke-4). Namun prinsipnya: LXX inilah yang kemudian diterima oleh Gereja Katolik Roma sebagai dasar Alkitab PL. Di dalam Konsili Trente (1546) ditetapkanlah berdasarkan LXX, susunan Alkitab PL yang diakui oleh Gereja Katolik Roma. Daftar kitab-kitab lain (apokrif) dalam Kitab Suci PL menurut Gereja Orthodox ternyata lebih panjang lagi.
Dalam praktik, masalah kemudian muncul, karena beberapa doktrin gereja Katolik memperoleh dasarnya dari kitab-kitab deuterokanonika ini. Misalnya: ajaran mengenai arwah dan api penyucian (2 Makabe 12:38-45). Jadi, sebenarnya, pertanyaan “siapa yang menambahi Alkitab?” (pertanyaan dari kalangan Protestan) atau “siapa yang mengurangi Alkitab?” (pertanyaan dari kalangan Katolik) bermuara dari perbedaan ini. | ||||||||||||||||||||||
Kanonisasi Perjanjian Baru | ||||||||||||||||||||||
Kanonisasi Perjanjian Baru memiliki latar belakang yang jauh berbeda. Sejak gereja perdana, Kristus yang bangkit menjadi “ukuran iman” (rule of faith, regulum fidei). Iman pada Kristus itu diturunalihkan dari satu generasi ke generasi lain, baik melalui tradisi oral (kisah kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus) maupun melalui surat-surat dari para rasul kepada jemaat-jemaat. Namun, masalahnya kemudian, ketika Injil tersebar dan bersentuhan dengan banyak budaya, filsafat dan agama, “Kristus yang bangkit” sebagai regulum fidei itu kemudian diinterpretasi secara berbeda dan bahkan berlawanan satu dengan yang lain, yg muncul lewat banyak tulisan, injil dan surat. Banyak dari ajaran-ajaran tersebut di kemudian hari dicap sebagai unorthodox atau heretic. Kebutuhan menjawab ajaran-ajaran yang unorthodox ini dibarengi dengan kesadaran bahwa tradisi oral yang mengandalkan memori tidaklah dapat bertahan lama, selain juga bahwa saksi-saksi pertama (para rasul) tidak akan tinggal bersama jemaat selamanya. Karena itulah injil-injil mulai ditulis, menambah koleksi surat-surat rasuli lainnya, yang sudah terlebih dahulu beredar dan diperbanyak di antara jemaat-jemaat. Dengan makin menguatnya ajaran-ajaran sesat dan makin meluasnya perkembangan Injil, maka muncul dua kebutuhan mendasar: ditetapkannya kanon baru (untuk mendampingi kanon PL) dan dirumuskan kredo-kredo yang menjadi intisari pengajaran rasuli. Kanonisasi PB berlangsung melalui proses yang panjang, sampai akhirnya diputuskan dalam Konsili Carthage (419). Daftar yang muncul di konsili itulah yang kita miliki hingga sekarang, yang diakui oleh seluruh gereja Kristen.
Apakah kriteria yang dipakai untuk menentukan diterima tidaknya sebuah kitab? Setidaknya ada empat kriteria dasar:
|
2 komentar:
terima kasih pak utk artikelnya ijin copy untuk bahan PA
Terima Kasih Artikelnya sangat membantu,Izin copy untuk tugas makalah
Posting Komentar